"Kamu kenapa membingungkan sih, Ron?"
*
Hari Senin tiba-hari di mana Alma kembali ke rutinitas yang terasa semakin membosankan. Pagi ini, ada perasaan takut dan gelisah yang menggerogoti hatinya, berbeda dari biasanya. Kejadian beberapa hari lalu saat Darron memarahinya di depan rekan-rekan kerja kembali menghantui pikirannya. Rasa malu dan kecewa mendominasi suasana hatinya.
Mobil Alma akhirnya berhenti di parkiran kantor, namun perjalanan yang biasanya terasa singkat kini terasa begitu panjang dan melelahkan. Rasa takut terus menghantuinya, membuat berbagai skenario buruk terlintas di benaknya tentang pertemuannya dengan Darron nanti.
Akhir pekan kemarin sempat memberikan pelarian. Alma menikmati waktu bersama Jayendra dan keluarganya-sebuah jeda manis dari kesedihan dan tekanan yang ia rasakan. Tapi hari ini, realita kembali menyambutnya dengan dingin. Alma harus kembali menjadi "budak korporat," mematuhi perintah atasan dan sebisa mungkin tidak membuat kesalahan.
Setibanya di meja kerjanya, Alma disambut oleh senyum lebar Pram yang sudah menunggu di kursinya.
"Pagi, Kak," sapa Alma, mencoba memaksakan senyum.
"Pagi, Ma! Gimana, sudah mendingan kan? Harusnya sih enak ya, kemarin kan ketemu ayang," ucap Pram sambil terkekeh.
"Ayang-ayang, pala lo peyang! Nggak jelas banget, Kak," balas Alma, tertawa kecil. "Ngomong-ngomong, udah chat Dila belum?"
Pram mendadak merunduk, wajahnya berubah canggung. "Belum, Ma. Bingung mau ngomong apa," jawabnya pelan.
"Yahhh, buaya juga bisa ciut ternyata!" sindir Alma dengan tawa menggoda, sambil menepuk pundak Pram berkali-kali.
"Sialan lo! Gue bukan buaya, ya," gerutu Pram, wajahnya tegang, alisnya bertemu. Alma hanya tertawa melihat reaksi temannya itu.
"Ya udah, nanti kita ngopi bareng lagi ya, Kak," ucap Alma, senyumnya mengembang, mencoba menyemangati Pram.
"Nah, boleh tuh, Ma. Emang baik banget lo, Ma. Pantesan direbutin cowok," ucap Pram sambil menepuk lengan Alma dengan akrab.
"Ih, apaan sih! Jijik banget," Alma memukul bahu Pram, tertawa lagi.
Dari dalam ruangannya, Darron diam-diam memperhatikan interaksi mereka berdua. Ada rasa panas yang menggelitik hatinya, membuatnya melepas jas dan melonggarkan dasi. Ia berpikir keras tentang cara untuk memperbaiki hubungan buruk antara dirinya dan Alma.
Namun, meminta maaf bukan hal yang mudah bagi Darron. Bagaimanapun, Alma memang bersalah saat itu. Dia seharusnya berada di ruang rapat tepat waktu. Pikiran ini berputar-putar di benaknya, menghalangi niat untuk sepenuhnya mengakui kesalahan.
Jam menunjukkan pukul 11, dan tiba-tiba telepon di meja Alma berbunyi. "Iya, Pak. Baik, Pak," jawab Alma sambil meletakkan gagang telepon. Aduh, mati gue, kenapa lagi nih? batinnya. Ia segera bergerak dari tempat duduknya menuju ruang kerja Darron, jantungnya berdegup kencang.
"Permisi, Pak. Izin masuk," ucap Alma, mengetuk pintu kaca.
"Masuk," jawab Darron dari dalam.
"Al, hari Rabu nanti gue mau ke Bandung buat meninjau lokasi promo single talent kita. Lo kan yang bilang rencananya kayak live music? Jadi, lo harus pikirin konsepnya dan kapasitas pengunjungnya. Lo juga harus ikut, karena itu ide lo. Jadi, lo yang harus tanggung jawab, bukan gue," ujar Darron dengan nada tegas. Duduknya tegak, kedua tangannya dilipat di depan dada, menatap Alma dengan tajam.
"Baik, Pak. Kira-kira berapa jam kita di sana, Pak?" tanya Alma, suaranya bergetar sedikit.
"Lo pikir gampang nyari lokasi? Ya nginep lah di sana. Nanti gue bilang Putri buat pesen hotel. Lo siapin aja baju buat beberapa hari. Jangan lo pikir kerjaan ini gampang, Al," jawab Darron, nada suaranya semakin meninggi, memperlihatkan kekesalannya terhadap pertanyaan Alma.
KAMU SEDANG MEMBACA
TERSIPU | Why do I still have feelings for you?
RomanceSelama tujuh tahun, Almaira dan Jayendra terikat dalam ikatan persahabatan yang erat. Jayendra berusaha menutupi perasaannya pada Alma. Ketika Almaira bertemu dengan Darron atasan di tempat barunya bekerja, Almaira merasakan ketertarikan yang berbed...