20 Kebenaran 17+

2 0 0
                                    

Setengah jam kemudian, Tasha tidak bisa menyembunyikan lagi perasaan lelahnya. Belum terbiasa menggunakan heels tinggi, membuat kakinya lemas dan tidak kuat lagi dibawa terus berdiri. Hal itu membuat Dewangga dengan cepat menyadarinya dan menuntunnya untuk ke tepi. Mereka duduk di atas sofa secara bersebelahan, memandang orang-orang di sana yang berdansa dengan romantis. Sesekali, lelaki itu memijat kaki gadisnya lembut, mengusahakan yang terbaik untuknya.

"Kenapa gak langsung bunuh gue? Biar gue bisa mati lebih cepat."

"Seingin itu kamu mati?"

"Gue udah gak mau berharap lagi. Capek."

Dewangga membawa tubuh gadis itu untuk bersandar ke dadanya, mengelus punggung yang tidak tertutup gaun itu lembut. Lelaki itu menatapnya lekat, "sepertinya, aku benar-benar sayang kamu."

Tasha tergelak, "kok bisa?"

"Kenapa enggak? Kamu baik, cantik, buat aku nyaman."

Tasha menggeleng, "lebih baik lo bunuh gue sekarang."

Dewangga kembali mendaratkan kecupan singkat di bibir itu, "aku gak bisa membunuh apa yang aku sayang. Percuma kamu memohon, selamanya kamu akan hidup bersama aku, di sini-sebentar." Lelaki itu menghentikan ucapannya saat seorang pria tua di seberangnya menatapnya serius. Tanpa pamit, ia meninggalkannya sendirian di sana. Tasha tidak dapat berpikir dengan jernih, menyesali segala perbuatan menjijikannya tadi. Sial, ia malah mendengarkan saran dari wanita tadi. Lamunan panjangnya terpotong karena seseorang tidak sengaja menendang kakinya, ia ingin marah namun dibuat terdiam oleh senyuman yang sangat dikenalinya itu.

"Haekal?"

Dor! Sebuah tembakan peringatan sukses membuat gempar orang-orang di sana. Musik mendadak mati, mereka lari terbirit-birit keluar dari ruangan megah itu. Sayangnya, bukan kebebasan yang mereka dapatkan. Tapi puluhan polisi yang menunggu mereka di sana. Melihat segalanya kacau, Dewangga hanya tersenyum dan pergi dengan pria tua itu. Sedangkan Tasha, gadis tersebut langsung dibawa keluar menuju kerumunan polisi yang berjaga, di sana ada Ridwan dan Badrul menyambutnya dengan sebuah selimut tebal.

"Teteh aman." Ucap Badrul, menggengam tangan dingin itu.

Bukannya tenang, Tasha dibuat panik saat tidak menemukan Haekal di sekitarnya. Padahal, tadi lelaki itu yang membawanya ke sini. Ia melepaskan chip alat pelacak yang menempel di bagian perutnya, menyerahkannya pada Badrul. Lantas, bertanya kemana perginya lelaki misterius itu.

"Haekal mana?"

"Beliau mengejar Dewangga dan bosnya, Teh."

"Bos?"

"Ayahnya Komandan Haekal."

189 hours : killin' me goodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang