Jebakan
Wajah Lea masih saja di tekuk, bibirnya seperti bisa di kuncir saja he-he. Sepanjang jalan Udin sudah mencoba menghibur Lea namun usahanya sia-sia. Tak lama muncul Alma, dari arah dalam rumah. Alma langsung tahu melihat raut wajah putrinya kalau putrinya sedang ada masalah, “Ada apa anak kesayangan, Mami? Cerita sama Mami ....”
“Lea lagi kesel sama Sherin, Mi,” rengek Lea.
“Sherin? Sahabat kamu itu? Memangnya dia ngelakuin apa, Nak?” tanya Alma.
Lea menarik napas panjang lalu bilang, “Sherin nusuk Lea dari belakang. Mi. Padahal jelas-jelas Sherin tahu kalo Lea naksir sama Kak Aiden, tapi tetep aja di pepet sama Sherin,” papar Lea dengan bibir bergetar.
“Terus anak, Mami ini maunya gimana?”
“Eumm ... Lea mau Sherin jauh-jauh dari orang yang Lea suka, atau biarin aja deh Sherin di keluarin dari sekolah,” ceplos Lea.
“Yaudah, Nak. Sekarang kamu ganti baju dan bersih-bersih dulu, setelah itu jangan lupa makan. Nanti kita bicarain lagi ya, Nak, ” bujuk Alma.
Lea mengangguk sebanyak dua kali, sembari melangkah masuk menuju kamar tidurnya, “Jangan lupa bilangin ke Papi ya, Mi,” pinta Lea.
“Iya, Nak,” timpal Alma sambil mengangguk.
“Makasih, Mami sayang,” ucap Lea dengan perasaan lega.
Di resto, Nana menoleh ke kiri dan ke kanan mencari keberadaan Sherina namun Sherina tak kunjung datang padahal saat itu resto dalam keadaan yang lumayan ramai pengunjung. Nana bergegas ke ruangan Aldi, ia tak ingin melewatkan kesempatan yang brilian itu. Selang lima menit, Nana tiba di depan pintu ruangan Aldi, Nana kemudian mengetuk pintu ruangan Aldi tiga kali tapi tetap tak ada jawaban. Akhirnya, Nana memberanikan diri untuk masuk saja, “Permisi, Pak,” ucap Nana dengan lembut.
“Mungkin enggak, Rin. Saya bisa milikin kamu, saya sudah suka sama kamu sejak lama,” oceh Aldi seraya memandangi foto Sherina yang terpampang jelas di ponselnya.
“Ternyata benar dugaan saya selama ini. Pasti ada alasan kenapa, Bapak enggak bisa ngeluarin Sherin dari resto ini,” sambung Nana tersenyum dengan penuh teka-teki.
Seketika mata Aldi melebar, ia lalu menoleh ke belakang, “Nana? Sejak kapan kamu di sini? Ada perlu apa?” alih Aldi.
“Tadinya saya mau ngasih tahu, Bapak kalau sampai jam segini Sherin belum juga datang. Awalnya saya berharap kali ini, Bapak bisa bertindak tegas ke Sherin. Tapi setelah ngedenger semuanya, saya kira Bapak enggak akan bisa mecat Sherin.”
“Itu kamu sudah tahu jawabannya,” timpal Aldi.
“Kalau gitu saya akan bantuin, Bapak buat dapetin Sherina. Asal Bapak mau nurutin satu permintaan saya,” tawar Nana.
Dahi Aldi berkerut, “Permintaan apa?”
“Uang. Saya mau uang sebesar sepuluh juta rupiah, Pak,” ceplos Nana.
“Ok. Enggak masalah, yang penting kamu bisa pastiin kalo Sherina bakal jatuh ke pelukan saya,” tanggap Aldi teguh.
“Iya saya yakin, ide saya ini akan berhasil,” ungkap Nana dengan satu alis terangkat.
Nana keluar dari ruangan Aldi, Nana lalu memikirkan rencananya sematang mungkin. Dalam hati Nana berbisik, Kok bisa ya, Pak Aldi suka sama manusia kayak Sherin? Mendingan suka sama gue. – seraya Nana mengangkat kedua bahunya.
