🏁 Lap 8 : Sahabat bagai Kepompong 🏁

151 30 2
                                    

Ruangan Dimas terasa mencekam. Setelah kejadian di IGD tadi, Rayyan diajak ke ruangan Dimas di rawat. Athar menggandeng adiknya seolah takut melarikan diri. Sehari tidak bertemu rasanya kacau sekali. Dia berusaha menghubungi tetapi nomor ponselnya tidak aktif. Beruntung Tami mau diajak kerja sama. Dia tahu jika adiknya baik-baik saja.

“Ma, kan namanya juga ngigau. Mana tahu adik bilang apa? Gak usah dianggap serius.”

Rayyan duduk di dampingi Athar. Sofa panjang di rumah sakit ini memang nyaman. Acungi jempol untuk pelayanan rumah sakit yang setara dengan harga. Berbanding terbalik dengan Faiz. Dia tertahan di IGD karena pasien BPJS gratisan.

“Udah Ma, jangan dibahas lagi. Adik kan memang suka mengigau saat tidur,” bela Athar yang diangguki setuju oleh Rayyan.

“Terus kenapa seharian hape gak aktif?” tanya Nadine tegas.

“Lupa aktifin data dan nyimpennya di mana juga adik lupa,” jawab Rayyan pelan.

Nadine menghela napas panjang, menghadapi Rayyan sama persis menghadapi adik-adiknya yang selalu banyak alasan jika ditanya serius.

“Papa gak apa-apa kan?” tanya Rayyan khawatir.

Rayyan beranjak dari tempatnya dan duduk di samping Dimas yang masih lemas. Wajah pucat, bibir kering, hawa panas masih kentara di kulitnya belum lagi tatapan sayu membuat hati Rayyan tercubit keras. Benar juga yang dikatakan Oma. Papanya ini terlalu banyak bekerja. Mulai hari ini rasanya dia ingin mengemban tanggung jawab juga sebagai anak. Selain belajar dan mengaji, dia harus bisa menghasilkan uang. Setidaknya bisa membantu perekonomian keluarga. Walaupun tidak membantu banyak.

“Maafin adik ya, Pa. Gak tahu kalau Papa sakit.”

Dimas mengusap rambut putra bungsunya dengan lembut. Genggaman tangan Rayyan menguat begitu saja. Tiba-tiba saja dia naik ke ranjang Dimas memeluknya dan menangis diam-diam. Perasaannya kacau dan mudah patah.

“Jangan sakit, adik takut, Pa.”

Dimas mendengarnya pun terenyuh. Baru sehari tidak berjumpa membuat buah hatinya menangis. Bagaimana jika umurnya pendek?

Nadine dan Athar tidak diam. Mereka bergabung memeluk kepala keluarga yang amat mereka cintai. Sosok pemimpin yang dihormati dan dicintai kini diuji. Bukan hanya Dimas yang diuji, tapi seluruh keluarga. Bagaimana Nadine sebagai seorang istri bersabar menemani sang suami? Bagaimana Athar sebagai putra sulung berusaha tegar dan menjaga Mama? Dan terakhir, Bagaimana Rayyan memosisikan dirinya sebagai anak yang beruntung di adopsi oleh Dimas berusaha membawa nama baik keluarga? Semuanya membawa peran mereka masing-masing.

“Maafkan Papa juga ya, gak bisa jaga kesehatan Papa. Kalian semua jadi rapot nemenin Papa di sini,” ujar Dimas dengan kedua mata berkaca-kaca.

Nadine menggelengkan kepalanya tidak setuju, “ Justru aku yang minta maaf, Dim. Aku sebagai istri gak becus ngurusin kamu.”

“Bukan salah Mama dan Papa, Abang yang salah. Gak perhatian sama keluarga, maafin Abang ya, Ma, Pa,” ucap Athar yang semakin erat memeluk Dimas dan Nadine, tanpa sadar Rayyan yang semakin lemas.

“Maafin adik, juga,” lirih Rayyan yang berusaha mempertahankan kesadaran.

Rayyan merasakan tubuhnya di ombang ambing tidak menentu, kepalanya terasa berat dan berdenyut. Setidaknya dia aman dalam pelukan papa yang hangat.

Entah berapa lama Rayyan tidur, anak itu  merenggangkan tubuhnya yang pegal. Sejenak dia terdiam, memproses apa yang dilihatnya, dikelola oleh otak dan barulah sadar. Kemarin dirinya tidur dipelukan Papa. Dan benar saja, dia sudah tidur di samping Dimas yang masih memeluknya.

CrossOma (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang