Hakma kini duduk berhadapan dengan Sang Papa. Keduanya sama-sama merasa canggung. Ditambah dengan suasana ruangan yang hening, hanya terdengar detak jarum jam dari jam dinding yang menempel di sisi kiri tembok.
"Ada apa?" akhirnya, Dirga membuka suara.
Hakma menarik nafas, kemudian menghembuskannya pelan. Ia tengah menyiapkan mental untuk memberanikan diri mengungkapkan pertanyaannya.
"Sebenernya apa yang Papa mau?" Hakma, berucap dengan tenang. Manik hitam yang persis seperti milik Dirga itu menatap netra elang Sang Papa.
Papa menghela nafas. Pembahasan ini selalu sama, bobotnya selalu berat. Sebetulnya, Dirga juga lelah. Tapi, mau bagaimana lagi? Mereka selalu diiming-iming dengan keselamatan dan nyawa.
"Dari awal, Papa udah bilang. Ini bukan kemauan Papa." Dirga, bersuara.
"Ya, tapi, ini juga bukan yang Hakma mau, Pa .." Hakma melirih, suaranya mulai terdengar bergetar.
"Kita harus ikutin alur, percaya sama keajaiban yang dimiliki Tuhan. Papa enggak bisa ngebantah, Papa gak mau kehilangan salah satu dari kalian. Papa gak mau ngecewain istri Papa sendiri dengan membiarkan salah satu putranya pergi." Netra elang Dirga berubah sendu, manik hitam legam itu mulai berkaca-kaca.
"Hakma gak masalah kalau, Hakma yang harus terjerumus. Tapi kalau urusan yang satu itu. Hakma gak akan pernah mau! Hakma selalu berharap, kalau dia itu penerus terakhir. Itu bukan mainan, Papa .. selama ini, kita gak bisa hidup tenang karena itu." Hakma berucap dengan nafas tak beraturan, amarahnya mulai kalut.
"Hakma sama Kak Jean punya mimpi. Sampai kapan kita mau tunduk sama dia? Kalau gini terus kita kapan bangkitnya, Pa?" Lirih, Hakma. Sebelum akhirnya bangkit dan pergi meninggalkan Dirga yang merenung sendirian.
"Saya bingung Keisha .. saya harus bagaimana?" Dirga, melirih. Hatinya ikut tersayat kala melihat tatapan menyakitkan dari netra Hakma, putra keempatnya yang selama ini ia kenal ceria.
~☆~
Diantara empat saudaranya yang lain. Jean bisa dibilang salah satu sosok yang paling kuat. Sejujurnya, Jean tak pernah bisa mengekspresikan apa yang ia rasa. Dan orang-orang fikir, Jean memiliki feeling yang flat.
Di balik tubuhnya yang kekar nan gagah, senyuman seorang Jeanno sudah lebih dari kata indah. Bibir tipisnya akan merekah, sepasang matanya menyipit bagai bulan sabit. Jeanno Dirgantara akan terlihat sebegitu indahnya kala tersenyum.
Di hadapan layar komputer dengan pencahayaan terang, wajah Jean yang lesu sudah menjelaskan betapa lelahnya pemuda itu melewati hari ini. Jarinya bergerak lihai pada keyboard, dengan tangan kanan yang mengapit perangkat mouse.
"Ck!" decaknya.
Ia rasa, pekerjaan yang kini sedang ia lakukan terasa lebih sulit dari biasanya. Entah kendala apa yang tengah ia alami, sedari tadi, Jean berusaha mencari titik permasalahannya.
Ceklek!
"Kak Jean, kok belum tidur?" suara halus milik Kai, membuat Jean menoleh cepat. Ia lihat, adik bungsunya itu melangkah tertatih-tatih menghampiri tempatnya berada.
"Eh, kenapa kemari? Kalo kenapa-napa gimana?" dari nada bicaranya, Jean terdengar khawatir.
Kai tersenyum tipis, "bosan. Di kamar enggak ada yang nemenin. Biarin Kai disini dulu, ya. Kai udah mendingan kok," ujarnya.
Jean, mengangguk singkat. Pemuda itu segera mematikan layar komputer. Menghampiri sang adik yang kini duduk pada pinggiran ranjang tidur milik Jean.
"Kakak mau jadi pembisnis, ya?" Kai, bertanya.
Jean berdeham sebagai balasan. Kini, Jean membaringkan tubuh terlentang. Tatapannya tertuju pada langit-langit ruangan.
"Kai?"
"Iya?"
"Terus bertahan, ya."
"Selalu."
"Kamu harus buktiin ke kakak. Kalau kakak berhasil nanti, kamu harus jadi orang pertama yang menikmati keberhasilan kakak." Jean, berucap sungguh-sungguh.
"Ya, semoga .."
Kai, tersenyum. Senyuman yang agak berbeda dari biasanya. Setelahnya, Kai ikut berbaring. Siap menjelajahi obrolan mendalam dengan Sang kakak.
~☆~
Dirga di mata putra bungsunya, adalah sosok yang sangat keren! Papa itu hebat, kalau Kai sakit selalu papa yang memberinya obat agar kembali kuat.
Dunia memang kejam, tapi setidaknya ada papa di samping Kai. Kaizo selalu berucap seperti itu. Ia sayang papa, sangat-sangat sayang.
Jam menunjukkan angka 01.42, namun, Dirga masih berada di ruang kerjanya. Pencahayaan ruangan ia biarkan sedikit temaram, Dirga tengah merenungi alur kehidupan keluarga kecilnya yang terlampau kelam hingga saat ini.
Obrolannya dengan Sang putra ke empat, Hakma. Tak urung memenuhi pikiran. Dirga tak bisa selamanya terbelenggu dalam ancaman dia. Sosok yang memiliki kuasa besar dibandingkan Dirga sendiri.
"Sha, maaf. Aku gagal."
Dirga, menghela nafas kasar. Tangan kekarnya mengusak surai legam miliknya hingga berantakkan. Sungguh, Dirga pening bukan main.
"Anak-anak punya mimpi, aku juga punya mimpi, Sayang. Aku bingung, gimana caranya biar aku dan anak-anak bisa keluar dari zona bahaya ini? Kalaupun aku enggak bisa, setidaknya anak-anak harus bisa. Mereka harus bisa raih mimpinya." Dirga, menenggelamkan wajah pada lipatan tangan.
"Aku bakal terus berusaha, Sha. Tolong bantu aku dari atas sana, tolong beri aku kekuatan, Sayang. Mimpi aku cuman satu, anak-anak kita menggapai semua bahagianya." Dirga, tersenyum getir.
Kenapa juga harus keluarga kecilnya yang terjerumus ke dalam permainan menyeramkan ini? Dari banyaknya saudara yang Dirga milikki, kenapa harus Dirga yang terpilih? Dirga, lelah.
~☆~
Sebenernya "dia" itu siapa?
Kamu nanya?
Aku juga ga tau :)WHEHEHE
SEE YOUU!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Lab
Teen FictionKisah tentang pria kecil bernama Kaizo, sosok rapuh nan malang yang disayang banyak orang. Kaizo terjebak dalam takdir hidupnya yang rumit. Hidup berdampingan dengan penyakit, hidup tanpa sosok seorang ibu, dan hidup dengan berbagai aturan ketat yan...