"Kamu kebanyakan minta maaf, Ron. Memangnya kamu salah apa?"
*
"Ma, koper Papa sudah di depan?" tanya Papa Alma dengan suara yang agak tergesa.
"Sudah, Pa. Semuanya sudah masuk ke mobil," sahut Moza sambil melirik jam tangannya. Mereka sudah berada di depan rumah, bersiap berangkat menuju bandara.
"Ara, sayang." Suara lembut Tante Mila memecah keheningan. Ia mendekat dan memeluk Alma dengan hangat.
"Iya, Tante," jawab Alma, membalas pelukan itu dengan senyum tipis.
"Sampai ketemu di Tokyo, ya. Tante udah nggak sabar kita kumpul di sana." Alma hanya mengangguk, meski hatinya terasa sedikit hambar.
Suara langkah kaki berlari menghampiri Alma. "Kak Araaa!" Nadila, sepupu kecilnya, langsung meraih pelukan Alma. "Nanti di Jepang kita sekamar, ya!" ucapnya dengan semangat.
Alma tersenyum hangat, membelai kepala Nadila. "Iya, hati-hati di jalan ya."
Dari belakang, Om Andri ikut menyapa. "Jayendra pasti senang banget, nih. Tanding di luar negeri dilihat sama kamu. Apalagi kita sekeluarga datang semua."
"Semoga Kak Jayendra jadi tambah semangat dan menang ya, Om," sahut Alma, meskipun pikirannya melayang-layang.
"Aamiin," semua serentak mengucapkannya.
Setelah berpamitan, dua kendaraan mulai melaju perlahan meninggalkan rumah. Alma menatap kepergian mereka dengan perasaan campur aduk. Dia tahu dirinya harus segera ke kantor, tapi pikirannya dipenuhi hal lain-semua tentang Darron.
*
Di kantor, waktu sudah menunjukkan pukul 13.15. Darron masih terpaku di meja kerjanya, di depan tumpukan dokumen yang belum tersentuh. Mata Darron berulang kali melirik ke arah pintu kaca ruangan, berharap melihat sosok Alma yang biasanya sudah kembali dari makan siang. Namun, Alma tak kunjung muncul juga.
Tangannya menggenggam ponsel, membuka pesan terakhir yang diterima dari Alma. Sebuah penolakan halus untuk makan siang bersama. "Lagi ketemu teman," begitu kata Alma. Teman? Darron mengernyit. Setahunya, sahabat Alma tinggal di luar kota, dan Alma pasti akan memberitahunya jika ada sahabat yang datang ke Jakarta.
Pikiran Darron mulai kacau. 'Apa ini karena semalam? Dia minta kepastian yang belum gue jawab? Tapi bukannya dia sudah tahu perasaan gue? Kita sedekat ini, nggak mungkin cuma temenan. Dia harusnya paham tanpa gue harus bilang... kan?' batinnya bergemuruh.
*
Alma membuka pintu mobil, lalu turun dengan perlahan. Langkahnya terasa berat, rasa sakit di perut yang ia rasa belum juga reda. Sudah dua hari ini Alma menahan rasa perih yang berasal dari lambungnya.
Dokter yang di temui tadi menganjurkan untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut, guna mengetahui penyebab rasa sakit yang ia derita. Namun, Alma terpaksa menolaknya. Dua hari lagi Alma akan berangkat ke Jepang menyusul keluarga, tentunya Alma tidak ingin melewatkan momen penting itu.
Pemeriksaan lanjutan membutuhkan waktu tiga hari, termasuk prosedur opname sebelum tindakan. Dengan perasaan gamang, Alma memutuskan untuk meminta resep obat pereda nyeri dan berencana untuk melanjutkan proses pemeriksaan setelah kembali dari Jepang.
Alma berjalan ke arah meja kerja. Darron yang melihatnya dari dalam ruangan, berdiri dan berjalan keluar untuk menemui Alma.
"Kamu dari mana, Al?" tanya Darron lembut, berusaha menyembunyikan kegelisahannya.
Alma tetap melangkah tanpa menoleh. "Keluar," jawabnya singkat, nyaris tanpa emosi.
Darron mengernyit, merasa ada yang tidak beres. Dia menarik napas, mencoba menahan perasaan cemas yang mulai muncul. "Al, lihat aku sebentar," pintanya, suaranya lebih lembut tapi penuh kekhawatiran.
KAMU SEDANG MEMBACA
TERSIPU | Why do I still have feelings for you?
RomanceSelama tujuh tahun, Almaira dan Jayendra terikat dalam ikatan persahabatan yang erat. Jayendra berusaha menutupi perasaannya pada Alma. Ketika Almaira bertemu dengan Darron atasan di tempat barunya bekerja, Almaira merasakan ketertarikan yang berbed...