🏁Lap 13 : Kantin🏁

126 30 7
                                    

Hari ini berjalan cukup baik, kelas kondusif dan perdebatan tadi pagi di Warsi selesai dengan baik. Bahkan kali ini geng kecebong meramaikan suasana kantin. Bagaimana tidak? Rio dan Ali yang duduk santai menunggu Rayyan dan Faiz mengantre makanan dikejutkan dengan aksi teriakan teman-teman yang lain. Rio mencoba tidak peduli, namun seseorang berteriak memanggil salah satu sahabat terbaiknya, dia pun tidak bisa duduk santai lagi.

Emosinya menumpuk di ubun-ubun, di depan Rayyan terlentang di atas lantai dengan seorang siswa yang dikenal siswa paling “nakal” menduduki perut Rayyan, tangan anak itu mencengkeram kerah seragam dengan kuat. Beberapa kali Rayyan terbatuk-batuk merasakan pasokan udara berkurang akibat jalur pernapasan tercekik.

Tanpa perasaan Rio menendang tubuh siswa itu hingga tersungkur. Ali bergegas membantu Rayyan untuk duduk dan memastikan anak itu baik-baik saja. Rio tidak bisa berhenti, anak itu terus saja beradu kekuatan otot dengan siswa bertindak berwajah bengis.

Athar datang bersama Faiz, rupanya sahabat gemoynya Rayyan tengah ke kamar mandi dan bertemu dengan Athar.

“Dik, gak apa-apa?”

“Gak, Bang. Tolongin Bagas, Rio kalau emosi suka lupa diri,” lirih Rayyan yang memohon kepada Athar.

Athar menarik badan besar Rio, awalnya sempat memberontak. Athar berteriak memanggil namanya barulah diam. Seluruh kantin pun menjadi hening, suara Athar ternyata keras dan menakutkan. Benar kata orang, marahnya seorang pendiam itu lebih menyeramkan.

“Rayyan, Rio dan Bagas ikut bapak!”

Di ruang Bimbingan konseling, Bagas terlihat emosi. Rayyan hanya berdiam diri, dia lelah untuk berdebat berbanding terbalik dengan Rio yang masih membela sahabatnya.

“Rayyan yang duluan, Pak! Dia mengejek saya, Pak!”

“Gak mungkinlah, Bangsat!”

“Itu kenyataan, dia langsung mendorong saya, Pak. Saya tidak terima langsung saya balas dorong, dia memukul saya, masa saya diam saja!”

“Heh! Lo gak buta kan? Lihat di bagian mana Rayyan mukul Lo! Yang ada Lo mukul dia, buktinya udah jelas! Bibir Rayyan sobek!” balas Rio.

“Kalian jangan bertengkar di hadapan Bapak! Bagas bersalah, bapak sudah melihat cctv kantin, kamu yang memulai terlebih dahulu.”

Pak Guru pun menghela napas dalam, “ Kalian bapak hukum! Bagas kena skorsing tiga hari dan dalam pantauan bapak, Rio kamu juga salah memukul teman sekelas, bapak hukum kamu melatih emosi kamu dengan bersihkan perpustakaan dan Rayyan, kamu segera ke UKS obati lukanya,” putus Pak Guru.

Rayyan diam saja, dia menundukkan kepala tidak berani untuk melihat Bagas dan Rio. Bagas keluar dari ruangan setelah menendang sofa, kini tinggallah Pak Guru, Rio dan Rayyan. Rio beranjak dari tempat duduknya, memperhatikan Rayyan yang sejak tadi diam.

Rio berjongkok dan menggenggam tangan Rayyan, dari responsnya anak itu cukup terkejut.

“Kenapa? Ada yang sakit?”

Rayyan diam saja, bola matanya memperhatikan wajah Rio yang khawatir.

“Ada yang sakit?”

“Hah? Apa?” barulah Rayyan merespons.

“Ada yang sakit?”

“Gak kok, udah selesai?” Tanya Rayyan dengan wajah polosnya.