Tanpa sengaja Retta melihat Nana yang baru saja keluar dari ruangan Aldi. Retta berpikir kalau Nana pasti sudah menghasut Aldi untuk segera memberhentikan Sherina dari resto. Retta kemudian lari ke dapur, sambil mengeluarkan ponselnya. Retta kemudian menghubumgi Sherina, Retta berbicara dengan suara pelan supaya tak terdengar oleh Nana dan karyawan lainnya.
***
Seusai menerima telpon dari Retta, Sherina kemudian menghubungi Aldi seraya memberitahukan kalau hari itu ia tak bisa masuk kerja karena mamanya sedang sakit. Beruntung Aldi langsung mengiyakan, dan tak terbesit kecurigaan sedikit pun di benak Sherina, Sherina justru menganggap bahwasanya hati Aldi sedang terbuka hingga bisa memaklumi Sherina yang sedang berhalangan masuk kerja.
“Baik juga atasan mu, Rin,” tutur Aiden dengan raut wajah cemberut.
Sudut mulut Sherina terangkat lalu ia berkata, “Iya, Kak. Alhamdulillah aku bisa dapet bos yang pengertian.”
“Pengertian ... ” ucap Aiden dengan ekspresi masam, “Kalo gitu, Kakak balik dulu, ya. Salam buat Tante Sekar,” lanjutnya.
Sherina kemudian mengangguk, “Makasih buat semuanya, Kak. Take care,” Sherina melambaikan tangan kanannya ke arah Aiden sambil tersenyum manis.
Saat Aiden melangkah pergi Sekar keluar dari rumah dan ia berdiri sejajar dengan Sherina lalu teriak, “Nak Aiden mau ke mana?” tanya Sekar.
“Tante? Saya mau pulang, Tan.” Aiden memutar badan.
“Loh kenapa buru-buru? Mending kita makan siang bareng, nanti Tante dan Sherin masakin khusus buat Nak Aiden, gimana?” tawar Sekar sembari tangan Sekar terus melambai memanggil Aiden.
“Enggak usah, Ma. Mungkin Kak Aiden enggak biasa makan masakan rumahan, Ma,” sanggah Sherina.
Aiden mendekat sempat menatap wajah Sherina lalu berkata, “Mau banget, Tan. Kalo Aiden enggak ngerepotin.”
“Enggak sama sekali, Nak. Tuh kan apa Mama bilang, Nak Aiden enggak keberatan,” sahut Sekar dengan semangat.
“Iya, Ma,” tanggap Sherina menghela napas lega sebab mamanya kembali pulih.
“Yaudah, yuk kita masak sekarang!” ajak Sekar sembari menarik tangan Sherina.
Setibanya di ruang tamu Sekar lalu bersuara, “Nak Aiden duduk manis di sini saja!”
Di dapur yang sederhana itu, Sekar meminta Sherina memotong-motongi sayuran seperti kangkung, kentang, wortel, kol, daun bawang, daun seledri , perbawangan ada bawang putih, bawah merah dan ada ikan mujair juga. Sementara Sekar yang menyiapkan bumbu-bumbunya, tak lama muncul Aiden dari arah dalam, “Saya bantuin ya, Tan,” tawar Aiden.
“Boleh,” timpal Sekar begitu ramah pada Aiden.
“Emang, Kak Aiden bisa?” sindir Sherina.
“Bisa ... ” timpal Aiden nampak ragu.
“Yaudah, coba irisin ini, Kak,” ucap Sherina seraya menyodorkan tujuh butir bawang merah sambil tersenyum tipis.
“Oke, enggak masalah,” sambut Aiden penuh percaya diri.
Sekar yang menyaksikan mereka lantas tersenyum .
“Ehh enggak langsung diiris, Kak. Kupas dulu kulitnya, cuci bersih-bersih, baru boleh di iris, Kak,” omel Sherina.
“Ohh gitu,” sahut Aiden dengan santainya.
“Rin, enggak boleh galak-galak gitu,” bela Sekar.
“Tuh dengerin, Rin,” sambung Aiden.
Sesuai mengikuti instruksi dari Sherina, Aiden kemudian mulai mengiris bawang merah, dan baru bawang ke tiga mata Aiden sudah berkaca-kaca, melihat keadaan Aiden yang menahan tangis membuat Sherina tertawa, “Perasaan aku enggak pernah ngelihat, Bik Ami nangis karena ngiris bawang, padahal ngiris bawang ternyata sesusah ini,” ungkap Aiden sambil menghapus air matanya.
“Ha-ha-ha. Lucu juga ngelihat Kak Aiden nangis, upss, ” rayu Sherina.
Melihat mata Aiden yang masih berkilauan air mata berhasil membuat Sherina iba, Sherina dengan gemetar mengusap lembut air mata yang mengalir di pipi Aiden. “Ehmm, ehmm ... ” canda Sekar.
Mendengar teguran Sekar cukup membuat Aiden dan Sherina salah tingkah, Aiden dan Sherina kemudian kembali ke posisinya masing-masing, Aiden mengiris bawang merah dan Sherina memotongi kentang, Kak Aiden hebat banget bisa deket sama, Mama. – pikir Sherina.
Karena terlalu terhanyut dalam lamunannya, Sherina tak sadar menggores mata pisau dapur ke jari telunjuk kirinya, “Aduh,” Sherina meniup-niup jarinya.
“Rin,” sahut Aiden, Aiden bergegas mendekati Sherina dan mengisap darah yang keluar dari jari telunjuk Sherina. Dan keduanya sempat saling memandang satu sama lain.
Selang dua menit, Sekar lalu memberikan kotak obat kepada Aiden, “Makanya lain kali kalau masak jangan sambil melamun,” ucap Sekar seraya menggoda putrinya.
“Mama, Sherin enggak ngelamun kok!” Sherina tersipu.
Aiden kemudian mengobati Sherina dan membalut lukanya. Seusai peristiwa itu, mereka lanjut memasak tentunya dengan lebih berhati-hati. Selang satu jam kemudian, masakannya siap disajikan. Ada sayur sop, ada tumisan kangkung pedas, dan ada ikan bakar. Aiden lalu melahap masakan itu dengan amat semangat tanpa ada rasa canggung-canggungnya.
Gue beruntung bisa kenal Sherina dan mamanya. – suara hati Aiden.
Kak Aiden bisa banget ngerebut hati Mama, Kak Aiden adalah laki-laki pertama yang deket sama, Mama. – gumam Sherina.
“Nak Aiden ... ” panggil Sekar memecahkan lamunan Aiden dan Sherina.
“Iya, Tan,” timpal Aiden, menatap Sekar.
“Apa Tante boleh minta satu hal sama, Nak Aiden?”
“Apa, Tan?” mata Aiden terfokus pada Sekar.
“Kalau, Nak Aiden beneran jatuh hati sama Sherina. Jaga dia, ya. Jangan pernah ngecewain dia,” pesan Sekar penuh harap.
“Ma--” ucap Sherina terpotong.
“Iya, Tan. Saya akan menjaga Sherina dan enggak akan nyakitin dia,” ucap Aiden dengan lantang.
Sekar tersenyum lega, “Tante percaya sama, Nak Aiden.”
Saat itu menjadi moment yang berarti bagi ketiganya. Terutama Sherina, sikap Aiden yang mampu meluluhkan mamanya, membuat Sherina perlahan yakin bahwa Aiden termasuk laki-laki yang baik dan tak menutup kemungkinan Sherina akan membuka hati untuk Aiden.
***
Waktu terus bergulir, pagi berganti siang dari siang beranjak malam. Malam itu saat di resto, waktu menunjukkan pukul 21.00 WIB, itu tandanya setengah jam lagi jam kerja mereka akan usai. Nana lalu meminta Sherina memeriksa persediaan barang di gudang untuk persiapan besok. Awalnya Sherina berniat mengajak Retta, Sherina berpikir kalau dilakukan oleh dua orang maka pengecekan itu akan cepat selesai. Namun Nana mengalihkan dengan bilang jikalau Nana sendiri yang akan menyuruh Retta menyusul Sherina ke gudang. Tak ingin membuang waktu, Sherina lalu setuju dan bergegas menuju gudang.
Setibanya di dalam gudang, Sherina lalu melaksanakan perintah Nana. Hingga sekitar sepuluh menit berlalu, Sherina baru sadar kalau Retta tak kunjung menyusulnya. Akhirnya, Sherina memutuskan untuk keluar ruangan itu, saat Sherina mencoba membuka pintu , Aldi tiba-tiba muncul dari arah belakangnya. Sherina cukup terkejut dengan keberadaan Aldi, Sherina sampai kebingungan sejak kapan Aldi sudah ada di sana?
“Kenapa, Bapak ada di sini?” tanya Sherina mencoba berpikir positif.
“Saya adalah manager di resto ini, jadi saya berhak juga ada di ruangan ini.”
“Kalau gitu saya izin keluar, Pak,” pamit Sherina baik-baik.
Sherina berusaha membuka pintu itu, “Pak, sepertinya kita terjebak di gudang ini. Gimana caranya kita keluar dari sini?” dahi Sherina berkerut.
“Kalaupun ada cara lain untuk bisa keluar dari ruangan ini, saya enggak akan pernah memberitahukannya!” ceplos Aldi.
“Maksud, Bapak?” Sherina melongo.
“Saya sudah lama menunggu moment ini, dari dulu saya sudah jatuh hati sama kamu, Rin. Tapi saya tidak pernah punya keberanian untuk mengutarakannya,” ujar Aldi sangat mengejutkan Sherina.
“Bukannya, Bapak sendiri sudah punya istri? Gimana dengan istri Bapak?”
“Saya tidak pernah mencintai istri saya. Saya menikahi istri saya karena di jodohkan oleh orang tua saya,” ucap Aldi.
“Maaf, Pak. Saya tidak pernah ada rasa sedikitpun sama Bapak. Saya menghargai dan menghormati Bapak, hanya karena Bapak atasan saya, dan usia Bapak lebih tua dari saya,” tegas Sherina.
Di tempat yang berbeda, nyatanya Nana justru memberitahukan ke semua karyawan, khusus malam ini resto mereka tutup lebih awal. Seluruh karyawan nampak senang, tak terkecuali Retta. Namun, seketika Retta jadi teringat kepada Sherina. Retta lalu berkeliling mencari keberadaan sahabatnya itu. Tak ingin Retta bertambah curiga, Nana lantas bilang kalau tadi Sherina pamit pulang duluan, di karenakan mamanya sakit. Retta akhirnya percaya dan pulang juga bersama pekerja lainnya. Di parkiran, Retta tak sengaja berpapasan dengan Genta, sangking terpesonanya, Retta sampai salah duduk di atas motor karyawan lain.
“Segitu terkagumnya lo sama Genta,” ledek sang pemilik motor itu.
Pipi Retta berubah merah muda, “Apaan, sih. Sok tahu lo,” tepis Retta.
“Ye ... masih aja di tutup-tutupin,” goda orang itu sambil memukul punggung Retta.
Tanpa terduga Genta lalu berjalan mendekati Retta, “Lo temen deketnya Sherin, kan?” tanya Genta.
“I..ya,” jawab Retta dengan wajah yang berseri-seri.
“Lo tahu ke mana Sherin? Apa dia udah pulang?” tanya Genta dengan mata yang berkeliling.
“Tadi kata Nana, Sherina udah pulang duluan karena mamanya sakit,” timpal Retta.
Genta kemudian mengangguk, “Oh gitu. Thanks, ya.”
“I..ya,” Retta tersipu.
Seusai berbincang dengan Retta. Genta kemudian menginfokan tentang Sherina ke Aiden. Mendengar kabar kalau Mama Sherin sakit, membuat Aiden khawatir. Selang lima menit kemudian, Aiden memutuskan keluar rumah menuju rumah Sherina untuk melihat langsung kondisi Sekar.
“Mau ke mana, Den?” celetuk Ami.
“Mau keluar sebentar, Bik. Aiden mau ke rumah Sherina,” jawab Aiden singkat.
“Sherina? Kalau gitu, hati-hati ya, Den,” pesan Ami, sedikit memikirkan siapakah Sherina itu.
“Iya, Bik,” Aiden tersenyum.
Sepanjang jalan, Aiden terus terbayang dengan wajah Sherina, dada Aiden tiba-tiba terasa sesak. Ia semakin takut kalau akan terjadi sesuatu yang buruk dengan Sherina, sesosok wanita yang dicintainya.
***
Di gudang resto, mendengar ungkapan Sherina yang tak sesuai dengan yang ia harapkan membuat Aldi kalap mata. Aldi pun berniat menodai Sherina, mata Sherina melesat, ia amat takut. Sherina lalu teriak sembari memukul-mukul pintu, berharap ada orang yang mendengar teriakkannya dan membantunya keluar dari sana.
“Percuma, kamu mau teriak sekerasnya enggak ada yang denger. Temen-temen kamu sudah pulang. Dan tinggal kita berdua di gudang ini,” lontar Aldi dengan mata yang penuh bahaya.
Sherina kemudian mencari-cari ponsel di kantong celananya, namun ternyata ponselnya justru tertinggal di dalam tasnya. Sherina benar-benar gelisah, bayang-bayang kejadian malam itu ketika ia pulang dari dinner kian menghantuinya lagi. Semakin lama, Aldi semakin nekat. Aldi benar-benar tak kuasa mengendalikan hawa nafsunya.
“Pergi! Jangan sentuh saya!” teriak Sherina.
“Tidak bisa! Karena saya sudah bayar mahal, untuk bisa sampai di titik ini,” terang Aldi dengan mata yang berkilat.
“Maksudnya?” mata Sherina berlinang air mata.
Tak ingin menyerah saat Aldi mendekat, Sherina sontak melempar segala sesuatu yang ada di dekatnya. Seperti tepung, gula, makanan kaleng, minuman botol sampai-sampai kepala Aldi berdarah. Ketika energi Sherina telah terkuras, Aldi kemudian menggengam tangan Sherina. Sherina lalu memohon agar Aldi mau melepaskannya.
Sesampainya di rumah Sherina, Aiden sontak memanggil-manggil nama Sherina. Setelah mendengar ada suara, Sekar bergegas keluar kamar dan keluar rumahnya, Siapa, sih malam-malam begini teriak-teriak manggil Sherina? – pikir Sekar.
“Tante? Tante gimana keadaannya? Sherina ada di mana, Tan?” cemas Aiden.
“Satu-satu nanyanya. Alhamdulillah keadaan Tante baik. Dan tentang Sherina, dia masih belum pulang kerja.”
“Sherin belum pulang? Tapi kata temen, Aiden Sherin udah pulang dari tadi, Sherin pulang lebih awal, karena tahu Tante sakit,” urai Aiden panjang lebar.
“Enggak, Tante baik-ibaik aja. Duh, Tante takut Sherin dalam bahaya. Lebih baik kita susulin Sherin, ya,” kata Sekar mengigit jarinya sambil mondar-mandir.
“Atau gini aja, Tan. Tante nunggu di rumah aja siapa tahu nanti Sherin pulang. Biar Aiden aja yang nyusulin Sherin ke tempat kerjanya.”
“Iya, Nak. Titip Sherin, ya,” timpal Sekar dengan bibir yang gemetar.
Sherina sampai pada titik menyerah dan hanya berpasrah pada Allah semata. Tak pernah terbesit sedikitpun di benak Sherina, Aldi akan ada perasaan kepadanya. Dan Sherina juga tak pernah berpikir sebelumnya, jikalau Aldi akan melakukan hal sebrutal itu kepadanya. Akankah Aiden akan tepat waktu kali ini? Sekelebat tanya kian hadir di kepala. Saat ini yang Sherina punya hanyalah do’a dan harapan.
Banyak hal yang terjadi di buana* ini, tak sejalan atau justru berkebalikan dengan apa yang kita inginkan ●●●Notes!
Buana* berarti dunia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sherina Elzavira
Teen FictionSherina Elzavira merasa kehilangan pegangan hidup, ketika ayahnya meninggal dunia. Kondisi keluarganya semakin memburuk ketika ibunya mengalami ganguan mental dan mereka jatuh miskin. Di tengah keputusasaan, Sherina bertemu sang idola di sekolahnya...