04 Hidup baru dimulai dari sini

1 0 0
                                    

Bandung, 2 Januari 2024

Kereta cepat membawa pergi Tasha dari hiruk-pikuk keramaian mantan Ibu Kota, ia turun di stasiun Padalarang dan kembali melanjutkan perjalanan menuju tempat tujuan. Benar, Bandung adalah pilihan yang tepat untuk melupakan segala masalahnya. Di tempat ini, ia bertekad untuk membuka lembaran hidup baru. Melepaskan semua yang membuat hatinya sakit, berharap mendapatkan yang setimpal atas penderitaannya kemarin.

Sebetulnya, Maminya tidak begitu setuju dengan keputusannya, namun Tasha terus membujuknya sampai mendapatkan izin dengan catatan harus tinggal di tempat yang telah disiapkan dan melanjutkan bisnis Maminya. Pada akhirnya, gadis itu sampai. Bersama satu koper besar di sebelahnya, ia menatap gedung tinggi itu penuh semangat. Tidak terasa, sudah sejauh ini dia melangkah.

"Selamat datang Tasha, gue bangga sama lo! Semangat, lo harus bisa lebih bahagia daripada mereka. Walaupun berat, lo pasti bisa bertahan. Gue yakin akan hal itu." Monolognya, optimis.

Setelah melakukan afirmasi singkat itu, ia menarik kopernya untuk masuk ke lingkungan Apartemen Bandoeng City ini. Baru berjalan beberapa langkah, gadis itu sudah dibuat nyaman dengan suasana di sana. Benar-benar tempat impiannya, Maminya sangat pengertian dan memahaminya dengan baik. Sangat berbeda sekali dengan rumahnya yang dulu, tempat ini tenang dan nyaman. Sepertinya, gadis itu akan betah di sini.

Kamar 167 telah ditempatinya. Ia menyusun ulang tata letak barang-barangnya, terlihat sudah cukup lama tidak dihuni. Belum banyak benda di sana, dia harus segera membelinya agar bisa hidup lebih nyaman. Bajunya sudah disimpan di lemari, ia pergi ke balkon untuk menghubungi Maminya di Jakarta sana.

"Aku udah di lokasi, Mi. Suka banget di sini, sejuk!"

"Kamu yakin mau di sana?"

"Kenapa enggak? Di sini lebih enak, Mi."

"Karena gak akan ketemu mantan kamu?"

"Itu salah satunya. Udahlah, jangan bahas dia lagi!"

"Yaudah, kamu sehat-sehat disana. Jangan aneh-aneh, apalagi jadi lebih nakal! Mami bisa jemput kamu kapan aja! Paham? Kalo ada apa-apa, atau perlu sesuatu, kabari Mami. Mami juga udah kasih tau karyawan di sana kalo kamu bakal pegang cabang. Kerja yang bener, atau ga-"

"Iya, bawel banget. Udah dulu ya, mau beli makan."

Panggilan diputuskan sepihak, ia memasukkan ponselnya ke saku celana. Matanya kembali dimanjakan pemandangan dari sana, benar-benar berbeda dengan Jakarta. Di sini lebih dingin, tidak sepanas di sana. Mobil yang dikirim Maminya sudah sampai, cukup puas beristirahat, gadis itu memutuskan untuk keluar menuju supermarket membeli segala kebutuhannya.

Jalanan cukup padat, namun Tasha dapat melewatinya dengan baik. Ia sampai di salah satu pusat perbelanjaan yang tidak jauh dari tempat tinggalnya, mengambil troli dan mulai memasukkan apa yang ia butuhkan. Beras, gula, minyak, sayur-sayuran, buah, makanan ringan, sirup, dan lain-lainnya sudah masuk. Hari ini, gadis itu belanja cukup banyak. Tidak ingin suatu saat nanti kesulitan karena kehabisan stok yang dibutuhkan.

Tahsa pulang dengan empat kresek besar di tangannya, saat hendak mengeluarkan kartu akses masuk ke ruangannya, satu kaleng minuman soda tergelincir dan jatuh menggelinding ke pintu sebelah.

Ia menghela nafas, mendatanginya. Ia berjongkok, bersamaan dengan pintu tersebut dibuka dari dalam. Ia berhadapan dengan celana hitam panjang dan sepatu pantofel mengkilap, merasa sangat canggung dengan posisi seperti ini. Setelah terdiam cukup lama, gadis itu mengambil barangnya dan berdiri. Perlahan namun pasti, ia menundukkan kepalanya, berusaha meminta maaf sesopan yang gadis itu bisa. Sampai, suara yang tidak begitu asing di telinga membuatnya mendongak dan menatap ke dalam ruangan tersebut.

Di sana, seorang lelaki yang tidak begitu asing sedang melambaikan tangan dengan senyum cerah di bibirnya. Detik berikutnya, ia menyadari siapa di sana. Tasha membalasnya, "peribahasa dunia itu sempit, ternyata benar juga, ya! Halo, gue tinggal di sebelah kamar lo. Lo udah dari ka-"

Ucapannya terpotong oleh suara deheman keras dari pria di hadapannya yang tengah menatapnya dingin. Benar, itu adalah teman lelaki di dalam. Orang yang juga mengantarnya kemarin. Dengan cepat, ia bergeser mempersilahkannya keluar. Tasha menatap punggung lebar itu sampai menghilang sempurna di lift, "ngomong kek, gue gak sepeka itu buat geser dari tempat gue berdiri ini. Dasar cowok, maunya dingertiin aja emang. Euh, parah!" Gumamnya, pelan.

"Kamu sejak kapan tinggal di sini?"

Pertanyaan itu cukup membuat Tasha terperanjat, ia sampai tidak sadar kalau lelaki yang tadi duduk di dalam sudah berada di hadapannya dengan senyuman khasnya. Tidak ada pilihan lain, selain menjawabnya dengan jujur.

"Tadi pagi baru sampe, lo sendiri gimana?"

"Ini udah tahun ke lima kayaknya?"

Tasha terkekeh, "kok kayak ragu gitu jawabannya?"

"Lupa, udah lumayan lama soalnya. Kapan-kapan main atuh, kamu kerja di mana? Eh, atau masih kuliah?" Tanyanya, hati-hati. Terlihat sekali tidak ingin menyinggungnya.

"Gue lanjutin kerjaan nyokap aja, sih."

Dewangga mengeluarkan ponselnya, menyodorkan benda pipih itu ke hadapan Tasha. "Boleh minta nomor kamu? Kalo ada apa-apa, kamu bisa hubungi aku. Atau, kalo lagi suntuk, aku bisa bawa kamu ke tempat yang seru. Aku rasa, kita punya beberapa kesamaan."

189 hours : killin' me goodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang