Pada akhirnya, waktu terus berjalan. Tasha dengan segala perasaan pasrahnya, duduk di hadapan cermin besar itu. Menatap jijik dirinya sendiri yang sudah cantik dengan gaun marun kurang bahan itu. Dua orang wanita di belakang bertindak sebaliknya, menatap penuh kagum atas apa yang telah mereka lakukan padanya. Salah satu dari mereka kembali merapikan rambut panjang itu, "gak perlu dandan yang menor, dipoles dikit aja Teteh mah udah cantik. Jadi bingung harus digimanain lagi sekarang mah. Beruntung banget Teteh bisa ada di sini. Gak semua orang bisa ke sini loh, Teh."
Tasha menatap wanita setengah baya itu serius, "sayangnya, gak bisa buat gue mati secara terhormat. Mbak-mbak ini tau gak sih, sam-"
"A Dewangga emang gitu, Teh." Potong wanita lainnya. "Di dunia kami, beliau sangat disegani. Si ganteng yang arogan, tapi hatinya sangat baik, Teh. Beruntung banget Teteh masih bisa hidup sekarang. Satu yang dapat kami sampaikan, jangan sampai membuat dia marah. Udah. Umur Teteh bakal lebih panjang, ya walaupun dikit."
Tasha tersenyum tipis, "gak bantu banyak emang. Udah, kan?"
"Udah. Ayo, kita turun."
Keduanya membantu Tasha keluar. Dalam ketakutannya, gadis itu diam-diam berdecak kagum dengan interior bangunan ini. Rasanya, ia sedang tidak berada di Indonesia, tapi di Eropa. Selera Dewangga patut diacungi jempol. Sialan, bisa-bisanya dia memuji si bajingan itu setelah segala perbuatan buruknya padanya. Kini, ia begitu pasrah dengan apa yang akan selanjutnya terjadi. Sudah angkat tangan, hanya mengikuti alur dan siap mati kapan saja.
Saat turun dari tangga, beberapa pasang mata memperhatikannya. Gadis itu tidak dapat melihat dengan jelas wajah mereka karena ditutupi oleh topeng sepotong. Ia hanya dapat melihat bagian bawah wajahnya saja. Sekitar tiga puluh lelaki dan perempuan dewasa ada di sana, tanpa sadar gadis itu mencari kehadiran Dewangga. Sampai, ia menyadari kalau benar-benar sendirian di tengah keramaian itu. Gadis itu mulai panik, namun sepasang tangan dalam balutan tuxedo hitam tiba-tiba melingkar di pinggangnya. Sebuah benda kenyal mendarat di lehernya singkat, membuatnya menoleh cepat dan melihat siapa yang telah melakukan itu semua.
Dewangga tersenyum, membawa gadis itu lebih dekat dengannya. "Kamu cantik sekali, sayang? Aku gak salah membiarkan kamu hidup sampai sejauh ini. Selamat datang di pesta kami, Tasha." Ucapnya, pelan. Mendaratkan kecupan singkat di bibir merah muda itu, "ayo, kita bersenang-senang sekarang-"
Ucapannya terpotong saat gadis itu berbalik dan menciumnya brutal, membuat orang yang berdiri di sekitarnya bersorak gembira bersama dengan alunan musik dansa yang diputar. Benar, Tasha sudah kehilangan akal. Dewangga menjauhkan wajahnya, mengakhiri kegiatan mereka. Ia mengusap wajah cantik itu lembut, "kamu adalah aku, aku adalah kamu."
"Maksudnya?"
"Selamat, kamu telah menjadi aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
189 hours : killin' me good
Bí ẩn / Giật gân"aku tidak bisa menjamin kamu bisa mati, ataupun sebaliknya. Berdoa saja, minta yang terbaik pada Tuhan. Aku hanya boneka, menuruti perintah-Nya. Semoga, hari ini kamu beruntung lagi, Tasha."