22. Dia ada dimana-mana

134 12 1
                                    

Sinar dari matahari di jam dua siang, menemani perjalanan mereka yang masih bimbang mencari tempat yang aman untuk berbincang. Jalanan yang tidak terlalu padat membawa mereka jauh lebih cepat menjauhi daerah rumah Alma. Hingga akhirnya mereka berhenti di suatu tempat, sebuah kafe bertingkat dua bernuansa hitam. Alma berjalan dan memilih tempat untuk duduk, kini ia melepas jaketnya dan meletakkannya di sandaran kursi. Semetara Darron berada di kasir, memesan minuman dan makanan untuk mereka nikmati.

Pikiran Alma masih berisik oleh semua teka-teki yang sekarang ada di hidupnya. Entah mengapa suasana kafe terasa dingin, angin yang berhembus terasa menusuk ke tubuhnya. Mungkin karena rasa lelah yang masih dirasa karena perjalanan panjang dengan emosi yang menguras tenaga. Ia memutuskan untuk kembali mengenakan jaket yang ada di sandaran kursi. Darron datang menghampiri dengan membawa nampan berisi pesanannya.

"Sayang, kamu kedinginan?" tanya Darron memerhatikan Alma yang mengeratkan jaket pada tubuhnya.

"Sedikit."

"Kamu kecapean ya kayaknya, soalnya ini nggak terlalu dingin," Darron mengusap lengan Alma perlahan "Tadi aku pesan chamomile tea, nanti makanannya nasi goreng. Mudah-mudahan enak ya, biar kamu bisa makan."

"Aku ngga laper, Ron. Lagi nggak mau makan."

"Jangan gitu Al. Aku gamau kamu kenapa-kenapa lagi. Udah cukup berat kan sekarang. Jangan ditambah lagi dengan keadaan fisik yang ga sehat." Darron meraih tangan kanan Alma. Mencoba menggenggamnya, namun ia melihat sesuatu yang membuat hatinya tertusuk. Darron menghembuskan nafas dengan kasar.

"Kamu pake Al?" tanya Darron yang masih menggenggam jemari Alma.

"Iya, tadi aku tidur lupa lepas. Di paksa mama pake."

"Hmm..." jawab Darron singkat.

"Bete ya?"

"Nggak sih."

"Terus?"

"Sakit aja. Harusnya tanda pengikat yang ada di jari manis kamu ini pemberian dari aku. Bukan dari orang lain," jawab Darron dengan senyum yang kecut.

"Dari kamu nggak ada soalnya." Alma menggoda Darron. Candaan yang Alma berikan di waktu yang sangat tidak tepat. Karena saat ini bukan untuk bercanda.

Darron melepas jemari Alma, mengalihkan pandangannya ke jendela besar yang berada di sampingnya. Melihat langit yang warnanya semakin gelap. Sepertinya hujan akan turun, menemani hati mereka yang semakin mendung. Alma melepaskan cincin yang berada di jari manisnya. Lalu menaruh benda itu di saku kecil dalam tas. Alma meraih tangan Darron. Saat ini Alma yang menggenggam jemarinya dan mengusap lembut jari pria dihadapannya.

"Sayang, maaf ya. Bercandanya nggak lucu. Nggak seharusnya aku ngomong kaya gitu. Aku juga nggak mau pake sayang. Kalo bukan karena mama yang nyuruh nggak akan mungkin aku pake. Maafin aku ya, sayang." Alma masih menatap Darron yang kini sudah memusatkan pandangannya pada Alma.

"Al, nanti kita ketemu sama mama aku ya? Aku mau kenalin kamu ke mama."

"Oke. Aku nurut aja."

"Nah bagus, istri emang harus nurut sama suami."

"Mohon maaf, belum ya."

"Iya-iya terus aja Al."

"Hehehehe," jawaban Alma mendapat cubitan kecil pada pipi Alma.

"Haha-hehe aja ya kamu." Sahut Darron yang hanya di balas senyuman oleh Alma.

"Nikah yuk, Al?" tanya Darron dengan cepat.

"Ayo! Sekarang ya?"

Mereka bertatapan, keheningan terjadi selama beberapa detik sebelum mereka berdua tertawa. Seandainya keadaan mereka semudah itu, pasti mereka akan sangat bahagia. Seorang pelayan datang membawa pesanan Darron. Menaruhnya di meja, disertai dengan sebotol air mineral. Mereka menikmati makanan tersebut sambil menunggu hujan reda. Perbincangan penuh canda tawa menghiasi sore itu. Sejenak membuat mereka melupakan rintangan yang masih ada di depan mata.

TERSIPU | Why do I still have feelings for you?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang