🏁 Lap 6 : Kebencian 🏁

149 27 2
                                    

Langit sudah berganti malam, Rio berkali-kali menghubungi sahabat uniknya tidak ada jawaban. Dia kesal, Faiz dilarikan ke rumah sakit setelah pingsan di rumah. Ali yang badannya kecil tidak sanggup membawa Faiz seorang diri. Dia menghubungi Rio secepat kilat. Akhirnya Rio datang tepat waktu dan membawanya ke rumah sakit terdekat.

Di IGD, Faiz ditangani dengan cepat. Ali yang cemas pun merasa kesal dengan Rayyan yang tidak menjawab panggilan dari mereka. Puluhan chat dan telepon tidak dijawabnya. Sebegitu tidak pentingnya mereka? Atau anak itu sudah tidur mengingatkan sekarang sudah tengah malam.

"Gimana? Masih susah dihubungi?" tanya Rio.

"Iya, tumben banget. Katanya solidaritas! Mana? Ditelepon saat genting begini aja gak nyahut-nyahut!"

Mereka duduk di kursi sembari menunggu cairan infus. Beruntungnya, Faiz hanya butuh infus karena pola makannya masih berantakan dan stress. Akhirnya asam lambung naik dan membuat sesak napas.

"Abah kasih tahu jangan?"

"Gak usah, Li. Anaknya bisa ambeukan ntar. Yang ada makin sakit."

Mereka tidak tega melihat sahabat gemoynya terbaring tak berdaya. Wajah yang pucat dan cairan infus setia menemaninya. Tidak ada dalam pikiran mereka harus menemani si gemoy terlelap di rumah sakit.

"Lo punya duit?"

"Tenang aja. Ada kok!"

"Bukan soal rumah sakit, Yo. Utang anak ini. Bisa-bisanya kita kecolongan, ngapain juga dia harus pinjam rentenir. Jadi masalah gini, kan?"

Rio tersenyum kecil, "sok-sokan pengen nyelesein masalah sendiri."

"Lagi pula kita yang salah, gak peka banget kalau sahabat kita lagi kesusahan. Utang di rentenir itu gak baik, jatuhnya haram karena ada bunganya."

"Lo bisa berisik juga, Li. Kita gak bisa berasumsi mandiri, nanti kita tanya Faiz kalau sudah kondisinya baik."

Ali menghela napas panjang, dia pun terbawa emosi. Pasalnya sebagai sahabat dia tidak tahu Faiz sedang kekurangan uang. Abah yang dulunya kerja di bank memilih berhenti dan pindah ke Sukabumi, kampung halaman. Kerjanya juga berbanding terbalik, di kampung Abah menjadi peternak ikan. Ya, tentu hasil panennya tidak menentu.

"Sekarang kita fokus sama kesehatan teman kita, Li. Gak usah mikirin yang lain dulu," kata Rio dan disetujui oleh Ali.

Entah berapa jam lamanya Rayyan mulai kedinginan. Tidak berganti pakaian dari kemarin membuat tubuhnya sedikit tidak nyaman.

"Dik!" itu suara Tami.

"Kamu gak apa-apa, kan?"

"Iya, Tam. Oke kok," jawab Rayyan walau dalam hati berkata sebaliknya.

"Kunci kamar mandinya dibawa Oma, Mang Agus nyari kunci cadangan gak ada. Yang tahu Cuma Ibu. Apa mau ditelepon ibunya, Dik?"

Rayyan yang mendengar penuturan Tami menjadi diam seribu bahasa. Nadine pasti sedang sibuk mengurusi Dimas. Dia tidak mau membebani pikiran sang mama tercinta. Bisa-bisa Nadine ikutan sakit.

"Gak apa-apa, Tam. Oma pasti pulang. Oia, kenapa papa? Sakit apa, Tam?"

"Gejala Tifus, Dik! Kayaknya Bapak udah ngerasain sakit sebelumnya tapi gak bilang. Akhirnya demam gak turun-turun, langsung dibawa ke rumah sakit sama Abang."

"Alhamdulillah langsung ditangani" ucap Rayyan dalam hati.

"Dik! Badan kamu ngerasa gak enak? Sakit?"

Rayyan tersenyum dibalik pintu kamar mandi, Tami, mbaknya itu memang luar biasa. Mengasuhnya sejak SMP sampai sekarang membuatnya merasakan kasih sayang seorang kakak perempuan.

CrossOma (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang