🏁Lap 10 : Tingkat Awal🏁

148 28 8
                                    

Hari tenang telah usai. Kini Rayyan terus dihantui rasa tak nyaman. Keberadaan sang Oma membuat waspada. Bukan takut, hanya saja dia tidak enak dengan perasaan sendiri.

Sarapan pagi rutinitas seperti semula. Dimas mulai bekerja setelah hampir seminggu di kemarin cukup beristirahat di rumah. Ditemani anak dan istrinya membuat dirinya semangat untuk sembuh.

"Bang, kemarin jadi acara jumat berkah di mesjid Nurul Fallah?" Tanya Dimas sambil memperhatikan putra sulungnya yang sibuk melahap roti isi sayuran.

"Jadi, Pa. Alhamdulillah acaranya lancar. Rencananya abang sama ustaz lain mau keliling juga guna menyalurkan bantuan."

Rayyan yang sibuk memotong pinggiran roti ikut bergabung dalam obrolan kali ini, " Bang, adik tahu ke mana aja yang harus dibantu. Waktu kemarin pas balik sunmori ternyata banyak masyarakat yang perlu dibantu."

Athar dan Dimas memperhatikan anggota keluarga termuda mereka dengan penuh perhatian.

"Di daerah perkampungan yang kemarin adik lewati sama kawan-kawan tuh jauh banget dari kota, masuknya ke kabupaten gitu. Miris sih, banyak rumah yang gak layang huni, ada juga kepala keluarganya yang kerja serabutan, terus anak seusia adik tuh bukanya sekolah tapi kerja," ucapnya penuh semangat.

"Baguslah, anak itu tahu diri. Kalau tidak mampu sekolah ya bantu orang tua kerja. Segitu hidup di kampung, apalagi di kota."

Semua mata terarah ke Oma, perempuan berambut pendek penuh dengan uban itu tidak peduli jika ucapannya menyinggung seseorang. Itulah faktanya, dia ingin menyadarkan Rayyan agar tahu posisinya.

"Iya juga, ya, Oma. Adik juga mau kerja, cari uang sendiri buat Mama dan Papa, tapi Oma tahu, kan? Sesayang apa Mama sama Papa ke adik?" balas Rayyan dengan tersenyum kecil.

Oma berdecih, menyimpan garpu di samping piring berisi roti lapis daging. Membalas tersenyum ke arah Rayyan.

"Tanpa kamu ingatkan juga saya sudah tahu pasti. Begitulah orang tua kamu ini terlalu memanjakanmu."

"Bu, sudah. Ini meja makan, tidak pantas berdebat," ingat Nadine.

"Selalu begitu, anak kamu ini sesekali harus disuruh mandiri, biar tahu cari uang itu susah!" kata Oma sambil meninggalkan ruang makan.

"Adik udah mandiri sejak dini, kok! Buktinya adik gak pernah nangis kalau lagi demam," bela Rayyan.

Oma yang mendengar perkataan anak itu langsung berbalik. Menatap tajam, melipatkan tangan di atas dadanya. Dia tahu jika anak itu memang keras kepala, susah untuk ditindas. Beberapa kali dia marahi tetap saja melawan dengan ucapan yang membuatnya geram.

"Iya, saking mandirinya orang tua kandung kamu membuang kamu di panti asuhan. Mereka orang tua yang tidak bertanggung jawab! Seenak jidatnya membuat bayi merah begitu saja, harusnya kamu bersyukur tidak dibuang di pinggir jalan atau di selokan. Banyak contoh dari media, bayi hasil zina selalu dibuang begitu!"

Dimas kesal dengan ucapan mertuanya, apalagi perkataannya membuat hatinya terluka. Dia yang sudah dewasa saja merasakan goresan perih di hatinya, apalagi anak yang baru berusia tujuh belas itu. Bagaimana hatinya akan terluka? Bagaimana mentalnya sebagai anak disudutkan terus menerus?

"Bu, aku tidak terima ibu bilang seperti itu. Biar bagaimanapun juga, aku yang mengambil adik dari panti. Kami sebagai orang tua tidak pernah sekalipun mengungkit asal usul adik. Karena apa? Karena aku dan Nadine sudah sepakat tidak akan membahas lagi soal itu. Adik tetap darah daging keluarga Hamizan, Nadine merawat dan mendidik adik dengan tulus, Abang bahkan mau berbagi ASI mamanya buat adik barunya, Bu."

Rayyan memperhatikan raut wajah Dimas yang menahan amarah. Terlihat dari bola matanya yang memerah dan genggaman di sendoknya menguat. Dari napasnya yang memburu mencoba untuk tidak lepas kendali, Dimas Papanya yang selalu menjadi garda terdepan membelanya, rasanya dia tidak pantas mendapatkan itu. Karena di mata Oma dia tetaplah orang asing. Secara fakta dan realita, dirinya memang beban di keluarga ini, menjadi sosok yang selalu mengundang perdebatan. Lelah tentu iya, karena sejak dia datang ke rumah ini, perdebatan antara Oma dan kedua orang tuanya tidak akan pernah usai.

CrossOma (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang