Membuka pintu lantas melepas sepatu.
"Aku pulang!"
Hening.hanya terdengar duara kicauan burung milik tetangga.
Aku mengembuskan napas panjang, "Bicara sendiri lagi."
Miaw....
Senyumku mengembang, "Hai buntal. Kamu lapar ya," Aku mengelus bulu lebatnya, spontan membuat tubuh buntal menggeliat. Melihat kelakuan Si Buntal yang menggemaskan, membuat semua beban pikiranku hilang begitu saja.
"Untung ada kamu di rumah. Kalau tidak, aku makan sendirian di dapur," aku menggendongnya, "Yok kita makan."
Sampai dapur, aku mencuci tangan di wastafel lantas mengambil mengambil beberapa daun bawang, dua butir telur, dan susu cair. Tak lupa, aku pun menyiapkan tempat makan si Buntal.
Ginu mencakar-cakar celanaku.
"Iya iya. Sini kalau mau lihat," Aku memempersilahkan si buntal untuk melompat ke atas meja.
Miaw...
"sabar ya Buntal."
Miaw...
Aku tersenyum melihat Si Buntal terus memperhatikanku memasak. Kadang tubuhnya menggeliat karena mengantuk. Beruntung sekali aku memelihara Si Buntal. Ia kucing yang penurut dan menggemaskan. Karenanya, suasana rumah tidak begitu sepi.
Setengah jam kemudian, menu masakan yang biasanya kupakai akhirnya selesai dibuat.
Omurice.
Nasi goreng omelet khas jepang yang sangat enak dan tak perlu biaya mahal.
Aku segera membangunkan Si Buntal setelah semua peralatan masak selesai dibersihkan. Kucing itu langsung turun dan menunggu di depan tempat makannya. Aku mengambil sekarung kecil makanan kucing lantas menuangkannya ke dalam tempat makan kucing.
Aku tertawa kecil melihat kepalanya naik turun karena mengantuk.
"Hey Buntal, ini makannya udah siap," ucapku sembari mengelus lehernya, "Maaf ya, menunggu lama."
Si Buntal dengan segera melahap makanannya, sangat lahap. Aku tersenyum, membiarkannya menyantap makanannya. Aku membersihkan tangan, lalu mulai menyantap omurice terenak yang pernah kubuat.
Tidak sih, aku mengucapkan itu hanya untuk membanggakan diri saja.
Yah, beginilah keseharianku setelah sekolah. Membosankan. Tidak ada hal menarik yang bisa kulakukan di rumah ini. Kecuali di Minggu, mungkin aku akan mencuci pakaian atau membersihkan rumah.
Setelah mencuci piring yang kotor, aku mulai membersihkan tubuh. Kemarin, seharian penuh aku belum mandi. Baju yang kukenakan ini masih sama dengan hari kemarin. Penuh dengan tanah pasca perkelahianku dengan perempuan itu.
Kenapa Persia tidak jijik dengan baju kotorku ini? Ia dengan senang hati memberikan tempat tidurnya untukku.
Aku harus meminta maaf padanya.
Selain itu, aku terus memikirkan Gina. Bagaimana cara memberitahu perempuan itu jika perlakuannya terhadap Gina sudah keterlaluan. Ia sebenarnya hanya seorang pembantu, tak lebih dari itu. Terlihat dari bagaimana ia berbicara tentang 'keluarga' Gina.
Namun, seperinya prempuan itu lupa semua tugasnya.
Aku keluar dari kamar mandi, lantas memakai setelan kaus lengan pendek dan celana hitam panjang.
Saat para siswa di gedung utama mengenakan pakaian yang telah ditentukan kepala sekolah, kelas D dibebaskan begitu saja ingin menggunakan pakaian seperti apa.
Miaw...
Si Buntal mencakar-cakar celanaku.
Aku tersenyum, mengelusnya, "Buntal jaga rumah lagi ya. Aku janji nanti sore atau malam sudah pulang."
Miaw...
Aku memasukkan beberapa buku ke dalam tas. Tak sengaja menemukan kertas gambar milik Gina yang sudah cukup lencak karena tertimbun buku.
Bulir-bulir air mata mengalir lembut di pipi.
Eh, kenapa aku menangis?
***
"Eh, nanti malam mau makan apa?"
"Emmm...terserah. masakanmu enak semua."
"Ih kayak perempuan aja. Kalau ditanya jawabnya terserah."
Laki-laki berseragam rapih di sampingnya menghembuskan nafas.
Mereka terlihat akur sekali. Seperti saudara saja. Aku yang sedang membaca buku sembari berjalan, ikut mendengarkan pembicaraan. Sepertinya seru jika punya saudara seperti mereka berdua.
"Eh Kanaya, nanti aku boleh ikut ke pasar?"
"Tumben sekali, mau apa?" gadis di samping laki-laki itu bertanya balik.
"Mau mencari referensi. Aku berencana melanjutkan seri novel baruku. Para editor di publish home memintaku untuk melanjutkan serinya. 'penjualan novelmu meningkat drastis.' Itu yang ia ucapkan."
"Wah, selamat ya! Kamu mau melanjutkan seri novel yang mana?"
"The Book's."
Spontan buku yang kugenggam terjatuh ke tanah. Mataku membesar. Lihatlah siapa yang ada di hadapanku saat ini! Seorang penulis cilik yang sudah menerbitkan lima belas buku novel. Buku-buku itu best seller begitu cepat. Awalnya aku meremehkan buku ciptaan laki-laki itu. Namun, saat membacanya langsung, aku tak menyangka aluhr ceritanya sebagus itu.
Kedua remaja tadi telah menatapku beberapa detik.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya si gadis.
Aku menggeleng, lantas mengambil buku novel yang terjatuh, "Maaf-maaf..." aku berlari sekuat tenaga, menjauhi mereka karena malu dengan baju yang kukenakan.
Sampai di depan tangga menuju kelas, aku melihat cover buku itu. The Book's. Tersenyum.
"Hebat sakali laki-laki itu bisa membuat novel sebagus itu. Bagaimana caranya ya?"
Aku sebenarnya suka sekali membaca novel. Cerita dalam buku yang rata-rata halamannya 300-400 itu sangat menempel pada imajinasi. Seakan diriku sedang mengalami kejadian yang sama pada cerita buku novel itu.
Entah mengapa, jadi ingin membuat cerita. Yang pendek saja.
Kakiku mulai menginjak satu anak panah. Namun, langsung berhenti saat bola mataku mendapati Gina berjalan melewatiku. Tubuhku mematung.
Apa yang terjadi pada Gina?
Mengapa ada lebam di lengan kirinya?
Aku terus melangkah di belakang Gina sembari beberapa kali melirik tubuhnya. Aku ingin bertanya tapi tidak berani. Untuk saat ini, Gadis itu sepertinya tidak ingin berbicara dengan siapapun. Terlihat jelas dari mimik wajahnya.
Apa yang sebenarnya terjadi pada hidupmu Gina.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Finn an His Word's
RomanceSampah... Kata-kata itu selalu berputar dalam otakku. Kenapa semua orang langsung menyebut kata 'sampah' pada seseorang yang buruk dalam akademiknya. Memang nilai akademik itu menentukan nasib dan masa depan? Kisah ini menceritakan tentang apa itu s...