8 | Keluarga

9 1 0
                                    

Siang ini cuaca Jakarta agak panas. Matahari benar-benar senang menabur tiap auranya pada makhluk bumi akhir-akhir ini. Diantara pengap dan gerahnya udara, Hiko memandang seorang pria yang kini berada di depannya.

Sepuluh menit yang lalu saat dirinya baru saja menyelesaikan tugas operasi pasien gagal ginjalnya seorang perawat memberi tahu bahwa ada seorang pria yang mencarinya. Perawat itu bilang pria itu sudah menunggunya satu jam yang lalu saat dirinya masih berada di ruang operasi. Hiko agak bertanya-tanya tentang siapa sosok itu. Yang pada akhirnya rasa penasaran itu terjawab ketika ia menemuinya.

Sosok yang kini duduk di depannya adalah mantan suaminya dan Ayah dari Sania.

Tiga hari sudah berlalu sejak saat di mana pria itu menelponnya dan memberi tahu akan mengunjungi putrinya. Hiko tidak mengira pria itu akan datang hari ini dan mengunjunginya langsung ke rumah sakit. Ia tak pernah memberi tahu kapan akan datang maka dari itu Hiko tidak mempersiapkan hatinya. Iya, hatinya.

Sudah berapa lama mereka tidak bertemu? Sepuluh tahun? Dua puluh tahun? Hiko tidak tahu karena yang pasti setelah keduanya berpisah dan selama Sania hidup Hiko tak pernah melihatnya lagi barang seujung kuku pun.

Ada perasaan rindu yang Hiko tahan selama ini. Rindu yang tak akan Hiko biarkan seisi dunia mengetahuinya, entah Sania, suaminya yang telah meninggal bahkan pria di depannya sekali pun. Hiko selalu menyimpan rindu ini di ruang yang tak akan bisa dijamah oleh siapa pun.

Mungkin kalian bertanya-tanya mengapa dia merindukan pria lain ketika bahkan dia sudah menikah. Apa Hiko tidak menyayangi suaminya yang telah pulang ke pangkuan Tuhan? Tidak. Itu tidak benar. Hiko menyayangi suaminya, hanya saja ia juga tak benar-benar melupakan pria di depannya. Ada ruang khusus dihatinya untuk kedua lelaki itu. Tidak ada yang lebih besar, Hiko mencintai keduanya dengan cara yang berbeda.

Dan kini setelah banyaknya waktu yang dia lewati tanpa kehadiran pria itu, keduanya duduk berhadapan dengan perasaan yang entah sama atau tidak. Yang pasti ada perasaan senang yang Hiko rasakan.

Namun Hiko tidak tahu apa yang dirasakan pria di depannya karena selama sepuluh menit terakhir pria itu terus menunduk menatap meja dan tidak melihatnya barang sedetik pun. Entah apa yang tengah berada dipikirannya, Hiko tak bisa menebak itu.

"Jun," panggil Hiko. Jujur saja ia tidak tahan karena keduanya membisu dalam waktu yang terbilang lama.

Merasa dipanggil, pria di depannya mendongkak. Untuk pertama kalinya dalam sepuluh menit terakhir ia memandang Hiko.

"Saya masih ada pasien yang harus di tangani, kalau ada yang mau dibicarakan, sekarang aja."

Bisa Hiko lihat pria itu menunduk lagi. Gayanya terlihat rikuh sekarang, seperti ada sesuatu yang ingin dibicarakan tapi dia malu untuk memulai.

"Kamu gimana perjalanan dari Jepang?" Hiko inistif bertanya.

Pria itu tersenyum sedikit. "Lancar."

"Kamu sampai jam berapa tadi?"

"Saya ambil penerbangan dini hari jadi sampai di sini agak siang."

Hiko manggut-manggut. Ia menyandarkan punggung dengan tangan yang ia masukan kedalam jas dokternya. Tak sedetik pun dia mengalihkan pandangan dari mantan suaminya itu, meski pandangannya tak terbalas.

"Kamu langsung ke sini?"

Jun menangguk tanpa suara.

"Kabar kamu sama Ibu gimana disana." Lagi. Hiko yang berinisiatif bertanya.

"Saya sama Ibu baik." Jun menjawab lagi. Kali ini dia memberanikan diri mengangkat wajahnya membalas tatapan Hiko. "Kamu bagaimana?"

"Saya baik." Hiko mengulas senyum tipisnya.

DECISION Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang