Pernah Hancur
Mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Aiden tak membuat Kenzo sadar akan kesalahannya, justru ketegangan diantara mereka kian menjadi-jadi, bahkan mereka hampir saja baku hantam. Lalu Sherina dengan sigap menengahi pertikaian itu dengan bilang, “Stop! Saya minta jangan diperpanjang lagi, Kak,” ucap Sherina memandang Aiden dengan mata sayu. Kemudian Sherina dengan berani menggenggam tangan Aiden nan mengajaknya pergi dari dekat mading itu, “Rin, lo mau ke mana?” celetuk Lea.
“Yak. Please kasih waktu buat mereka, ya,” halau Nissa.
Seketika wajah Lea berubah masam, Lo sama aja kayak Sherin, Nis. Lo enggak ngerti gimana perasaan gue ke Kak Aiden. -
Setibanya di taman nampak Sherina dan Aiden masih berjalan beriringan, Sherina kemudian duduk di kursi panjang berwarna putih, ia tak kuasa menahan tangisnya, Aiden perlahan mendekat dan duduk tepat di sebelah Sherina, “Kalo lo mau nangis, yaudah nangis aja. Tapi setelah itu lo harus lupain hal-hal yang ngebuat lo sakit. Termasuk Kenzo,” ucap Aiden penuh perhatian, lalu Aiden membiarkan Sherina bersandar di bahunya.
Sherina menuruti saran Aiden, ia pun menangis tanpa ada rasa takut akan dianggap lemah oleh Aiden. Selang lima menit Sherina lantas bersuara, “Kenapa sih, Kakak tetep aja baik sama saya, padahal saya selalu enggak percaya sama Kakak, dan mungkin sering banget nyakitin Kakak. Maafin saya ya, Kak,” Sherina menatap Aiden dengan tatapan bersalah.
“Eumm ... udah enggak usah terlalu dipikirin. Yang berlalu biarlah berlalu,” seketika Aiden berubah bijak.
Sherina lantas mengangguk, nan perlahan menghapus air mata yang mengalir di pipinya, “Pasti menurut Kakak, saya cengeng banget, kan? Dikit-dikit nangis,” celetuk Sherina seperti sadar diri.
“Lo sendiri yang bilang, ya bukan gue,” ledek Aiden.
“Jujur banget sih, Kak,” Sherina dengan spontan memukul bahu Aiden, sambil tersenyum tipis, “Tapi, walaupun Kakak rada-rada nyebelin, saya tetep mau bilang makasih atas semua kebaikan-kebaikan, Kakak selama ini. Terutama karena, Kakak udah bela-belain datang semalam. Saya berdo’a semoga Allah SWT senantiasa ngebales kebaikan Kakak aamiin,” lanjut Sherina penuh sesal dan harap.
“Aamiin ... Lain kali, jangan mudah dibohongi lagi!” pesan Aiden seraya mengelus rambut Sherina, “Iya ... ” timpal Sherina dengan senyum kembali merekah diwajah cantiknya.
Asal lo tahu, entah kenapa gue juga enggak mau ngelihat lo sedih dan menderita, Rin. Justru gue akan seneng kalo ngelihat lo aman dan senyum kayak gini. – Aiden.
Di saat yang bersamaan nampak Naren dan Genta begitu kompak memantau kedekatan sohibnya dan Sherina dari balik pohon tak jauh dari tempat Sherina dan Aiden duduk, “Gila, tatapan Aiden tulus banget sama Sherina. Gue aja sebagai cowok baper ngelihatnya,” ceplos Naren.
“Wahh bahaya, nih,” sambung Genta.
“Bukan itu maksud gue,” elak Naren.
“Ha-ha-ha. Gue bercanda kok. Lo bener, Aiden memang care banget sama Sherina, semoga aja mereka berdua cepet sadar sama perasaannya masing-masing.”
“Aamiin, dan seperti biasa kita cuma kebagian jadi tim nyengir aja ha-ha,” Naren.
“Itu bagian lo aja, Ren. Kalo gue enggak,” sanggah Genta.
“Maksud lo, lo udah punya someone special? Who?”
“Rahasia!” tepis Genta.
Wajah Naren berubah cemberut, “Enggak asyik lo!” memukul tangan Genta.
Kemudian terdengar lonceng berbunyi tiga kali, tanda jam pelajaran pertama mereka akan segera di mulai, “Kak-kak?” panggil Sherina.
“Eh iya,” sambar Aiden tersadar dari lamunannya.
“Saya masuk kelas duluan ya, Kak. Sekali lagi terima kasih atas semua kebaikan dan bantuan, Kakak. Bye ... ” tutur Sherina melambaikan tangan ke arah Aiden sedikit malu-malu.
“Iya ...” Aiden mengangguk sembari menatap Sherina melangkah pergi, “Segitunya ngelihatin Sherina, kepalanya sampai keputer gitu,” canda Naren.
“Fokus banget kayaknya,” tambah Genta.
“Kayak kalian enggak pernah jatuh cinta aja,” tepis Aiden.
“Jatuh Cinta? Berarti lo beneran naksir sama Sherina?” lanjut Naren.
Aiden kemudian mengalihkan pembicaraan, “Yuk masuk kelas, udah bel juga, kan?”
“Ye ... lo belum jawab pertanyaan gue, Den,” sanggah Naren.
“Udah, Ren. Ntar juga kita tahu gimana perasaan Aiden yang sebenernya, kalau Aiden masih enggak mau perjuangin Sherina, mending gue aja yang maju,” timpal Genta.
Mendengar ucapan Genta berhasil membuat Aiden menghentikan langkah kakinya, “Lo enggak serius kan, Ta?”
“Panik, ya? Tenang gue bercanda kok, Den. Cuma lo yang paling cocok buat Sherina,” terang Genta.
“Ketahuan, ternyata lo beneran takut kehilangan Sherina,” ledek Naren.
Setelah itu terbesit perasaan lega di hati Aiden, namun perkataan Genta cukup membekas di hatinya. Aiden bertekad untuk berjuang lebih keras supaya bisa meluluhkan hati Sherina. Aiden tak ingin Sherina dekat serta jatuh cinta pada orang yang hanya akan memberi Sherina luka seperti halnya Kenzo.
***
Sesampainya Sherina di kelas, Sherina disambut hangat oleh Nissa. Nissa lalu menggengam tangan Sherina, seolah hendak memberi pertanda kalau Nissa akan selalu ada untuk Sherina. Sungguh berbeda dengan Lea, sebab Lea seolah acuh tak acuh dengan keberadaan Sherina. Wajah Lea nampak sinis melihat Sherina, Sherina yang sadar akan perubahan sikap Lea, lalu melangkah mendekati tempat duduk Lea. Namun baru separuh perjalanan, guru matematika mereka sudah masuk dan bergegas memulai pelajaran.
Lo kenapa, Yak? – gumam Sherina.
Kalo lo beneran sahabat gue, lo bakal tahu sendiri kenapa gue bersikap kayak gini! – ucap Lea dalam hati.
Hari itu Sherina memutuskan untuk berdiam diri di kelas saja, ia tak ingin menjadi bahan olokan lagi seperti tadi pagi. Sherina kemudian teringat kepada Lea, dan saat Sherina berjalan menuju tempat duduk Lea, Lea justru menghindar dan memilih keluar kelas.
“Yak, gue mau ngomong sama lo?” ceplos Sherina namun tak dihiraukan oleh Lea.
Lea gimana sih, udah tahu Sherina lagi ada banyak masalah, malah lo tambahin lagi? – Nissa mengerutkan kening.
“Rin, udah biarin aja Lea sendiri. Mending lo ajarin gue deh, gue masih belum bener-bener paham sama penjelasan bapak tadi,” alih Nissa tak ingin Sherina bertambah sedih.
“Oh boleh, Nis. Yang bagian mana?”
“Semuanya he-he,” spontan Nissa.
“What?” mata Sherina melotot, namun tetap mengulang penjelasan guru mereka tadi, demi Nissa.
Ketika pulang sekolah, saat itu Nissa sudah di jemput lebih awal oleh kakaknya. Saat menuju parkiran, Sherina tak sengaja berpapasan dengan Kenzo. Kenzo menunjukkan ekspresi begitu ill feel dengan Sherina. Kenzo pun tak segan mengumbar dengan bilang, “Ini nih, si cewek yang suka halu bisa dapetin cowok sekeren gue,” lantang Kenzo.
“Ha-ha. Bangun-bagun, tidur mulu udah siang kali!” tambah Clarissa.
“Ha-ha. Dasar cewek enggak tahu diri!” sambung Bella memicingkan mata.
Namun Sherina berhasil untuk tidak meghiraukan perkataan-perkataan menyakitkan dari mereka, Sherina percaya nanti mereka akan bosan sendiri bila tak di tanggapi. Tak lama Aiden datang menghampiri, Aiden kemudian mengambil kunci motor yang ada di tangan Sherina. Aiden lalu mengeluarkan motor Sherina dengan segera, “Loh, Kak?” celetuk Sherina.
“Udah ikut aja, lo enggak mau, kan berlama-lama di sini, bareng orang-orang yang enggak penting kayak mereka!” sindir Aiden.
“Apa lo bilang?” sanggah Kenzo dengan mata yang berkilat.
“Udah, Ken,” pinta Clarissa sembari Clarissa memegang tangan Kenzo, seharusnya gue yang bareng Aiden sekarang. Bukannya cewek cupu itu, - lanjut Clarissa kecewa.
“Ren, lo pulangnya pakai motor gue aja, ya. Ini kuncinya,” teriak Aiden seraya melempar kunci tepat ke arah Naren.
“Siap bos,” jawab Naren ceria, asyikk bisa nih, gue caper di depan cewek-cewek, – lanjut Naren sembari ia merapikan rambutnya di kaca spion motor Aiden.
***
Bohong rasanya jika Sherina tak kepikiran dengan masalah yang terus menimpanya, tetapi di sisi lain ia juga yakin kalau tak ada satu cobaan pun yang tak bisa dilewati. Aiden merasa bingung harus memulai percakapan dari mana, Aiden takut kata-katanya hanya akan menambah luka di hati Sherina. Sherina begitu larut dalam lamunannya, sampai tak sadar bila Aiden telah membawanya ke suatu tempat yang asing namun indah. Hari itu Aiden sengaja mengajak Sherina mampir ke sebuah danau yang di sekelilingnya terdapat pohon-pohon yang tumbuh tinggi dan rimbun, di tambah dengan tanaman lainnya yang menghijau tentunya dengan udara yang begitu menyejukkan. Aiden kemudian menemani Sherina menjelajahi danau itu, dengan menaiki perahu kecil. Hal itu adalah salah satu upaya Aiden untuk menghibur hati Sherina yang tak baik-baik saja, “Rin, sekarang lo boleh teriak sekencengnya lo boleh meluapkan semua amarah yang ada di hati lo.”
“Tapi ... ”
“Enggak pa-pa, Rin. Atau harus gue dulu yang nyontohin?”
“Ehh enggak usah, Kak saya aja,” Sherina menarik napas dalam-dalam, “Saya benci sama, Kak Kenzo. Saya janji setelah ini, saya bakal lebih kuat lagi, dan enggak akan sedih-sedih lagi hanya karena orang yang enggak penting kayak mereka!” lanjutnya.
Senyum terlukis jelas diwajah Aiden, “Gitu dong, itu baru Sherina yang gue kenal.”
“Btw, makasih ya, Kak. Makasih karena Kakak udah berinisitif ngajak saya ke sini,” ucap Sherina dengan senyum terpampang jelas di wajahnya.
“Sama-sama. Tempat ini, adalah satu satu tempat favorite gue. Kalau gue ada masalah, biasanya gue selalu ke sini. Eumm ... jangan pakai saya lagi dong, itu terlalu formal.”
Sherina sempat terdiam lalu mengangguk, “Ok, terus bagusnya gimana, Kak?”
“Aku - kamu aja,” jawab Aiden singkat.
“Iya say ... aku coba, Kak.” Sherina nampak gugup, “Ya ampun jam berapa ini?”
“Memangnya ada apa?”
“Maaf, Kak. Aku harus buru-buru pulang, karena setengah jam lagi aku harus udah ada di resto,” jelas Sherina.
“Sebenernya, Kakak adalah an -- ” kata Aiden terpotong, “Pulang sekarang ya, Kak,” pinta Sherina.
“Ok,” timpal Aiden, Sebenernya Kakak adalah anak dari owner resto tempat lo kerja, Rin. – lanjut Aiden dalam hati.
Sepanjang perjalanan menuju rumah Sherina, terpancar aura kebahagiaan dari keduanya. Setelah sekian purnama, mereka yang awalnya selalu bermusuhan dan berselisih paham, pada akhirnya mereka sampai pula di titik saling memaafkan dan menguatkan. Ternyata orang yang Sherina benci selama ini, adalah orang yang menjadi gardah terdepan untuk Sherina bangkit dari ujian yang terus membuatnya patah.
***
Sherina dan Aiden di kejutkan dengan suara jeritan dari arah dalam rumah Sherina. Terlihat dari luar kaca jendela rumah Sherina, barang-barang yang ada di ruang tamunya seperti bantal kursi, vas bunga, alas meja, sudah sangat berantakan. Sherina lantas mengetuk pintu nan memanggil mamanya tiga kali, “Ma ... Mama yang tenang, ya. Ini Sherin pulang, buka pintunya, Ma,” tutur Sherina begitu khawatir dengan kondisi mamanya.
“Rin, kamu yang sabar, ya. Kamu harus lebih kuat di depan, Mama kamu,” Aiden menatap Sherina iba.
“Kak, dobrak aja pintunya. Kasihan, Mama, ” rintih Sherina.
“Iya, kamu mundur dulu, ya,” pinta Aiden.
Sherina lalu mengikuti perintah Aiden, dan Aiden berjuang mendobrak pintu itu agar sesegera mungkin bisa masuk ke rumah Sherina. Dua menit berlalu, akhirnya pintunya berhasil di buka. Sherina dengan spontan lari menuju kamar mamanya. Saat Sherina berada tepat di depan kamar mamanya, sebuah bingkai foto melayang hampir saja mengenai kepala Sherina, beruntung Aiden sigap menangkis bingkai foto tersebut.
“Rin, lo enggak pa-pa, kan?” mata Aiden melesat.
“Iya, Kak,” timpal Sherina dengan napas yang lebih cepat.
Sherina lantas memberanikan diri mendekati mamanya, Sherina menatap mamanya dengan tatapan penuh ketulusan. Sherina meminta mamanya untuk tenang, dan bilang jika semuanya akan baik-baik saja. Perlahan Sekar mendengarkan perkataan putrinya, dan Sekarpun merasa lelah karena sudah mengamuk dalam waktu yang cukup lama. Tak lama mata Sekar yang sudah bengkak karena menangis, akhirnya terpejam dan terlelap. Sherina lalu membantu mamanya untuk bisa tidur di atas ranjang alias ke tempat yang lebih nyaman. Kemudian memberikan sebuah kecupan di kening mamanya sembari berbisik, Sherin janji akan tetap menyayangi, Mama sampai kapan pun juga.
Seusai itu Sherina kemudian merapikan kembali barang-barang yang berserahkan di lantai. Di bantu oleh Aiden, ya walaupun Aiden sendiri tak paham cara beres-beres yang ada malah menganggu Sherin saja.
“Maaf ya, Kak,” tutur Sherina pada Aiden.
“Maaf untuk?” Aiden mengernyitkan kening.
“Maaf, tadi Kakak harus nyaksiin gimana keadaan mama ku yang sebenernya. Mama ku terkena ganguan mental, sejak di tinggal papa ku. Aku enggak masalah kok, Kak. Kalau misalkan, Kak Aiden keberatan untuk temenan dan milih jauh-jauh dari aku.”
“Ya, Kakak mungkin akan keberatan kalau harus selalu jadi temen kamu, Rin. Karena--”
“Aku ngerti kok, Kak. Kakak boleh pergi,” Sherina tersenyum simpul meskipun sejujurnya terbesit rasa kecewa di hatinya.
“Kakak akan keberatan kalo selamanya jadi teman kamu, karena Kakak udah jatuh hati sama kamu,” spontan Aiden.
“Kakak bercanda, kan? Enggak, Kak. Kakak berhak kok dapetin orang yang jauh lebih sempurna dari aku.”
“Enggak pa-pa kalau sekarang kamu masih belum bisa percaya sama kata-kata, Kakak. Tapi yang jelas, perasaan Kakak kali ini enggak salah, Kakak sudah mencintai wanita yang tepat yaitu kamu,” terang Aiden menatap Sherina dengan matanya yang berbinar, ternyata benar trauma Aiden terhadap wanita telah hilang karena ia telah menemukan seseorang yang tepat.
Kedua sudut bibir Sherina naik ke atas, “Aku mimpi kan, Kak? Masa iya seorang, Kak Aiden Sadana Mahendra yang punya segalanya bisa suka sama gadis biasa kayak aku?” tepis Sherina.
“Cinta itu anugerah. Kita bahkan enggak bisa milih, kapan kita akan jatuh cinta? dan pada siapa kita jatuh cinta? Kakak juga paham, kalau saat ini bukan moment yang pas untuk membahas soal cinta. Kakak akan nunggu, sampai kamu bisa ngasih jawaban,” sambung Aiden.
“Akan lebih baik kalo, Kakak pikir-pikir lagi. Aku bukanlah orang yang pantas di cintai, Kak,” Mata Sherina jadi tidak fokus, kemudian Aiden bergerak lebih dekat ke arah Sherina, lantas Aiden meletakan kedua lengannya di dekat bahu Sherina nan membuat tubuh Sherina condong ke dadanya seraya berkata, “Kakak tahu ini enggak mudah tapi, Kakak yakin semua ini pasti ada jalan keluarnya. Mama kamu pasti bisa sembuh, kamu enggak sendiri, Rin. Kita lewati sama-sama, ya,” bujuk Aiden.
Sherina lalu mengangguk perlahan membalas pelukan Aiden, Sherina pun merasa bahwa saat itu Aiden telah menjadi tempatnya bersadar ternyaman setelah mamanya, dan sahabatnya. Hati Sherina yang semula hancur berkeping-keping, kini kepingan itu perlahan tertata kembali.
***
Cinta adalah anugerah terindah dari yang Maha Kuasa. Kapan dan pada siapa kita akan jatuh cinta, itupun berdasarkan kehendak-Nya ♡♡♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Sherina Elzavira
Teen FictionSherina Elzavira merasa kehilangan pegangan hidup, ketika ayahnya meninggal dunia. Kondisi keluarganya semakin memburuk ketika ibunya mengalami ganguan mental dan mereka jatuh miskin. Di tengah keputusasaan, Sherina bertemu sang idola di sekolahnya...