Udara sejuk pagi ini terasa menusuk permukaan kulit. Namun, cahaya matahari tanpa malu menampakkan diri, juga memberikan kehangatan seolah-olah memberi dekapan pada raga rapuh yang kini bersimpuh sendirian.
Hakma, dengan pakaian serba hitam serta setangkai mawar merah, bersimpuh pada salah satu pusara cantik milik Sang mama. Salah satu tempat ternyaman yang selalu ia kunjungi kala hatinya memerlukan tempat 'tuk berkeluh kesah.
Kicauan burung mengisi sunyi, terpaan angin menyapa wajahnya yang sayu lesu. Sepasang netra milik Hakma, mulai berkaca-kaca, tenggorokkannya seolah terhalau oleh benda tak kasat mata. Ia seperti sulit untuk sekedar berbicara, mengutarakan segala keluh kesahnya kepada mama.
"Mama, ini abang."
Hakma, tau. Sosok wanita cantik yang selalu ia sebut 'mama' itu tak akan pernah lagi menyahuti panggilannya. Namun, di saat ia mengutarakan segala keluhnya, Hakma selalu merasa bahwa mama benar-benar ada di dekatnya.
"Mama, tolong adik. Abang enggak bisa lakuin apa-apa. Tua bangka itu semakin gila. Abang gak mau adik berakhir sama kayak mama, sakitnya masih ada sampai sekarang, tolong jangan ditambah lagi .." Hakma, melirih.
Hakma, ia tak berdaya. Ia hanya seonggok manusia yang dipaksa tunduk pada si penguasa dengan segala niatan gilanya. Si tua gila yang sayangnya merangkap status sebagai ayah dari ibu kandungnya sendiri.
Segala untaian kalimat Hakma lontarkan di hadapan pusara Sang mama. Mengeluarkan segala beban yang selama ini ia tanggung dengan keterpaksaan. Jika boleh, Hakma juga ingin ikut pergi seperti mama, menjemput kedamaian tanpa harus menghadapi ributnya semesta. Tapi, Hakma selalu tau, ia bukanlah satu-satunya manusia yang paling terluka. Karena disini, Kaizo yang lebih banyak menanggung sakitnya.
~☆~
Kaizo ingin hidup bebas. Persetan dengan segala sakit yang menggerogoti tubuhnya, asalkan, Kaizo bisa terlepas dari segala aturan busuk yang kakeknya buat.
Bukan dunia yang tak adil, tapi keserakahan manusia yang membuat dunia ini seolah-olah tak memberikan keadilan kepadanya.
Entah seberat apa dosa yang ia lakukan di kehidupan sebelumnya. Tapi, Kaizo selalu percaya, jikalau masalah yang ia hadapi beratnya tak terkira, maka, Tuhan akan memberikan bahagia yang lebih-lebih tak berkira. Entah itu berupa bahagia di dunia ataupun nanti saat ia sudah damai dalam lelapnya di sisi Tuhan.
Jarum infus masih menancap pada punggung tangannya. Entah sudah botol ke berapa yang Kaizo habiskan untuk menjaga kesadarannya yang naik-turun bagai roller coaster. Bahkan, nassal canula yang sebelumnya ia gunakan kini kembali berganti dengan oxygen mask yang menutup setengah bagian wajahnya.
Netranya sudah begitu sayu, tetapi, Kaizo tetap setia 'tuk membuka mata. Menatap kosong pada langit-langit putih ruangan seolah menyalurkan perasaannya yang hampa. Di samping bed pesakitannya, Marvel menatap Sang adik dengan tatapan khawatir yang kentara.
"Hei, jangan ngelamun terus. Kalau sakit bilang abang, ya? Atau, kamu tidurin biar sakitnya sedikit gak kerasa." Marvel, mengusak surai adiknya penuh kelembutan.
Si bungsu menoleh, kemudian tersenyum. "Kai, nggakpapa, abang .." ujarnya, dengan suara yang begitu lemah.
"Ngantuk. Tapi mau bicara sama abang, boleh?" lirihnya.
"Mau bicarain apa, hm? Jangan dipaksain. Abang gak mau kamu bahas hal-hal yang berat, kamu orangnya terlalu pemikir." Marvel, menatap teduh pada sepasang netra adiknya.
"Kalau semisal, Kai, pergi lebih dulu dari kalian .."
"Stt. Bilang apa barusan? Enggak ada! Kamu bakalan terus bareng kita. Enggak ada yang pergi duluan, kita semua bakalan sama-sama."
Sungguh, Marvel rasa, jantungnya hampir saja mencelos dari tempatnya. Ritmenya bertambah cepat dengan tempo degupan yang ia rasa tak terkira.
"Kai, abang tau, Kai kuat 'kan? Kai bisa, Kai pasti bisa lawan sakitnya. Abang bantu dari sini, ya. Abang bantu sampai kakek tua itu kalah. Nggak ada yang mustahil, abang yakin, kita semua bisa lawan dia. Kita punya Tuhan, kita punya keluarga kecil yang saling sayang."
"Kalau Kai lelah, jangan ragu buat berbagi keluh kesahnya sama abang. Karena untuk berbagi sakitnya, abang juga enggak tau caranya kayak gimana. Kalau memang bisa, abang rela sakitnya tubuh kamu biar abang yang tanggung. Tapi, abang enggak tau caranya gimana. Cerita sepuas kamu, berkeluh semau kamu, tapi jangan pernah berpikir untuk menyerah. Kami ada untuk, Kai. Kami ada di belakang Kai, kami siap antar Kai sampai ke garis finish yang hadiahnya kebahagiaan."
Marvel, berucap dengan tatapan tulusnya. Dua laki-laki itu berpandangan dengan netra yang sama-sama berkaca-kaca.
Kaizo, mengerjapkan mata. Bibir pucatnya menyunggingkan senyuman tipis yang begitu manis. Ia rasa, tubuhnya benar-benar lelah. Namun, lontaran kalimat dari si sulung berhasil membuat hatinya menghangat. Menghempaskan segala sakit yang menjamahi tubuhnya.
"Abang, tolong jangan tinggalkan Kai, ya."
Tuturnya, dengan suara lemah kemudian terlelap dengan damainya. Kaizo, lebih senang menyelami mimpi dibanding menghadapi hukum semesta yang keji.
~
☆~
halo semua!
udah lama enggak update :>
anyway, terima kasih untuk 1,5K pembaca 🥹💕kalau enggak keberatan, boleh diimbangi gak vote dan komennya?? hihii ^_^
sekalian, aku mau promosiin akun tiktok kuu.
Tolong di follow yaaa!! usernamenya @nacii__
aku juga akan mulai membuat AU disanaa, jika berkenan tolong diramaikan <3sekali lagi, terima kasih! ❤️🩹

KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Lab
Novela JuvenilKisah tentang pria kecil bernama Kaizo, sosok rapuh nan malang yang disayang banyak orang. Kaizo terjebak dalam takdir hidupnya yang rumit. Hidup berdampingan dengan penyakit, hidup tanpa sosok seorang ibu, dan hidup dengan berbagai aturan ketat yan...