7. Warm

668 38 1
                                    

Hampir delapan jam sepasang netra milik Kaizo terpejam. Selama itu pula, Papa dan ke-empat abangnya tak beranjak sama sekali dari ruangan yang ditempatinya. Kaizo sudah dipindahkan ke ruangan yang biasa ia pakai ketika membutuhkan penanganan medis.

Hakma mengusap punggung tangan sang adik yang terbebas infus, tatapan sendunya ia arahkan pada wajah pucat Kaizo yang terlelap damai. Netra Hakma mulai berkaca-kaca, kenapa adiknya selalu diberi sakit? Baru saja kemarin Hakma melihat adiknya itu tersenyum lebar.

"Tua bangka itu nyakitin lo lagi ya, dek?" Hakma, bergumam lirih. Ia tak mau terlihat lemah, namun untuk sekarang ini Hakma berusaha menampik segala gengsi yang membebaninya.

Di pojok ruangan, Jean mendaratkan tubuh pada sofa yang tersedia. Mata elang remaja itu menyorot tajam pada layar ponselnya. Membaca pesan yang dikirim oleh bawahan papa-nya. Lagi-lagi, Jean dibuat kecewa. Sebab segala cara yang mereka lakukan untuk membuat pria tua itu lenyap selalu berakhir sia-sia. Darka terlalu kuat untuk mereka yang hanya memiliki separuh power dari yang Darka punya.

Marvel memijat pelipis, tadi, dia dan Rajwan menempuh perjalanan yang cukup jauh demi menemui Kaizo. Usai menerima pesan dari papa yang dikirim melalui grup, kedua pemuda itu segera bergerak cepat untuk pulang. Tak lagi mempedulikan pekerjaan yang tengah berlangsung.

"Istirahat gih, Kak. Papa gak mau kalian ikut tumbang. Kalian pasti capek selama perjalanan, nanti kalau capeknya sudah hilang kalian bisa temuin Kaizo lagi." Dirga, berucap lembut. Tangannya mengusak surai Rajwan yang ia lihat sudah mulai memanjang.

Rajwan melirik Marvel sekilas, meminta jawaban dari kakak sulungnya tersebut. Anggukan ia dapati, Rajwan menghela nafas pasrah. Padahal, ia masih ingin menemani Kaizo hingga anak itu bangun.

"Ya sudah, istirahat di kamar. Nanti kalau ada apa-apa, Papa kabari kalian lewat grup." Dirga, berucap. Satu tangannya kini beralih menepuk pundak Marvel.

Dua pemuda itu mengangguk patuh. Kemudian beranjak pergi dengan langkah berat. Sejujurnya mereka memang lelah, namun kekhawatiran mereka untuk Kaizo berhasil mebentengi rasa lelah yang menggerogoti tubuh.

Dirga menghela nafas. Sampai kapan masalah ini akan berlangsung? Yang Dirga tau, ayah mertuanya itu tak akan pernah berhenti meskipun nyawa orang yang ia jadikan sasaran sudah melayang. Dan Dirga harap, putranya tak akan mengalami hal tersebut. Cukup mendiang istrinya.

~☆~

Bulu mata lentik itu mengerjap-erjap, kelopaknya mulai terbuka. Menampilkan netra indah yang kini terkuyu sayu. Dirga tersenyum, satu tangannya terulur membetulkan oxygen mask yang terpasang pada area hidung dan mulut Kaizo. Putra bungsunya sadar dari pingsan setelah hampir sembilan jam.

"Anak papa .. ada yang sakit?" Dirga, berujar lembut.

Kaizo menggeleng lemah, bibir pucatnya menyunggingkan senyuman. Hakma dan Jean yang melihatnya segera membuang muka, senyuman Kaizo terlihat menyakitkan bagi mereka. Senyuman lugu dengan tatapan sayu yang terkesan tidak tau apa-apa.

"Maaf, Kai bikin kalian kerepotan lagi." Kaizo berucap lirih.

"Stt .. kami gak pernah merasa direpotkan sama Kai. Justru, papa harus berterimakasih pada Kai. Terimakasih sudah selalu kuat, terimakasih karena Kai rela mengorbankan diri. Kai hebat, anak papa hebat," sudut mata Dirga berair, air matanya luruh tanpa permisi.

"Papa .. dulu, mama gini juga ya?" Kaizo, bertanya dengan suara lemahnya. Tatapannya terlihat begitu polos.

Dirga terdiam. Dadanya dihujami sesak.

"Kak Jean, Kak Hakma, sini. Mau peluk." Kaizo, berucap manja. Usai menyadari pertanyaannya yang tak akan diberi jawaban oleh Sang papa.

Kedua kakaknya itu mendekat. Mendekap tubuh rapuh sang adik dengan hati-hati. Dirga tersenyum getir, memperhatikan interaksi ketiga putranya. Kenapa harus selalu ada saat-saat seperti ini?

"Gue khawatir, dek." Hakma berbisik lirih.

Kaizo terkekeh. "Aku aman, udah biasa gini 'kan."

"Tunggu, ya. Kita usahain bebas, prosesnya mungkin lama, tapi semoga hasilnya bisa mendatangkan bahagia." Jean, mengelus surai halus adik bungsunya pelan.

Bibir pucat Kaizo menarik seulas senyum, ia menggeleng kecil. "Itu mustahil, Kak. Kai gakpapa kayak gini, toh dari kecil pun badan Kai memang udah sakit. Seenggaknya, Kai bisa berguna buat keluarga ini. Asalkan jangan kalian yang ngalamin hal yang sama dengan Kai dan Mama."

"Kai mau kalian bahagia. Karena bahagianya Kai ada pada kalian. Tolong terus sayangi Kai, ya? Kai cuman punya kalian."

~☆~

Hai!

Udah lama aku enggak lirik wattpad t_t
So sorry kalo alurnya enggak jelas, aku nulisnya dalam keadaan demam tinggi + keleyengan 🤒😵‍💫

Alurnya seperti biasa, yang ada dipikiran aku :D
Makanya agak melenceng dari fakta-fakta di dunia nyata. Terima kasih sudah berkenan membaca! ^_^

Secret LabTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang