Sesi kualifikasi sudah selesai dengan skor akhir Rio mendapatkan posisi sepuluh dan Rayyan ada di posisi lima. Hasil yang cukup memuaskan bagi mereka berdua. Setidaknya mereka masuk di barisan sepuluh besar. Tentu hal ini membuat tim bangga. Anak didik coach Jay tidak pernah membuat tim kecewa. Terlebih Rayyan yang digadang-gadang akan menjadi bintang di tim mereka dibandingkan Rio.
Di kamar hotel, Rayyan tidak bisa tidur. Malam ini seharusnya dia tidur cepat, karena besok adalah hari penentuan. Seri pertama dari tujuh seri pertandingan yang harus dia kejar. Setidaknya ini adalah cara pembuktian kepada Oma jika dirinya ingin disayangi sebagai cucu. Jika harapannya terlalu tinggi, maka cukup keberadaan sebagai anak adopsi tidak diungkit lagi dikemudian hari.
“Lo bisa diem gak? Kayak cacing kepanasan. Itu kasur encok dipake guling sana sini!” tegur Rio.
Rayyan menatap sahabat dari taman kanak-kanak itu dengan wajah tanpa dosa. Polos sekali, nyatanya pikiran tidak sepolos wajahnya. Jika Nadine tahu putra bungsunya ini pernah ikut party di club mungkin dirinya tidak akan hidup sampai detik ini. Bisa-bisa dirajam sampai mati.
“Bonyok Lo besok ke sini gak, Yo?”
“Ke sini,” jawab Rio yang kini sudah bertelanjang dada hanya memakai celana kolor merk terkenal.
“Gue gugup banget, njir! Ini pertama kalinya gue balapan tanpa keluarga.”
“Bagus, mandiri dong!” jawab Rio sambil menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut.
Rayyan masih meratapi nasib, beberapa kali pikiran terganggu dengan pikiran yang negatif justru berakibat stres sendiri. Biasanya dia tidak begitu, karena orang tuanya selalu hadir menjadi penyemangat.
“Daripada mikirin yang gak jelas, mending pake tidur. Besok jadi hari yang berat, Bro! Masa masih seri pertama Lo udah KO!”
“Iya juga, ya! Gini doang mah kecil!” jawab Rayyan sambil tersenyum lebar.
Setelah melakukan deep talk bersama Rio secara singkat, Rayyan pun bersemangat kembali. Dia harus melewati prosesnya kali ini, setidaknya tujuannya berhasil. Agar tujuannya berhasil baik, kondisi fisik dan mentalnya pun harus kuat. Jangan mudah menyerah dan labil, seolah-olah dirinya yang paling menderita. Ngeri sekali kalau dirinya masuk ke dalam kategori mental iilnes. Dia masih punya Tuhan dan beriman. Sehingga dia yakin semuanya datang atas izin Allah dan dia pasti bisa melewatinya tanpa embel-embel mental. Padahal masalah cuma sepele.
“Ya Allah, maafin adik ya. Tadi mikirnya udah jelek. Padahal kan Engkau itu sesuai prasangka hambaNya. Maaf ya, tadi selewat mikir yang gak baiknya. Semoga besok adik menang juara satu dan Rio juara dua jangan pisahkan kami, ya. Walaupun menyebalkan dan resek, Rio sahabat adik yang terbaik. Kabul ya Allah. Aamiin yaa rabbalallamin,” ucapnya sambil mengusap wajah dengan kedua tangan.
“Yo, bantu aamiinin!”
Rio tidak menggubrisnya, sepertinya anak itu sudah lelah dan terlelap dalam tidurnya.
“Setidaknya, aamiin kita sama,” lirih Rayyan sambil merebahkan badannya yang pegal-pegal.
Di belahan kota besar lain, Nadine terlihat sibuk. Perempuan dengan gamis hitam polos dan kerudung lebar pasmina tengah memberikan arahan kepadanya Tami. Beberapa kali memeriksa persediaan makanan di dalam lemari pendingin dan lemari khusus makanan. Semuanya aman.
“Ingat ya, teh. Kalau ada yang habis teteh langsung beli aja, gak usah minta izin dulu ke saya. Teteh tahu sendiri kalau udah ngurusin adik balapan bakalan serepot apa? Kalau uangnya kurang minta ke Abang.”
“Baik, Bu. Kalau untuk tukang kebun? Hari ini ibu meminta mang Agus carikan tukang kebun.”
“Oia, nanti sekalian sama Abang. Saya buru-buru,” ucapnya sambil menutup lemari penyimpanan makanan.
![](https://img.wattpad.com/cover/369921071-288-k963942.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
CrossOma (On Going)
Novela JuvenilRayyan Samir, remaja 17 tahun sangat menyukai motocross. Dirinya bercita-cita ingin menjadi Crosser internasional, perjuangannya tidak mudah. Banyak rintangan yang menghadang. Bahkan dari keluarganya sendiri. Mampukah Rayyan melewati semua rintangan...