Rio mengernyit heran, selama di ruangan tadi dirinya dan Bagas berdebat dengan keras. Pak Guru pun terlihat kelimpungan menjaga mereka agar tidak terjadi pertengkaran ke dua kalinya. Tapi, apa yang terjadi dengan sahabatnya ini? Kenapa dia seolah tidak mendengar apa-apa?

“Udah, ayo ke UKS,” ajak Rio dengan menarik tangan Rayyan dengan lembut.

Rayyan berdiri, mencium tangan Pak Guru dan mengucapkan terima kasih. Rio dibuat bingung, kenapa mendadak sikap Rayyan berbeda? Anak itu terlihat linglung beberapa saat. Setelah dia terlihat baik-baik saja.

Di UKS, Athar yang khawatir tidak bisa berhenti mengoceh. Rayyan risi mendengar suara yang mirip dengan Dimas. Dibandingkan Nadine, Dimas lebih cerewet jika terjadi sesuatu dengan putra-putranya.

“Abang, berhenti deh. Telinga adik panas dengar nasihatnya. Iya, cukup sekali aja. Adik juga paham, kok.”

“Paham? Tapi bikin khawatir terus. Sikap adik tuh berbeda tahu, gak? Udah gak kayak dulu lagi. Mama sama Papa sampai bertanya sama Abang, kamu ada masalah apa? Setiap hari pulang malam?” tanya Athar.

“Kan latihan Bang, bentar lagi mau kejurnas,” lirih Rayyan.

“Kejurnas jangan dijadikan alasan! Kamu udah gak nyaman tinggal di rumah?” Rayyan tidak suka dengan kalimat yang dikeluarkan oleh mulut Abangnya. Seolah memojokkan dirinya. Apa salahnya? Dia hanya tidak suka perdebatan, dia menjaga agar tidak terjadi pertengkaran lainnya antara Oma dan Nadine.

“Kok Abang bilang gitu? Adik sakit hati, lho, Bang. Bagaimana yang tidak nyamannya? Coba sebutin? Itu masih rumah adik, Bang. Kecuali, Papa mengusir adik dan balikin adik ke panti asuhan lagi. Baru adik akan keluar dari rumah,” ucap Rayyan dengan santai.

Rayyan berdiri dari tempat duduknya, hatinya yang sejak pagi tidak enak kini semakin tidak enak. Perasaan yang buruk membuat pemikiran tentangnya buruk juga. Rayyan sempat berpikir jika kehadiran memang tidak disukai oleh siapa pun, keberadaan seolah malapetaka untuk orang-orang di sekitarnya.

“Bukan begitu, Dik!” Athar menarik tangan Rayyan, menggenggamnya erat.

“Adik cukup tahu diri, Bang. Adik pulang malam karena menghindari perdebatan Oma sama Mama. Adik gak suka Mama jadi anak durhaka sama Oma hanya gara-gara membela adik,” lirih Rayyan sambil memegang tangan Athar.

“Bang, seberapa seringnya Oma berkata kasar sama adik, adik tidak peduli selama Papa dan Mama tidak berkata kasar sama adik, tapi melihat Mama menjadi seorang pemarah, adik tidak bisa, Bang. Tolong mengerti alasan adik. Abang gak usah khawatir, adik baik-baik saja. Adik di Bonyage sampai sore gak akan ke mana-mana,” jelas Rayyan yang melepaskan genggaman tangan Athar.

“Apalagi sekarang ada Athalla, dia pasti butuh Abang, Mama dan Papa. Bagaimana pun dia yang lebih berhak untuk mendapatkan perhatian kalian. Adik bukan anak kecil yang mudah dibohongin, Bang. Dulu mungkin adik akan bertengkar dengan Athalla soal perhatian Mama dan Papa, waktu cukup membuat adik dewasa, Bang. Adik gak akan cemburu lagi, kok.” Kalimat terakhir Rayyan sebelum meninggalkan Athar.

Athar masih terdiam, dia mencerna ucapan Adiknya. Tidak ada yang salah, semuanya benar. Dia hanya takut adiknya pergi dari rumah. Meninggalkan dirinya dan keluarganya tanpa pamit.

Diam-diam, seseorang mendengarkan adu mulut antara dua saudara itu. Anak itu terdiam tanpa ekspresi.

Rayyan membantu Rio membersihkan buku-buku di perpustakaan. Begitu pun dengan Ali dan Faiz. Mereka tidak akan diam saja melihat rekannya mendapatkan hukuman. Beberapa kali Rayyan bersin akibat debu berterbangan. Faiz tertawa setiap Rayyan bersin, dia mengejeknya. Bukan apa-apa, ini perpustakaan di mana dilarang untuk bersuara keras. Perlu diingatkan suara bersin Rayyan itu tidak sesuai dengan wajahnya yang polos.

“Kalian bisa diam, gak!”

Rayyan menggaruk kepalanya yang tidak gatal, “Sorry deh!”

Faiz mengambil buku dari tangan sahabat itu, “ udah sini, aja. Lo mending mojok sana!”

“Hidung Lo sensitif bener kalau kena debu, giliran kena debu tanah aja paling gas pol,” bisik Faiz yang menuntun Rayyan ke arah kursi dipojok.

“Iya deh, gue ngalah. Tolong bersihin semuanya, ya,” perintah Rayyan dengan nada sombong.

“Baik, paduka raja,” jawab Faiz membungkukkan badannya di hadapan Rayyan.

Rayyan terkejut melihat kedua orang tua sudah ada di parkiran Bonyage. Rio dan Rayyan berjalan beriringan menuju mobil milik Dimas. Setelah tradisi Salim tangan, Rio berpisah dengan Rayyan. Anak itu masih menjadi tahanan orang tuanya. Wajah Dimas langsung panik melihat lebam dan sobek sudut bibir putranya.

“Ini kenapa? Sakit? Berdarah banyak? Udah diobati belum!” cerca Dimas yang memastikan lukanya tidak serius.

“Gak apa-apa, Pa. Oke, kok. Tadi udah diobatin. Biasalah pertengkaran anak remaja. Masa Papa gak tahu rasanya? Pasti ngalamin kan?”

“Iya, sih! Terus siapa yang menang?” tanya Dimas antusias melupakan sosok Nadine yang ada di sampingnya.

“Gak ada yang menang, eh ... Rio Pa. Wah dia hebat banget bela dirinya! Adik jadi kepingin deh belajar bela diri, silat gitu,” ujarnya tanpa beban.

“Gak boleh!”

“Taekwondo?”

“Gak boleh!”

“Tinju?”

“Gak boleh, gak boleh! Adik jangan belajar kayak gituan ah! Papa tuh ngeri kalau liat kamu lebam-lebam. Balapan aja udah bikin spot jantung, apalagi belajar bela diri.”

“Ih aneh! Kan lebih berisiko balapan dibandingkan bela diri,” bela Rayyan.

“Iya, tapi kan itu cita-cita adik. Jadi Papa dukung, kalau bela diri kayak gitu mah nanti ajalah!”

“Kalian itu kalau udah ngobrol lupa sekitar, kita ke sini mau ngajak adik jalan. Kenapa jadi ngorbol begini sih!” tegur Nadine yang kini mengusap lembut bibir Rayyan.

“Adik sama Pepa apa ikut kita di mobil?”

“Pepa aja, Ma.”

Akhirnya mobil hitam itu melaju di jalanan diikuti oleh Rayyan yang mengendarai motor maticnya. Selama perjalanan Rayyan tidak nyaman, setelah belikan dekat toko roti. Temannya yang kemarin menyewa Tomo, motor tinggi miliknya berpas-pasan. Dia takut Dimas menyadari dan bisa gawat kalau dia diinterogasi. Bisa-bisanya sehari bikin masalah terus. Urusan di sekolah saja membuat dirinya takut orang tuanya dipanggil, belum di rumah ada Oma dan kalau masalah sewa menyewa motor kesayangan ketahuan bisa habis dicengcengin Oma. Hah, nasib sebagai anak “pejuang mandiri” tuh sulit sekali.


🏁🏁🏁🏁

Alhamdulillah

Selamay pagi teman!Semoga hari ini bisa lebih baik dari hari kemarin 😁

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selamay pagi teman!
Semoga hari ini bisa lebih baik dari hari kemarin 😁

CrossOma (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang