"Ternyata kau memang suka dengan Gina ya," ucap galen ketika aku melewati meja guru yang berada tepatt di depan papan tulis.
Wajahku memerah. "Mana ada!"
"Mau sampai berapa lama kamu berbohong pada dirimu sendiri, Finn." Suara Galen tampak serius.
Wajahku semakin memerah, terdiam.
"Aku seperti pernah bertemu dengannya, tapi tidak tahu di mana dan kapan. Aku hanya merasa familiar dengan wajah dan rambut merahnya. Saat melihat gadis itu sedang dalam masalah, entah mengapa kakiku seperti bergerak sendiri."
Galen tertawa. Menepuk pundakku, "Kalian berdua itu memang unik ya."
"Aku menyukai Persia, Finn."
Aku tersenyum, "Aku tahu kok."
Laki-laki itu menghembuskan nafas panjang, "Tapi aku tidak tahu harus bagaimana?"
"Maksudnya?" tanyaku.
Galen membuka laci meja guru. Dia mengeluarkan secarik surat. Aku membukanya.
Mata seketika membesar, 'Selamat, Anda diterima di universitas Oxford', Galen—diterima di universitas terkenal itu.
"Aku akan pergi ke Inggris tepat setelah lulus."
"Jurusan apa?"
"pengembangan elektronik digital modern."
Aku terdiam seribu kata. Laki-laki dihadapanku ini sangat cerdas dan pintar. Kira-kira, kapan aku bisa seperti mereka?
Tanganku mengepal, Bikin iri saja.
"Itu yang membuatku bingung."
"Jika seperti itu aku tidak bisa memberimu saran apa-apa, Galen. Lagi pula, aku juga belum pernah mengalaminya."
"Begitu ya..."
Hening sejenak, menyisakan lantunan musik dari kicauan burung yang sangat menangkan hati.
"Aku pernah mendengar beberapa orang di gedung utama yang sedang mengobrol tentang kekasih mereka. Katanya, jika ingin tetap diingat oleh kekasihnya, kita harus memberikan sesuatu yang sangat berkesan, seperti liontin, gelang, ataupun perhiasan lainnya."
"Maaf, hanya itu yang kutahu."
Galen menggeleng, "Tidak apa-apa, Finn. Aku sudah mendapatkan bayangannya, Mungkin aku akan memberikan gadis itu cincin di hari kelulusan. Selain digunakan untuk perhiasan, bisa juga dipakai untuk melindunginya dari laki-laki bejat."
Aku menepuk dahi. Selain cerdas, pikiran orang ini juga di luar nalar ya. Aku saja tidak pernah terpikirkan hal seperti itu.
"Makasih ya, Finn."
Aku mengangguk, "Aku kembali ya."
"Oh iya, ini ada amplop dari seseorang. Katanya dari laki-laki."
"Dari siapa?"
"Tidak tahu. Orangnya langsung pergi setelah memberikan ini."
"Oh, yaudah," Aku menerimanya, "Terima kasih."
Tumben sekali ada yang mengirim amplop uuntukku. Kira-kira dari siapa ya? Sesampainya di tempat duduk, Aku membuka amplop itu. Ternyata ada selembar kertas di dalamnya.
"Maaf jika membuatmu gelisah ataupun iri dengan apa yang aku tunjukkan tadi."
"Aku tahu apa yang sedang kamu pikirkan sekarang, Finn."
Bola mataku membesar, lantas menatap laki-laki yang berada di meja guru itu. Galen—laki-laki itu hebat sekali dapat menebak apa yang sedang kupikirkan tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Finn an His Word's
RomanceSampah... Kata-kata itu selalu berputar dalam otakku. Kenapa semua orang langsung menyebut kata 'sampah' pada seseorang yang buruk dalam akademiknya. Memang nilai akademik itu menentukan nasib dan masa depan? Kisah ini menceritakan tentang apa itu s...