Seokmin tidak tertarik keluar dari kamarnya. Tidak peduli dengan gelak tawa, suara gelas yang bertabrakan, atau nyanyian seorang gadis yang anggun di antara dentingan piano. Ibu Seokmin masuk tepat sebelum putra kedua keluarga Choi itu melepas jas dan kemejanya. Wajah cantik yang mulai keriput itu tersenyum. Seokmin coba menerka kira-kira kisah panjang apa lagi yang akan bibir semerah buah ceri itu ceritakan. Pangeran di samudra antah berantah? Raja di benua seberang? Atau pemuda pintar yang menjadi pengusaha sukses dan masuk ke dalam daftar orang terkaya di dunia di usia muda? Niat hati ingin memotivasi, malah membuat sang anak muak.
"Setidaknya kamu harus menyapa beberapa orang di antara mereka." Ibu Seokmin memasangkan lagi kancing kemeja putih yang sempat Seokmin lepas sebelum kedatangannya. Merapikan bagian kerah. Juga meletakkan jas berwarna senada berharga mahal di bahu lebar putra termudanya itu. Memberi isyarat dengan mengarahkan dagu pada pintu kamar yang sedikit terbuka. "Tuan Seo membawa putrinya kali ini."
Seokmin jengah. "Siapa peduli?"
Ia mengerti. Namun ia pun tidak bisa melakukan banyak hal selain berada di tengah. Di antara suami dan kedua putranya. "Persiapkan dirimu selama 5 menit atau ayahmu akan menyeretmu keluar seperti kemarin."
Semua orang berpakaian serba putih. Hanya ada sedikit corak entah identitas merk atau hanya asesoris berkilau yang sengaja dipasang. Begitu Seokmin menuruni anak tangga, tangan Seuncheol, kakaknya, terangkat menyapa. Menciptakan perhatian yang paling Seokmin benci. Yang untungnya instruksi kebencian yang Seokmin beri melalui tatapan mata berhasil dibaca oleh Seungcheol. Ia menurunkan tangan. Seolah tak terjadi apa-apa. Seokmin berjalan lurus tanpa memandang siapapun dan berhenti tepat di samping patung kepala singa. Menyandarkan bahunya ke dinding. Mendapatkan posisi ternyaman. Bukankah tugasnya hanya memamerkan wajah? Biarkan kakaknya yang mengambil alih segalanya. Karena memang tidak ada bagian untuk dirinya. Atau yang lebih tepatnya, tidak ada sedikit pun dari bagiannya yang berminat diambil.
"Minum, Tuan?" Tawar seorang pelayan di sana. "Maaf, tapi saya rasa Tuan tidak boleh meminum yang itu," katanya, saat Seokmin hendak mengambil gelas alkohol dengan kadar yang paling tinggi. Memberikan gelas dengan alkohol terendah.
"Aku bukan anak kecil," dahi Seokmin mengerucut tidak suka.
"Kesadaran Anda harus terjaga atau Tuan Choi akan menarik anda untuk berdiri di antara gadis-gadis itu."
Seokmin merinding saat melihat ke arah di mana gadis-gadis yang dimaksud itu berdiri. Semuanya kompak menyapa Seokmin dengan senyuman nakal. Nafsu minum alkohol Seokmin hilang. Ia menghabiskan segelas alkohol yang diberikan dalam sekali tegukan. Terburu-buru mencari lokasi lain yang dirasa lebih aman.
"Tidak ada yang menarik?" Seuncheol duduk tepat di samping Seokmin. Memberikannya gelas kosong, lalu memberikannya alkohol berkadar tinggi yang sebelumnya gagal Seokmin dapatkan. "Memang tidak ada yang menarik. Aku juga tidak tertarik dengan apa pun, selain bisnis yang Ayah wariskan. Bagaimana denganmu?"
"Aku tidak tertarik dengan apa pun."
"Benarkan?" Seungcheol menghirup aroma alkohol berkualitas terbaik itu sebelum meminumnya. "Tidak ada yang membuatmu tertarik selain dunia fotografi? Kamu yakin bisa bertahan hidup hanya dengan sebuah kamera?"
"Aku akan sangat senang jika kamu yang mengambil alih semua yang Ayah miliki lalu melupakan keberadaanku."
"Aku tidak akan melupakan saudaraku." Seuncheol tertawa. Namun Seokmin merinding. Putra pertama di Keluarga Choi itu berdiri dan pergi. "Kita baru saja membuat kesepakatan dan aku dengan senang hati menerimanya. Tapi aku tidak akan membiarkanmu melupakan rumah ini. Pergilah ke mana pun kamu mau dan pulanglah sesering yang kamu bisa. Oh, sekarang, kenapa tidak kamu keluarkan kameramu itu? Kurasa ada banyak momen berharga mahal yang akan kamu dapatkan di sini."
