10. Bandung dan cerita cinta (2)

455 34 1
                                    

"Udah jadi partner kerja kamu, tinggal jadi partner hidup. Iya nggak, Al?"

*

Sinar matahari pagi menyambut Alma dan Darron saat mereka tiba di tujuan pertama mereka, Ambrogio. Sebuah restoran dengan bangunan dua tingkat dengan dominasi warna hitam dan sentuhan kayu hangat berdiri megah di depan mereka. Di lantai bawah, meja-meja kayu coklat tertata rapi di bawah jendela kaca besar, membiarkan cahaya alami masuk dengan indah. Area terbuka di belakang restoran menambah suasana yang lebih santai dan segar.

"Tempat ini bagus banget, Al," kata Darron, matanya berbinar melihat sekeliling.

"Kan, aku udah bilang!" sahut Alma dengan semangat. "Aku juga mikir gitu. Jadi nanti talent kita bisa nyanyi di area perbatasan ini, antara indoor dan outdoor. Fanbase mereka bisa lihat dari semua sisi. Kita bisa atur sekitar 20 bangku dalam setengah lingkaran. Bahkan kalau orang-orang duduk di meja masing-masing, mereka tetap bisa melihat dengan jelas."

Darron mengangguk setuju, mengamati setiap sudut ruangan. "Iya, Al. Nanti alat musik bisa kita tempatkan di bagian indoor untuk keamanan. Kapasitasnya cukup ideal, sekitar 75 orang, cukup untuk menciptakan suasana yang intim. Yang penting, kita sudah menyiapkan pilihan tempat yang bagus untuk talent."

"Oke, siap!" seru Alma dengan antusias.

"Good job, Al," puji Darron dengan senyuman bangga yang tak ia sembunyikan.

"Thank you, Ron," balas Alma, membalas senyuman Darron dengan manis, perasaannya sedikit melambung.

Mereka memutuskan untuk menikmati makan siang di area outdoor, tepat di samping kolam ikan yang menenangkan. Alma memesan Creamy Salmon Pasta yang terlihat menggoda, sementara Darron memilih Meat Lover Pizza yang terlihat lezat untuk disantap bersama.

"Ron, ini enak banget, lho!" Alma berkata dengan mata berbinar, menyodorkan garpu berisi Creamy Salmon Pasta ke arah Darron. "Coba deh!"

Darron menggelengkan kepala. "Nggak, Al. Pizza ini juga banyak, lho. Lagian, tadi kita sudah sarapan sepiring penuh."

Alma mengerutkan kening, tidak menyerah. "Ayo dong, cobain dulu. Buka mulutnya, aaaa!" ujarnya bersikeras, mengarahkan garpu ke mulut Darron.

Darron akhirnya menyerah dan membuka mulutnya. "Enak, kan?" tanya Alma penuh harap.

Darron mengangguk, tersenyum setelah menelan pasta itu.

"Iya, enak," jawabnya dengan tulus.

Keduanya tersenyum lagi, tapi kali ini ada kehangatan yang lebih dalam di antara mereka-rasa bahagia yang perlahan tumbuh.

*

Matahari terik membakar aspal jalanan kota Bandung saat Darron dan Alma berjalan menyusuri trotoar. Langkah mereka cepat dan penuh antusias, berusaha mencari tempat yang sempurna untuk proyek musik mereka.

Alma membawa Darron ke sebuah area yang terkenal dengan pertunjukan musik jalanannya. Namun, saat melihat keramaian dan kebisingan di sana, Alma ragu. "Ron, kayaknya untuk project kita, tempat ini nggak cocok deh," ujarnya, wajahnya penuh keraguan.

Darron mengangguk, mengamati sekeliling. "Iya, Al. Nggak bakal bisa dapet suasana yang intimate di sini. Walaupun tempat ini ramai, konsep kita beda. Ada tempat lain, kan?"

"Masih ada," jawab Alma dengan semangat yang kembali muncul. "Tapi tempat selanjutnya agak jauh."

"Terus kenapa? Nggak masalah, kan?"

Alma mendesah, lalu berkata, "Tapi gantian nyetir ya? Dari tadi kan belum gantian."

Darron mencibir dengan nada menggoda. "Masih kuat kok."

TERSIPU | Why do I still have feelings for you?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang