Tengah malam, Jean terusik dari lelapnya. Pemuda bertubuh atletis tersebut bangkit dari tempat tidur, kaki jenjangnya melangkah keluar kamar. Jean merasa lapar, sebab ia hanya makan sedikit saat makan malam tadi.
Satu persatu anak tangga telah Jean pijak, akhirnya Jean menapakkan kaki di lantai dasar. Dahinya mengernyit, ada siapa di dapur? Mengapa lampunya masih menyala? Seingatnya, 'Mbak yang mereka tugaskan untuk memasak hanya bertugas hingga pukul tujuh malam.
Jean menghela nafas kasar, kala melihat raga Sang papa yang nampak anteng menduduki salah satu kursi. Dengan santainya, pria paruh baya itu menyantap mie instant yang ia tambah topping telur dan sayur.
"Katanya dokter, tapi makan mie instant tengah malem," celetuk Jean, dengan nada sedikit meledek. Namun tak urung, pergerakkannya juga tertuju pada kitchen set untuk mengambil sebungkus mie cup.
"Dokter juga manusia, bang." Papa terkekeh usai melirik sekilas gerak-gerik yang dilakukan putra ketiganya.
"Kalau adek liat, pasti dia ngeledekkin papa habis-habisan. Untung anaknya udah tidur, udah lama juga Kai enggak turun ke bawah sini." Jean, berucap sambil memasukkan air panas dari dispenser ke cup mienya.
"Adek mana pernah ngeledekkin papa kayak kalian. Omongannya selalu tersaring sampai selembut ampas tahu, lembut kayak hatinya." Papa, menyunggingkan senyum. Mengingat-ingat betapa manisnya sikap si bungsu diantara empat putranya yang lain.
Jean tersenyum. Usai memastikan mie cupnya matang sempurna, Jean ikut duduk berhadapan dengan papa. Pemuda itu menyeruput mie cupnya pelan, menikmati rasa gurih dari kuah yang sudah dicampur bumbu instant tersebut.
"Rata-rata orang baik yang punya sikap lemah lembut dan hatinya bagai malaikat, ujian yang mereka hadapi selalu berat, ya." Jean bersuara, ia mengaduk-aduk mienya dengan garpu plastik yang telah tersedia. "Adek juga gitu. Dia lembut, manis, baiknya kebangetan. Tapi ujian yang Tuhan kasih buat adek bahkan lebih-lebih dari ujian yang kita hadapi. Kadang abang heran, hati adek terbuat dari apa, ya?" Jean, mengalihkan tatapannya pada wajah tampan papa.
Di sana, papa tersenyum.
"Adek itu spesial. Ujiannya lebih berat dari kita, udah pasti bahagianya juga akan lebih dari bahagia yang kita punya. Tuhan itu adil, bang. Manusia kalau belum dikasih bahagia di dunia, bisa jadi Tuhan ngasih mereka bahagia di surga. Layaknya mendiang mama kalian, istri papa yang cantik itu pasti lagi senyum sambil liatin kita dari atas sana."
Ucapan papa, lantas membuat Jean menunduk.
Memang benar, selama ini, mama belum sempat menggapai bahagianya. Seumur hidupnya, mama selalu dikelilingi ujian yang akan datang dari mana saja. Bahkan dari orang terdekatnya. Namun, wanita itu selalu menghadapinya dengan tenang. Mama tak pernah berkoar-koar ataupun mengeluh, karena katanya, setiap permasalahan yang mereka hadapi pasti akan ditemukan jalan keluarnya.
Jean harap, permasalahan yang sudah mengukung mereka selama hampir belasan tahun ini juga bisa ditemukan jalan keluarnya. Supaya keluarganya bisa hidup dengan damai, tanpa ada kericuhan dan kekhawatiran akan masa-masa kelam yang setiap kali akan terulang.
~☆~
Membicarakan soal si sulung dan putra kedua Dirgantara, dua pemuda itu tengah disibukkan dengan kegiatan di luar wilayah domisili mereka. Marvel, vocalis band itu kembali melakukan tour bersama band groupnya. Sedangkan Reyhan, seniman sejati satu ini masih sibuk bergulat dengan ajang pameran seni yang akan diadakan di kota sebrang. Jadilah, ia tak bisa pulang sebab harus menyelesaikan beberapa karya yang akan ia pajang saat ajang pameran itu tiba.
Di rumah hanya tersisa tiga putra Dirgantara lainnya. Jean, Hakma dan Kaizo. Sayangnya, Jean dan Hakma juga memiliki kesibukkan tersendiri. Dua anak itu sudah pasti pergi ke sekolah sejak pagi dan akan pulang kala matahari mulai menenggelamkan diri.
Kini, tersisa Kaizo sendiri. Papa baru saja menghampirinya yang baru terusik dari lelap saat papa membukakan gorden kamar Jean. Lagi-lagi, Kaizo ditinggalkan. Sebab, papa harus pergi ke rumah sakit untuk melakukan jadwal operasi.
Kai menghela nafas pasrah. Saat kondisinya sedikit membaik, pasti Kai akan berteman dengan sepi. Ya, 'sedikit' membaik, sebab Kai pikir, tubuhnya tak akan pernah bisa dikatakan baik-baik saja.
Kai beranjak, berdiri dari kasur besar abangnya. Ia harus pergi ke ruangan perawatannya untuk mengambil botol obat serta inhaler yang selalu disediakan oleh papa. Kemudian kembali ke kamarnya untuk membersihkan tubuh, Kai rasa, ia sudah lama tak melakukan aktivitas yang disebut mandi itu.
Cklek!
Kai memutar knop pintu, pandangannya mengedar. Kondisi rumah benar-benar sepi, Mbak pasti sedang membersihkan area belakang sebab di jam-jam seperti ini acara sarapan sudah selesai. Jadi, tak ada yang perlu disiapkan untuk hidangan.
"Sayang banget, rumah seluas ini tiap harinya ditinggal." Kai, menghela nafas lesu. Menyadari betapa hampanya setiap sudut rumah yang ia tempati.
Kai melangkahkan tungkainya pelan, ia tak mau sakitnya berulah lagi. Akhirnya, Kai sampai pada satu pintu bercat putih. Tangan mungilnya memutar knop pintu pelan-pelan, padahal ia tau tak ada siapapun di dalam sana.
Begitu pintu terbuka, tatapan Kai langsung terpaku. Wajahnya berubah pucat pasi, sekujur tubuhnya bergetar.
"Hai, Kai."
"Ng--gak .." Kai melirih, setelahnya, tubuh itu tumbang. Menghantam dinginnya lantai dengan sepasang netra terpejam.
~☆~
Hayoloh 🙂↔️
Dadah!
Hehe
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Lab
Ficção AdolescenteKisah tentang pria kecil bernama Kaizo, sosok rapuh nan malang yang disayang banyak orang. Kaizo terjebak dalam takdir hidupnya yang rumit. Hidup berdampingan dengan penyakit, hidup tanpa sosok seorang ibu, dan hidup dengan berbagai aturan ketat yan...