Kelopak matanya mengerjap-erjap, perlahan sepasang netra indah itu terbuka. Tatapannya lemah nan sayu. Dapat ia rasakan, nafasnya begitu berat. Sekujur tubuhnya terasa sakit.
Dadanya kembang kempis, merasakan udara di sekitarnya perlahan menghilang. Sekujur tubuhnya kaku, ingin digerakkan namun terasa begitu sulit.
"Kai, Papa disini. It's okay, tidak perlu cemas." Itu suara Dirga, Papa-nya.
Kaizo merasa lega sekarang, ia tak sendirian pada saat kondisinya sedang tidak baik-baik saja. Namun tetap saja, pandangan anak itu kosong. Menatap lurus pada langit-langit ruangan tanpa adanya binar kehidupan.
Tangan Papa terulur, mengelus surai kecoklatan Kaizo yang teksturnya mulai lepek. Mungkin sebab Kaizo terjebak di alam bawah sadarnya cukup lama. Tetapi, anak itu tetap terlihat tampan dengan rambut kecoklatan serta kulit tubuhnya yang seputih pualam.
"Lelah, hm?" satu pertanyaan keluar dari mulut Dirga. Kaizo mengedipkan mata, kepalanya menoleh kaku pada Papa yang berdiri di samping kanan bed yang ditempatinya.
"Pa-pa .." Kaizo melirih, kata yang ia ucapkan masih terbata.
"Iya, sayang? Ada yang sakit?" Pria dengan sneli itu kembali mengelus surai putranya, menatap wajah Kaizo dengan tatapan teduh seolah-olah ia benar-benar menyalurkan rasa sayang padanya.
Kaizo menggeleng pelan, bibir kering itu menyunggingkan senyuman parau. "Kali ini berapa lama?" Kaizo berucap tanpa terbata, walaupun suaranya masih terdengar lemas sebab pernafasannya masih cukup sesak.
"Jangan lagi, ya? Jangan nakal lagi, Papa sayang kamu. Jangan collapse terus, itu mengerikan." Dirga berucap lembut.
"Kaizo juga enggak mau, Papa. Kaizo capek gini terus, sebenarnya Kai sakit apa? Kenapa Papa dan yang lain gak pernah ngasih tau, Kai? Kai capek, Pa. Nyawa Kai seolah bisa pergi kapan aja." Kaizo, melirih. Suaranya yang lemas terdengar bergetar, dada anak itu naik-turun, napasnya kembang kempis tak karuan.
"Hei, take a breath, okay?" Dirga, mengelus dada ringkih putranya. Kaizo menurut, sebab pasokan oksigen di sekitarnya benar-benar terasa tipis.
"Lebih baik kamu istirahat. Papa pergi dulu, ya? Nanti kakak-kakak kamu akan kemari." Dirga mengalihkan, usai mengecup pucuk kepala putra bungsunya, Dirga segera melangkah cepat meninggalkan ruangan.
Meninggalkan Kaizo, dengan perasan kecewa serta isi kepalanya yang masih bertanya-tanya. Lagi-lagi, Papa mengalihkan. Entah sampai kapan Kaizo harus terjebak dalam belenggu penasaran.
~☆~
"KAI! AKHIRNYA BANGUN JUGA!"
Suara melengking milik Rajwan, membuat Kaizo terperanjat. Anak itu mengelus dada dengan tangan yang terbebas infus.
"Lo bikin dia kaget, kalo sesak gimana?!" Marvel menatap adiknya tajam. Tak lama, tatapannya berubah lembut, kala netranya bersitatap dengan netra sayu Kai, adik bungsunya.
Kaizo, tersenyum tipis. Dia sudah merindukan empat kakaknya. Di ambang pintu sana, empat pemuda dengan tubuh atletisnya memasuki ruangan putih yang ia tempati.
"Hei, akhirnya kamu bangun. Ada yang sakit?" Jean mendudukkan diri di sisi kiri bed sang adik, tangan besarnya mengelus surai coklat Kai. Kaizo lantas menggeleng, satu tangannya terangkat, membentuk huruf 'O' dengan jari jempol dan telunjuk, membiarkan tiga jari lainnya teracung.
Jean, terkekeh. "Ah, OK ya?" Ia paham betul dengan bahasa tubuh yang sering Kaizo gunakan ketika anak itu lemas untuk sekedar berbicara.
Tatapan Kaizo beralih pada sosok Hakma, pemuda itu sedari tadi belum melontarkan kata apapun. Kai pikir, kakaknya itu sama sekali tak merindukannya. Ah, Kai jadi sedih ..
"Apa ngeliatin? Udah puas tidurnya? Janjinya mau nyusun puzzle pas gue pulang dari sekolah, nyatanya lo malah balik nginep di ruangan ini lagi. Nakal! Keren lo begitu?" Hakma, berucap panjang lebar, ekspresinya datar.
Sejujurnya, ia gengsi untuk melontarkan kata rindu secara langsung. Apalagi, ia dan Kaizo terbilang jarang akur. Ada saja yang mereka ributkan ketika kondisi Kaizo sedang berada dalam kata baik-baik saja. Seperti berebut mainan contohnya.
"Sshh .."
"Eh, ada yang sakit?" Hakma, merubah raut mukanya. Segera, cowok itu ikut mendekatkan diri pada bed yang ditempati sang adik, bergabung dengan tiga kakaknya yang kini menatapnya dengan sorot kesal.
Kaizo menggeleng, "maaf," satu kata itu terlontar dari mulutnya. Anak itu mengerjapkan mata, sejak awal netranya sudah berkaca-kaca. Entah mengapa, Kaizo ingin menangis saja rasanya.
"Lo bikin dia nangis, Hak." Rajwan menegur sang adik.
"Sorry-sorry, gue gak bermaksud-"
"Aku gakpapa. Lain kali kalau khawatir bilang aja, nggak usah gengsi. Jelek." Kaizo, terkekeh, walaupun rasanya ia masih lemas.
"Noh, dengerin!" Rajwan, meledek sang adik.
"Iya, iya. Cepet sembuh, kita main lagi." Hakma, mengusap pipi tirus Kaizo. Menghapus air mata yang mulai luruh. "Dasar cengeng!" ledeknya, walaupun netranya ikut berkaca-kaca sebab merasa terharu.
Ketiga kakak dari dua anak itu tersenyum. Pemandangan langka yang mereka sukai. Tapi sungguh, mereka lebih suka ketika dua anak itu saling berkelahi. Dalam artian tak akur tapi adik bungsu mereka sehat. Rasanya, rumah akan lebih hidup ketika mereka seperti itu.
Kaizo mengangguk. Ia pun berharap begitu, berharap jikalau kesembuhan akan menghampirinya. Walau nyatanya, kata sembuh dalam kamus hidupnya terdengar begitu mustahil.
~☆~
Welcome to first part ..
Aku ngetik apa yang ada dipikiranku.
Daripada kena 'writer block' terus-terusan 🫥
So, kalau ada yang gak suka boleh skip.
Aku nulis juga karena gabut nunggu masuk sekolah
bulan depan 💆🏻♀️☝🏻
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Lab
Roman pour AdolescentsKisah tentang pria kecil bernama Kaizo, sosok rapuh nan malang yang disayang banyak orang. Kaizo terjebak dalam takdir hidupnya yang rumit. Hidup berdampingan dengan penyakit, hidup tanpa sosok seorang ibu, dan hidup dengan berbagai aturan ketat yan...