17 | Menyelesaikan Yang Belum Usai

14 2 0
                                    

Setelah Sania mendatanginya mereka memutuskan untuk mengobrol lebih jauh tentang permasalahan ini. Keduanya duduk berhadapan di dalam cafe yang mereka kunjungi seperti waktu itu. Cafe sepi, hanya ada mereka berdua dan dua orang pegawai yang berdiam dibalik kasir.

"Septate Uterus." Sania mengatakannya dengan menunduk menatap cofeelate yang dipesannya tadi. "Itulah kelainan rahim yang saya alami."

Mahen mengerti. Meski dia tidak tahu banyak hal tentang masalah yang kerapkali diderita perempuan tapi dia cukup mengerti sedikit. Dia pernah mempelajari tentang masalah kesuburan wanita sewaktu di New York dulu. Karena yah, dulu Mahen selalu berpikir dia akan menikah dengan perempuan dan mengetahui tentang makhluk itu seperti keharusan untuknya agar suatu saat nanti jika masalah terjadi dia bisa membantu memecahkan masalah ini. Kini, pengetahuannya tentang hal itu cukup membantunya untuk mengerti apa yang Sania alami. Septate Uterus adalah kelainan genetik di mana penderitanya akan sulit hamil dan rentan mengalami keguguran. Kondisi ini adalah kondisi yang sering dialami oleh perempuan yang memiliki kelainan.

"Apa kamu paham," tanya Sania memastikan.

"Saya paham."

"Mungkin memang masih ada kemungkinan untuk bisa hamil tapi saya hanya merasa nggak yakin," jelas Sania tersenyum pahit. "Apa kamu nggak masalah soal ini?"

"Tentu saja nggak masalah. Saya sudah bilang akan menerima kamu apapun yang terjadi," jelas Mahen mengulangi perkataannya malam itu kemudian melanjutkan, "Zaman sudah canggih, segala sesuatu yang terjadi pasti ada solusinya. Untuk masalah ini menurut saya bukan sesuatu yang sulit, kita bisa mencari cara untuk konsultasi ke dokter."

Sania dibuat terdiam oleh kata-katanya. Lelaki itu bilang 'kita' bukan 'kamu'. Jika dipikirkan oleh sudut pandang Sania, masalah ini adalah masalah pribadinya dan Mahen tidak ada hubungannya dengan ini karena keduanya belum memiliki keterikatan apapun. Mungkin normal saja ketika mendengar itu ketika keduanya sudah menikah. Namun mendengarnya kini membuat dia tidak merasa sendirian dan merasa 'ditemani'. Mahen dengan tulus ingin menemaninya menjalani ini. Sania tidak bisa untuk tidak tersentuh, dia semakin mengeratkan genggaman tangannya pada gelas untuk menahan gejolak rasa baper dalam hatinya.

"Terimakasih." Sania memandangnya dengan senyuman paling tulus yang belum pernah dia tampilkan pada lelaki di depannya. "Terimakasih sudah dengan sukarela menerima saya dan keadaan saya."

Mahen sedikit terperangah. Ah, hanya dengan senyuman semua yang ia rasakan terasa sempurna. "Saya juga... Berterimakasih sama kamu."

"Untuk?"

"Terimakasih sudah mengizinkan saya untuk mencintai kamu."

Sania tertawa kecil. "Sama-sama."

Manik kehitaman dan kecoklatan itu saling bertubrukan, memaparkan kehangatan dengan perasaan yang sama di hati keduanya. Ah, akhirnya masalah ini selesai juga.

"Apa saya boleh bertanya?"

"Tentu saja, tanyakan apa yang membuat kamu penasaran."

"Apa alasan sebenarnya kamu nggak jadi berangkat padahal pesawat udah mau landing."

Ada jeda saat Mahen menjawab, ia memandang gadis di depannya sesaat kemudian tersenyum kecil. "Saya menunggu kamu datang."

"Gimana kalau saya nggak datang."

"Nggak masalah kalaupun itu terjadi. Karena saya sudah menekadkan dalam hati bahwa saya akan tetap menunggu kamu sampai kapanpun. Dan lihat buktinya, kamu datang dan penantian saya nggak sia-sia." Mahen memandang gadis itu dengan senyum teduh. "Lagipula kalau saya memutuskan naik pesawat dari awal, bisa saja kamu yang nggak bisa menemui saya. Saya nggak mau bikin kamu terluka karena berpikir terlambat dalam bertindak."

DECISION Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang