Sudah terhitung tiga pekan setelah wafatnya Ning Abidah tapi seorang kyai Abi masih tak kunjung merasa terbiasa. Kegiatannya yang biasa di dampingi Ning Abidah dan saat ini tidak lagi tentu membuat ia terasa kosong, berdakwah contohnya. Biasanya ia selalu ditemani Ning Abidah kini tidak.
Setiap kyai Abi memiliki kesempatan walaupun bukan Kamis sore ia selalu datang kemakam Ning Abidah dengan segenggam bunga mawar merah. Dan jika ia berada diluar kota saat berdakwah tak pernah ia lupa menyelipkan nama Ning Abidah beserta anak cucunya dalam doa.
Karena sejatinya cinta adalah doa dan doa adalah cinta. Jika kita mencintainya maka kita akan sering menyebut namanya. Bersholawat lah kepada Rasulullah menyebut namanya.
"Tanda cinta kepada Allah adalah dengan banyak mengingat (menyebut-Nya), karena tidaklah engkau menyukai sesuatu kecuali engkau akan banyak mengingatnya" (Ar-Rabi Bin Anas/Jamil ulum Wal Hikam, Ibnu Rajab).
***
Nata pagi ini tengah berada di belakang asrama dibawah pohon rindang yang pernah ia kunjungi.
Nata membuka buku bersampul hitam miliknya dan menuliskan beberapa bait kata disana. Entah kenapa saat ini ia ingin menulis.
Karena terkadang saat lisan tidak bisa menjabarkan disitulah tinta yang mewakilkan.
Suara langkah kaki di belakangnya membuat nata menoleh kebelakang.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, kenapa?"
Adel menampilkan deretan gigi rapinya berlalu duduk disamping nata. "Gue gabut."
Ya mereka baru saja pulang mengaji subuh dan masih ada satu jam lagi untuk sekolah maupun Dhuha, tapi disini tidak diwajibkan tapi jika ingin silahkan dan bahkan banyak yang melaksanakan sholat Dhuha sebelum berangkat sekolah.
"Jadi gue dijadiin bahan gabutan Lo?" Ceplos nata.
"Nggak juga, gue pengen ketemu lo juga sebenarnya."
Nata mengangguk saja menanggapi.
"Eh, nata kok gue nggak pernah liat Lo disambang sih?" Heran Adel sejauh ini ia tidak pernah melihat wali nata.
Nata bungkam ia bingung harus menjawab apa, apakah ia akan menjawab ia dibuang? Tapi tidak mungkin mereka pasti akan heran dari mana ia menadapat uang jajan jika orang tuanya tidak mentransfer uang.
"Emm... mereka jauh," ujar nata berbohong. Berusaha ia untuk tidak melakukan kesalahan lagi seperti berbohong tapi kali ini ia tidak bisa berkata jujur.
Adel mengangguk-ngangguk saja. Toh ia juga tidak ingin membuat nata merindukan mereka. Karena jika mondok dan tidak disambang itu sangatlah sakit. Adel heran kepada nata yang tidak pernah mengeluh tentang orang tuanya. Biasanya santri baru seperti nata akan lebih ingat rumah dan menangis karena rindu. Tapi nata tidak sama sekali.
Adel menepis keanehan itu semua biarlah nata, bagus juga jika ia sudah betah disini.
"Gue kangen orang rumah gue," lirih Adel mengadu dan senyum yang tadi terbit kini terbenam.
Nata menoleh melihat Adel. "Rindu rumah apa hp yang ada dirumah?" Tanya nata meledek.
"Kalo hp mah number one, tapi kangen mereka juga huhu." Adel menyeka air matanya padahal tidak ada airnya. Hanya sok dramatis saja.
"Kapan gue bisa sakit terus pulang?"
"Orang sakit pengen sembuh, lo sehat pengen sakit."
"Kalo nggak sakit gue pulang gimana coba?"
KAMU SEDANG MEMBACA
LOKANANTA (TERBIT)
Humor(CERITA SUDAH DI BUKUKAN DAN PRAT MASIH LENGKAP) UNTUK PEMBELIAN CEK DI INSTAGRAM: @Laila21070 Ini kisah LOKANANTA Ning yang lahirnya tidak diharapkan orangtuanya sendiri, diasingkan dari pesantren abinya. Pergaulan bebas dan sifat yang bertolak be...