Suara peraduan antara sendok dan piring terdengar begitu nyaring. Meja makan berbentuk memanjang yang mereka tempati sama sekali tak diisi oleh percakapan. Sopannya memang begitu, namun rasanya tak pernah ada kehangatan di dalam sana. Terkecuali, jika sosok manis itu hadir diantara mereka.
"Aku selesai."
Jean, berdiri. Segera, pemuda dengan pahatan wajah mendekati kata sempurna itu beranjak pergi. Jeanno Dirgantara, si anak ketiga yang minim ekspresi. Tak bisa menunjukkan amarah, namun senyumannya selalu berhasil membuat orang lain gundah.
99% hidupnya diisi dengan nama Kaizo. Adik tersayangnya, adik yang ia cinta, adik yang ia jaga walaupun sebenarnya, Jean tetap tak berdaya jika berhadapan dengan dia.
Kaki jenjang yang menapakki tangga itu akhirnya sampai di hadapan pintu bercat putih gading. Berbeda dari pintu-pintu lainnya yang diberi cat coklat, ruangan ini sengaja dibedakan. Jeanno menekan knop pintu, membuka jalan penghubung antara ruang peralatan dengan kamar medis yang ditempati sang adik.
"Kai .."
Orang yang dipanggil tak menyahut, namun, anak itu mengerjap-erjapkan mata. Bibir pucatnya menarik senyuman parau.
"Kak Jean, sini."
Panggilnya dengan suara lemah. Mata Jean tampak berkaca-kaca, jika sudah berhadapan dengan adiknya, Jean tak bisa berbuat apa-apa. Ia merasa lemah, ia merasa .. ada sesuatu yang sulit untuk dijelaskan di dalam relung hatinya.
"Semalam collapse lagi, hm? Ada yang ganggu kamu? Cerita sama kakak, sayang. Jangan dipendam." Jean berucap, usai mendudukkan diri pada kursi di samping kanan bed Kai.
Kai, menggeleng. Namun mengangguk kecil setelahnya. Hal itu mampu membuat Jean terkekeh, pemuda minim ekspresi itu dapat diluluhkan hanya oleh Kai. Asal kalian tau.
"Ada apa?" Jean, kembali bertanya.
"Mama .."
Jean, tersenyum tipis.
"It's okay. Rindu, ya?" Jean mengelus surai sang adik. Kemudian turun pada pipi tirusnya, menghapus jejak air mata yang ternyata mulai luruh.
"Lelah. Mau ketemu mama." Kai, bergumam lirih.
"No. Nggak boleh. Tetap disini sama-sama, i'm here, Kai. Kakak selalu ada dimana pun kamu berpijak. Jangan pernah ikut mama, ya? Ada kakak." Jean, memeluk tubuh ringkih adiknya. Sekarang, ia tak lagi kuasa menahan tangis.
Kai, menggeleng lemah.
Kai, tak tau harus menjawab apa.
Yang ia pikirkan sekarang, hanya kondisi tubuhnya yang semakin hari semakin rapuh. Semakin hari semakin tak berdaya. Semakin hari semakin lemah.
Tak ada yang bisa berbuat apa-apa. Semuanya dibuat tunduk pada dia.
~☆~
Balkon itu sudah lama tak dikunjungi pemiliknya. Namun hari ini, tiga pemuda bersaudara sudah nangkring di teras balkon dengan pandangan yang mengarah pada langit jingga di atas sana.
Kai, tersenyum tipis. Kali ini ia memaksakan tubuhnya untuk berdiri. Berada diantara Jean dan Hakma, kedua kakanya yang menjadi teman bermainnya sejak kecil.
Awalnya, mereka menawari Kai untuk memakai kursi roda. Namun anak itu membantah, katanya agar ia tak lagi kaku jika berjalan nanti. Hitung-hitung latihan karena sudah lama berbaring di bed pesakitan.
"Senjanya cantik."
Jean, menyeletuk.
"Cantikkan senja atau cewek kakak?" Kai, terkekeh kecil. Ia hanya bergurau melontarkan pertanyaan tersebut.
"Dia mana mau punya cewek. Ada yang suka aja dia diemin sampai akhirnya mereka capek sendiri." Hakma, menimpali. Ia tau betul tabiat seorang Jeanno Dirgantara, kakaknya yang terkenal dingin dan cukup terkenal karena kejeniusannya di sekolah.
"Kai kira, Kak Jean udah punya pacar."
