Terpaksa
Sesampainya di rumah Sherina, Nissa lantas mengetuk pintu rumah Sherina sebanyak tiga kali. Selang dua menit, Nissa lalu mendengar ada tanggapan dari arah dalam kamar Sekar.
“Sebentar,” kata Sekar.
Tak begitu lama Nissa lalu mendengar gangang pintu di buka, “Klik.”
“Nak Nissa? Ada apa?” tanya Sekar sedikit terkejut.
“Tadi Tante nelpon Nissa, tapi Nissa enggak sempet ngejawab panggilan Tante. Tante dan Sherina baik-baik aja, kan?” lontar Sherina.
“Oh ... iya, alhamdulillah Tante dan Sherina baik-baik aja. Tadi Tante nelponin Nissa karena mau nanyain keberadaan Sherina. Sherina tadi sempet di ganggu sama orang yang sempet mau ngebegal nak, Lea dulu. Alhamduillanya nak, Kenzo dateng dan bantuin Sherina,” jelas Sekar.
“Tapi Sherina beneran enggak kenapa-napa kan, Tan?”
“Iya, Nak. Semuanya aman. Dan sekarang Sherina udah mulai kerja,” urai Sekar.
“Sherin kerja di mana, Tan? Kenapa dia enggak cerita ke saya dan Lea.”
“Kerja di resto ... ” Sekar sedikit mengingat, “ Di resto Mahendra. Dan mungkin Sherin enggak enak kalau harus cerita ke kalian,” terang Sekar.
“Eumm ... maaf, Tan. Kalau Nissa boleh tahu, kenapa Sherin harus kerja? Papanya Sherin ke mana?”
“Papa Sherin udah meninggal, sekarang Sherin yang jadi tulang punggung keluarga,” wajah Sekar menjadi sayu, matanya seperti ingin meneteskan air mata.
“Maafin Nissa ya, Tan. Enggak seharusnya Nissa nanya masalah ini ke, Tante,” Nissa menjadi tak enak.
“Iya enggak pa-pa, Nak,” senyum terbit diwajah Sekar.
Nissa kemudian pamit pulang, karena takut mengganggu waktu istirahat Sekar. Di perjalanan pulang ketika Nissa naik ojek, ia hanya melamun dan selalu teringat pada Sherina. Nissa sampai tak habis pikir, Sherina yang dilihatnya seperti ceria nyatanya punya beban sendiri yang mesti diembannya.
***
Di resto, Nana selalu menyuruh Sherina melakukan berbagai pekerjaan. Mulai dari membersihkan meja pelanggan, mengantarkan pesanan, bahkan menyiapkan makanan itu sendiri. Retta merasa kesal terhadap sikap Nana yang dinilainya semena-mena hanya karena Sherina tak pernah mengelak perintah Nana.
“Kita di sini kerja sama-sama, jadi wajar dong kalau gue bantuin Sherina,”tegas Retta.
“Heh, jangan sok-sok’an belain Sherina. Kerjaan lo aja belum kelar, kan?” sela Nana.
“Kalau semuanya Sherin yang ngerjain, terus gunanya lo di sini apa?” mata Retta menyala.
“Ya terserah gue dong! Enggak terima lo?” mata Nana melotot tajam pada Retta.
“Tak, cukup dengerin gue. Gue enggak mau cari musuh, gue cuma pengen nyari uang buat kebutuhan gue dan nyokap gue itu aja,” Sherina menatap Retta seolah ingin Retta mengerti posisinya.
Gue tahu Rin lo itu orang baik. Tapi Nana udah keterlaluan banget. - Retta lantas menggenggam tangan Sherina sembari berucap, “Maafin gue, Rin. Gue kebawa emosi. Gue--”
“Udah dramanya?” cetus Nana tanpa rasa bersalah.
“Tak, sekarang kita kerja lagi aja, ya,” bujuk Sherina.
Retta menghela napas dalam-dalam, lantas mengangguk dan Retta belajar untuk tidak mendengarkan semua ocehan yang keluar dari mulut Nana.
Sementara di rumah Clarissa ia sedang asyik berbincang dengan Bella. Clarissa selalu diperlakukan bak seorang ratu oleh Dady dan maminya. Clarissa tak pernah merasa kesusahan, sebab sedari kecil ia selalu hidup dan tumbuh dalam lingkup keluarga yang kaya raya. Tetapi hal itu justru membentuk pola pikirnya, ia menganggap bahwa dengan uang bisa membeli segalanya termasuk kebahagiaan seseorang.
Di dalam kamar Clarissa, yang nampak bak kamar seorang putri. Kamarnya dilengkapi berbagai fasilitas yang memadai, seperti kasur yang empuk, televisi, meja rias, meja belajar, ada lemari pakaian, lemari khusus tas, lemari boneka, ada rak sepatu, dan ada kamar mandi. Dindingnya pun dihiasi dengan ornamen-ornamen yang indah yang membuat Bella betah berlama-lama di sana.
“Bel, badan gue pegel nih, pijitin gue dong!” lantang Clarissa.
Wajah Bella berubah manyun, “Memangnya gue tukang pijit apa? Gue, kan temen lo, Sa?”
“Iya bukan, tapi enggak ada salahnya juga, kan? Ntar gue kasih duit, deh sebagai imbalannya,” enteng Clarissa.
Sehina itu gue dimata lo, Sa. Andai gue punya pilihan lain, gue juga enggak mau temenan sama orang kayak lo!- gumam Bella dalam hatinya.
“Ayo Bell, gue janji bakal ngasih lo uang,” sembari Clarissa mengarahkan kakinya ke hadapan Bella.
“Iya bentar,” sanggah Bella, perlahan menggerakkan tangannya memijit kaki Clarissa.
Bella sebenarnya terpaksa berteman dengan Clarissa, karena Bella butuh uang. Selama ini dadanya sudah sesak sekali, selalu diperlakukan Clarissa bak asistennya. Bella berharap semoga suatu hari keadaan bisa berubah, dan ia tak perlu bergantung lagi pada Clarissa.
***
Sesampainya di rumah Aiden. Aiden, Naren dan Genta lalu masuk dan duduk di ruang tamu rumah Aiden, mereka bertiga kemudian membahas langkah apa yang bisa Genta ambil supaya bisa menghasilkan cuan, dengan begitu Genta bisa melunasi bayaran sekolahnya dan juga adiknya. Di tengah lamunan mereka, Ami seketika muncul, “Dorr ... pada ngelamunin apa sih, para bujangan ini?” goda Ami, sembari Ami membawakan kopi dan juga roti.
“Wahh ... Bibik tahu aja kalau Naren haus dan laper,” sambar Naren.
“Yee ... kalo Naren enggak pernah nolak dibawain apa aja,” sahut Bik Ami.
“Ada Bik, kalau Naren dikasih batu mungkin dia enggak mau,” mulut Genta melengkung membentuk senyuman.
“Iya jelas dong,” senyum Naren tergelincir.
“Udah, jangan diterusin, ntar Naren ngambek,” Aiden.
Ami mengalihkan tatapannya pada Genta, “Den Genta apa kabar? Udah lama enggak main ke sini,” Ami menatap dengan mata lebar.
“Giliran Genta aja ditanyain kabarnya, Naren enggak pernah tuh,” Naren cemberut.
“Kalo lo itu tiap hari di sini, jadi Bik Ami enggak penasaran lagi sama keadaan lo!” Aiden memukul kepala Naren pelan.
“Ha-ha, Naren-Naren. Alhamdulillah Genta baik-baik aja, Bik,” tutur Genta dengan senyum merekah diwajahnya.
“Syukurlah kalau gitu, Den Genta. Sering-sering main ke sini, biar Den Aiden enggak temenan sama Naren doang,” tambah Ami.
“Iya Bik,” ramah Genta wajahnya nampak cerah.
Naren sering kali jadi bahan candaan Ami, Aiden bahkan Genta. Tapi sejujurnya bagi Aiden, Ami dan Genta sehari tanpa Naren maka semuanya akan terasa hambar dan kurang berwarna.
***
Setibanya Nissa di rumah. Ia kemudian mengirim pesan kepada Lea. Ia mengatakan kalau pulang sekolah tadi Sherina sempat di cegat oleh lelaki yang pernah berniat membegal Lea dulu. Beruntung Kenzo datang tepat waktu, selain itu Nissa juga menceritakan pada Lea keadaan keluarga Sherina yang sesungguhnya. Dan yang menjadi alasan kenapa Sherina tidak pernah mau diajak jalan-jalan setiap pulang sekolah dikarenakan Sherina harus kerja demi menopang kehidupannya dan mamanya. Namun saat itu, hati Lea masih diselimuti rasa kecewa. Dan Lea bahkan tak membalas sepatah kata pun pesan dari Nissa.
“Gue harap, lo marahnya cuma sebentar, Yak. Kasihan Sherina,” ungkap Nissa.
Hari selanjutnya, di kelas tiba-tiba Nissa sontak memeluk Sherina. Nissa sampai meneteskan air mata, ketika Nissa berhadapan langsung dengan Sherina.
“Wait, Nis lo ada masalah apa? Cerita sama gue,” bujuk Sherina.
“Lo enggak diapa-apain, kan sama penjahat itu kemarin?” balas Nissa.
Senyum terlukis jelas diwajah Sherina, “Iya, Nis alhamdulillah. Melalui perantara kak Kenzo, gue aman-aman aja,” terang Sherina.
“Satu lagi, Rin. Maaf gue lancang. Gue kemarin nanya masalah keluarga lo sama mama lo,” ungkap Nissa.
“Iya enggak pa-pa, Nis. Gue yang seharusnya minta maaf, gue udah nutupin semuanya dari kalian,” sambung Sherina menggenggam tangan Nissa.
“Gue juga salah, karena enggak peka sama problem lo. Tapi gue salut sama lo, Rin. Lo bisa bangkit lagi setelah kepergian ayah lo,” Nissa.
“Gue selalu yakin, Nis. Akan ada pelangi setelah hujan, dan akan ada kebahagiaan setelah kesedihan. Dan gue bisa setegar seperti sekarang karena kalian juga,” papar Sherina.
Nissa menghela napas panjang, “Gue beruntung banget bisa kenal, akrab dan belajar banyak dari lo. Gue sayang sama lo, Rin,” mata Nissa terbelalak.
“Gue juga sayang sama lo, Nis ... ” Sherina memeluk Nissa penuh asmaraloka*.
Di saat Sherina dan Nissa saling mengungkapan isi hati, Lea seperti terpenjara dengan rasa kecewanya sendiri. Sherina sudah mencoba membuka obrolan dengan Lea, namun Lea selalu mencari cara untuk menghindari Sherina. Di depan kantor, Clarisaa sengaja mendekati Sherina dan berbisik tepat ditelinga Sherina, “Lo tahu kenapa Lea sebegitu marahnya sama lo? Itu semua karena lo udah ngerebut Aiden dari dia. Dan lo udah berangkat bareng sama Aiden kamarin, kan?”
Seusai mendengar ucapan Clarissa, Sherina seolah membeku. Sherina mengakui kesalahannya, sebab lagi-lagi Sherina telah melukai hati Lea. Di bawah pohon rindang, Sherina lalu menunduk sambil meneteskan air mata, tiba-tiba seseorang datang, “Ini semua karena kak Aiden!” teriak Sherina.
“Memangnya ada apa, Rin?” cetus Kenzo.
Mulut Sherina sedikit menganga, “Kak Kenzo? Enggak, Kak bukan apa-apa,” timpalnya.
Sherina tak jadi cerita pada Kenzo, namun Kenzo justru menceritakan kejadian yang dialaminya kemarin pada Sherina, “Kenapa kak Aiden marah sampai mau mukul, Kakak?” kedua alis Sherina mengkerut.
“Alasannya karena Kakak ngaterin lo kerja, parahnya lagi Kakak hampir dikeroyok sama Naren dan juga Genta,” lontar Kenzo.
“Dasar pengecut!” raut wajah Sherina penuh kemarahan.
Gue yakin, usaha gue kali ini enggak akan sia-sia. - gumam Kenzo setengah senyum.
Tiap-tiap waktu Kenzo selalu berusaha meracuni pikiran Sherina. Agar Sherina semakin membenci Aiden dan menganggap Aiden selalu salah.
***
Sebelum pulang sekolah, Sherina dan Nissa mampir dulu ke taman tak jauh dari sekolah mereka. Mereka hendak makan mie ayam, sembari cerita-cerita.
“Jadi sebenernya lo cuma kepaksa berangkat sama kak Aiden kemarin?” sahut Nissa.
“Iya, Nis. Kemarin pas gue lagi ngendaraiin motor, tiba-tiba kepala gue pusing, terus Kak Aiden dan Kak Naren yang ngebantuin. Setelah itu Kak Naren ngasih ide konyol, kak Naren nyuruh Kak Aiden berangkat bareng gue buat mastiin biar gue tetep aman sampai sekolah. Karena enggak ada pilihan lain dan hari udah mulai siang, yaudah gue dan kak Aiden berangkat bareng,” jelas Sherina.
“Oh gitu. Gue percaya sepenuhnya sama lo, Rin,” tanggap Nissa.
“Maacih, ya bestie gue ... ” Sherina lantas mendekap Nissa.
Ternyata sejak tadi Lea menguping pembicaraan Sherina dan Nissa. Alhasil Lea kembali luluh dan mencoba memaafkan Sherina.
“Lea? Sini join sama kita,” ajak Nissa.
Sherina sedikit canggung, dan takut Lea menjadi tak nyaman karena kehadirannya, “Eumm ... Nis, gue pulang duluan, ya. Kalian berdua lanjut aja,” pamit Sherina, kemudian Sherina bergegas beranjak dari tempat duduknya.
“Rin, memangnya lo enggak pengen makan bareng gue?” ucap Lea dengan sudut mulutnya terangkat.
“Lo ... enggak marah lagi sama Sherina?” sanggah Nissa.
Lea lantas menggelengkan kepalanya sembari tersenyum pada keduanya.
“Akhirnya ... kalian akur lagi,” Nissa lantas memeluk Sherina dan Lea.
“Ya ampun, kompak sekali kalian ini. Bapak jadi iri,” sambar si tukang mie ayam.
“Iya alhamdulillah, Pak. Semuanya kembali normal. Kalau gitu, tambah lagi mie ayamnya satu ya, Pak,” celetuk Nissa semangat empat lima.
“Siap, Neng.”
“Wait, emangnya lo enggak keberatan, Yak. Makan di tempat terbuka kayak gini,?” hidung Sherina berkerut.
“Enggak kok. Gue udah mulai terbiasa, it’s okey,” mata Lea berbinar.
Hari itu tercatat menjadi hari terbahagia untuk Sherina. Meski sempat ada selisih paham antara dirinya dan Lea, namun akhirnya permasalahan itu bisa terlewati jua.
***
Akan ada bianglala** setelah varsha***, dan akan ada harsa**** setelah nestapa*****. Kita hanya perlu melewati proses demi proses meski kadang menggores luka ☆☆☆
Notes!Asmaraloka* berarti cinta kasih.
Bianglala* berarti pelangi.
Varsha** berarti hujan.
Harsa*** berarti bahagia.
Nestapa**** berarti sedih sekali (duka).
KAMU SEDANG MEMBACA
Sherina Elzavira
Teen FictionSherina Elzavira merasa kehilangan pegangan hidup, ketika ayahnya meninggal dunia. Kondisi keluarganya semakin memburuk ketika ibunya mengalami ganguan mental dan mereka jatuh miskin. Di tengah keputusasaan, Sherina bertemu sang idola di sekolahnya...