Hari ini aku melihat Gina dengan model rambut yang berbeda. Rambutnya dikepang pinggir bagian kanan dan kirinya, lalu kedua kepangan itu diikat membentuk seperti kalung di rambutnya
Tumben sekali dia merapikan rambutnya.
"Gina, aku..."
"ayo sarapan, Finn," gadis itu tersenyum.
"Eh, baiklah."
Seperti biasa, setelah sarapan kami berangkat sekolah. Persia memberitahuku lewat ponsel jika kita akan memulai persiapannya. Ternyata memang perlu banyak waktu untuk mempersiapkan festival budaya itu.
"Finn, kamu fokus melanjutkan novelmu saja. Biar kami yang membuat dekorasinya," ucap Soni.
Aku mengangguk. menaruh tas di samping meja, lalu mengambil laptop.
Aku terus menulis cerita hingga sore pun tiba. "Finn, ayo pulang." Gina menarik lengan bajuku. Aku melepas headset. "Gimana, Gina?"
"Pulang."
memangnya sudah jam berapa? Aku melihat sekitar, yang lain sudah pulang. Dengan cepat bola mengarah ke jam laptop, 17:00.
Aku menepuk dahi. Karena keasyikan menulis bagian klimaks-nya, aku jadi lupa waktu.
"Maaf, Gina. Ayo pulang. Oh iya, Nanti ke pasar dulu ya, bahan-bahan masakan di rumah sudah habis."
Gina mengangguk.
Kami melangkah keluar kelas. Namun, baru ingin memakai sepatu, bola mataku mendapati persia tengah duduk di salah satu anak tangga.
"Finn, itu persia."
Aku mengangguk.
"Persia!"
Gadis itu membalikkan badan, bola matanya menatapku dengan tatapan kosong, lantas kembali ke posisi awal. Aku terkejut melihat ekspresinya yang berubah seratus delapan puluh derajat.
"Ada apa, persia?"
"Finn, aku menyukai Galen."
Cepat sekali dia membalasnya!
"Setelah lulus nanti dia akan kuliah di luar kota. Aku tak tahu lagi harus bagaimana."
Aku duduk di samping Persia, Gina mengikuti.
"Kalau kamu beneran suka sama Galen, nyatakanlah. Jangan cuma dipendam doang. Rasa suka itu bukan melulu tentang percintaan juga kok. Mungkin dia bisa mengartikannya lebih dari itu. Lagi pula kalian bedua kan sudah kenal sejak kecil."
Persia terdiam.
Angin sepoi-sepoi mengibaskan rambutku, suara kicauan burung terdengar jelas di telinga, membuat suasana semakin tenang.
"Gina suka Finn."
Wajahku memerah.
Persia tiba-tiba tertawa dengan sangat keras. "Ternyata benar, kamu suka dengan Finn. Ya ampun, aku sudah menduga hal seperti ini akan terjadi, pernyataan cinta dari seorang Gina!"
Aku menepuk dahi, cepat sekali suasana hatinya berubah.
"Eh, Persia, jangan salah paham dulu. Tadi kan aku sudah bilang kalau belum tentu soal percintaan."
"Hihi, aku tahu kok Finn, tenang aja,."
Aku mengembuskan napas panjang, untung saja.
"Ini semua gara-gara kamu, Gina." Gina memiringkan kepala, "Kenapa?"
"Hadeh..."
"Tapi Finn, terima kasih. Sekarang aku sudah lebih baikan. Mungkin aku akan lebih terbuka lagi pada Galen. Siapa tahu dengan itu, ia bisa memahami perasaanku."
Aku tersenyum. Baguslah jika gadis itu sudah kembali menjadi dirinya lagi.
"Ayo pulang, Finn." Persia berjalan duluan.
Aku mengangguk.
"Oh iya, aku lupa ingin membeli bahan makanan."
"Eh, jam berapa sekarang, setengah enam! Pasar sudah tutup kalau jam segini," ucap Persia.
Aku terkejut. "Heh, yang benar?! berarti hari ini hanya makan omurice deh."
"Aku minta maaf, Finn."
"Ya sudahlah." Aku mengembuskan napas panjang, "Yang penting temanku ini sudah kembali normal."
"Ih, Finn jahat!"
Mata kami berdua bertemu, lantas tertawa.
***
"Terima kasih makan malamnya, Gina," aku menumpuk piring kotor, lalu membawanya ke wastafel.
Piring-piring itu kugabungkan dengan wajan bekas memasak tadi untuk agar dapat sekalian kucuci. Gina awalnya ingin membantu, tapi kularang.
"Biarkan sekali-sekali laki-laki ini berguna," ucapku sambil meringis, "Kamu boleh ke kamar duluan Gina."
Gadis itu mengangguk, "Terima kasih, Finn," lantas menaruh celemeknya.
"Oh iya, aku dari tadi mau bilang ini, tapi selalu kelupaan."
"Apa?"
"Rambutmu sangat indah jika diikat seperti itu."
Gina tersenyum sejenak, lantas melangkah masuk ke kamar. Aku kembali melanjutkan cuci piring. Setelah beres, aku ikut masuk ke dalam kamar, lalu menancapkan flashdisk ke PC.
Melanjutkan penulisan bagian klimaks.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Finn an His Word's
RomanceSampah... Kata-kata itu selalu berputar dalam otakku. Kenapa semua orang langsung menyebut kata 'sampah' pada seseorang yang buruk dalam akademiknya. Memang nilai akademik itu menentukan nasib dan masa depan? Kisah ini menceritakan tentang apa itu s...