"Kamu gak boleh tau soal cinta-cintaan dulu. Tau darimana istilah kayak gitu, hm? Pasti Hakma yang ngajarin, ya?" timpalnya.
Kai mengangguk, "Kak Hakma sering ngajak aku nonton drakor romantis. Lucu," ucapnya jujur.
Jean menghela nafas, sorot mata tajamnya menatap Hakma penuh intimidasi. Sedangkan yang ditatap mengangkat alis, tak peduli jikalau Jean tengah mengintimidasinya sekarang.
"Cinta-cintaan sama orang lain itu urusan nanti. Sekarang fokus dulu sama keluarga, fokus dulu buat masa depan. Urusan jodoh gak akan kemana." Jean, menjelaskan. "Kakak mau fokus dulu sama kamu, fokus buat kesehatan kamu, kakak gak mau waktu kakak terbuang sia-sia cuman karena punya seseorang yang statusnya pacar. Waktu kakak bakalan terbagi, kakak maunya waktu yang kakak punya full buat kamu." Jean tersenyum tulus.
"Aku penghambat kalian, ya? Aku selalu nyusahin. Aku enggak bisa apa-apa disaat kalian semua udah jauh dari garis start. Sementara aku masih ngos-ngosan buat nyamperin garis start yang ada di depan sana." Kai, terbatuk, udara di luar sudah mulai dingin.
"Hei--" ucapan Jean, terpotong.
"Aku dari dulu selalu menggeluti satu pertanyaan, apa aku masih punya masa depan? Nanti aku bakalan jadi apa? Setiap harinya, aku cuman ngerasain rasa sakit. Semuanya sakit, sekujur tubuh aku selalu sakit. Aku bingung, aku sebenarnya kenapa? Kenapa aku enggak bisa jadi manusia yang berguna? Kenapa segala sesuatu yang aku lakukan harus dibatasi? Kenapa aku enggak bisa bebas kayak kalian? Kalian bisa gapai mimpi kalian, kenapa aku enggak? Aku, aku--"
"STOP IT!" Hakma berteriak lantang.
Sungguh, ia muak ketika harus mendengarkan suara lemah Kai yang mengeluhkan tentang kehidupannya. Bukannya tak suka, hanya saja, Hakma rasa hatinya ikut sakit. Bagaikan ada pisau yang mengiris-iris ulu hatinya.
Kai, tersentak. Kepalanya tertunduk dalam.
"Kita masuk. Kamu harus istirahat," putus Jean.
Ia sadar, kondisi Kai saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk mereka melakukan deep talk. Adiknya itu belum masuk ke dalam fase stabil.
Kai menurut, anak itu berjalan lemas. Tungkainya terasa berat, sama halnya dengan kepalanya yang kembali diserang sakit hebat.
"Sshhtt .."
Langkahnya terhenti, padahal, pintu masuk hanya tinggal satu langkah di depannya. Kai memegangi kepala, merasakan sakitnya kali ini lebih sakit dari biasanya. Seperti ada beribu jarum yang menusuk-nusuk kepala.
"KAI!" kedua pemuda di belakangnya berteriak panik. Kala tubuh ringkih sang adik tumbang, beruntungnya, Jean dengan sigap menangkapnya. Memeluk tubuh lemah tersebut kemudian melangkah cepat membawa adiknya pada bed pesakitan.
Hakma kalang-kabut, ini bukan yang pertama kali bagi mereka. Ini sudah sering terjadi sejak Kaizo kecil. Hakma segera membenahi bed dengan cekatan, kemudian membantu Jean untuk membetulkan posisi Kai.
Mata sayu itu berkedip-kedip, menandakan bahwa raga itu masih berada dalam batas kesadaran. Mulut kecilnya terbuka, berusaha mengucapkan kalimat untuk kedua saudaranya.
"Maaf .."
Lirihnya, kemudian terpejam.
~☆~
So sorry kalo enggak jelas 😭🙏🏻
Nulisnya pas lagi gabut, laper, sedih.
GA USAH CURHAT CHAN PLISSS 💆🏻♀️🤡👼🏻

KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Lab
Teen FictionKisah tentang pria kecil bernama Kaizo, sosok rapuh nan malang yang disayang banyak orang. Kaizo terjebak dalam takdir hidupnya yang rumit. Hidup berdampingan dengan penyakit, hidup tanpa sosok seorang ibu, dan hidup dengan berbagai aturan ketat yan...