•Candramawa

1.6K 143 54
                                    

"Aku sudah terbiasa menikmati sakit, berlagak menjadi wanita gila yang tak kenal rasa, menghirup banyak aroma luka yang selalu dijadikan jenaka. seharusnya secuil bahagia akan jadi sesuatu yang berharga, kan? Tapi kenapa lemparan derita itu semakin kencang menghantam? Lantas haruskah sebaiknya aku mati saja?"

-Tanaya Gheovani Wiriya-

**

**

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

**

Shana perlahan membuka mata, memaksakan diri untuk tetap tangguh saat terbangun di setiap pagi, tangannya meraba-raba ke samping mencari sebuah raga yang tidak dalam jangkauan. Ia menoleh saraya memutar badan, mendapati Arzi yang membentangkan jarak. Gadis itu masih tertidur memunggungi, badannya telanjang tertutup selimut setengahnya.

Dalam hatinya, Shana merasa memiliki segudang perasaan bersalah, punggung mulus yang saat ini ia lihat sepertinya hanya sebuah kulit pembalut tulang-tulang rapuh dan beban berbumbu dendam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dalam hatinya, Shana merasa memiliki segudang perasaan bersalah, punggung mulus yang saat ini ia lihat sepertinya hanya sebuah kulit pembalut tulang-tulang rapuh dan beban berbumbu dendam. Setiap gurat nadi yang menjalari bagai mengalirkan afeksi benci yang dimanipulasi dengan peran baik hati. Shana sangat amat menyadari, tapi memilih untuk bungkam walau mungkin saja selanjutnya ia akan menjadi titik target Arzi. Meski begitu, Shana akan tetap memilih bertarung dan berdarah agar bisa memeluknya. Shana akan senantiasa membiarkan gadis kecil itu bermain-main dengan imajinasi pun ia akan menikmati kecenderungan untuk menggiring siasat agar selamanya berenang pada samudera yang antah berantah.

"Arzi.." Shana membawa tubuhnya mendekat ke arah sang adik, meletakkan telapak tangan pada permukaan kulit punggung Arzi, mengusapnya pelan takut-takut semalam ia meninggalkan bilur yang tak nampak di mata.

Gadis itu tak terusik sama sekali bahkan ketika Shana menenggerkan dagunya diatas pundak. "Arzi, bangun.. Saya ingin dipeluk kamu."

Arzi akhirnya memperlihatkan tanda-tanda kehidupan, badannya ia terlentangkan hingga membuat Shana mau tidak mau mengangkat dagunya.

"Cici.." Suara parau itu terdengar syahdu pada indera pendengaran Shana.

"Bangun, sudah jam 8 pagi-" Wanita jenjang yang berbaring di samping sang adik menyelipkan pergelangan tangannya di balik tengkuk si gadis manis, "Saya juga ingin dipeluk kamu."

ARTistic.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang