Seaside Beach

32 10 2
                                    

Aku mengerjap pelan memperhatikan sekitar. Pantai ini jauh lebih sepi dari biasanya. Tidak banyak pengunjung atau bahkan bisa dihitung berapa banyak orang yang ada di Pantai ini.

Tanpa basa-basi lagi, aku mendudukkan tubuhku pada pasir yang tampak sedikit oranye akibat sorot matahari yang hamper tenggelam. Ah, menikmati lukisan Tuhan satu ini, memang tidak pernah mengecewakan.

Matahari belum sepenuhnya menyelinap, tapi pemandangannya sudah sangat indah jika dilihat dengan mata telanjang. Aku sampai hamper terbuai dan melupakan maksud dari kedatanganku ke sini. Hingga seseorang menyadarkanku.

"Permisi!" sapanya dengan suara berat yang membuatku spontan menatapnya.

"Ya?"

"Maaf mengganggu kesenanganmu. Tapi, bolehkan aku bertanya sesuatu?"

Aku memperhatikannya sejenak sebelum merespon. Ia seorang pria paruh baya bersetelan rapi, dengan kemeja putih yang ia masukkan ke dalam celana. Aku tidak mengenalnya. Satu-satunya pria yang kukenal dengan setelan seperti itu hanya Adam. Mungkin ...

"Ya? Apa yang bisa kubantu?"

"Kau pernah melihat Wanita ini?"

Pria itu menunjukkan sebuah foto dari sakunya. Foto itu memperlihatkan seorang wanita seusiaku dengan gaun berwarna peach dan dengan seorang pria yang sangat familier untukku. Tunggu dulu! Itukan ...

"Kau pernah melihatnya?" suara berat itu memecah lamunanku.

Aku sedikit gelagapan menanggapinya. "Oh, sebentar!"

Entah apa yang ada dipikiranku, tapi aku berusaha menilik sekitar sekali lagi. Memastikan apakah aku pernah melihat wanita di foto itu atau tidak. Dan entah kebetulan dari mana, aku melihat wanita itu.

"Apakah dia yang sedang kau cari?" tanyaku, menunjuk seorang wanita yang tengah bersantai di sebuah gazebo.

Pria itu beberapa kali mencocokkan wanita tersebut dengan yang ada di foto. "Wah, benar itu orangnya. Terima kasih," ujarnya dan segera berlalu.

Aku tidak terlalu memperhatikan interaksi mereka. Meskipun sebenarnya aku masih bisa melihatnya dengan jelas dari ekor mata.

Kembali pada sunset. Aku langsung memasang kameraku pada sebuah tripod, begitu mengingat manusia yang mendesakku untuk datang ke sini. Sejujurnya, pemandangan seperti ini jauh lebih indah saat dilihat langsung. Tapi, tetap saja. Sesuatu yang alam ciptakan tidak pernah luntur keindahannya. Kecuali, tangan-tangan manusia memang sudah gatal.

Tanpa terasa, satu jam segera berlalu. Kini mentari benar-benar telah tenggelam dan langit malam mulai rata hingga ke sudut sana. Ternyata langit malam tak kalah memesona. Rasanya masih ingin berdiam diri dan menikmati langit sampai fajar. Sayangnya, aku tidak membawa perbekalan apapun.

Dengan berat hati, aku segera beranjak sebelum malam benar-benar meninggi. Aku telusuri kembali jalan yang membawaku ke pantai ini. Malam ini pun tak terlalu berbeda dengan malam-malam lain yang biasa aku lihat dari jendela apartemen. Hening, tenang, tidak terlalu ramai.

Perjalanan pulang rasanya jauh lebih cepat dari saat berangkat tadi. Tidak hanya itu, bahkan aku sudah tidak jauh dari lingkungan apartemenku. Aku bisa melihatnya dari tempat aku berdiri saat ini.

Namun, perjalanan santaiku ternyata tidak berlangsung lama. Sebuah keramaian di ujung jalan mengundang para pejalan kaki dan orang sekitar tidak terkecuali aku. Semua orang hanya berkumpul mengitari sesuatu. Aku kesulitan melihat hingga harus sedikit berkeliling dan berdesakan dengan yang lain. Dan saat mataku dapat melihat pusat kerumunan, aku dibuat terbelalak denga napa yang aku lihat.

Seorang gadis tengah terkapar bersimbah darah di sana. Reflek tubuhku terdorong menghampirinya. Keadaannya benar-benar tidak baik.

"Hei, kau mendengarku?" panggilku cepat seraya memperbaiki posisinya terlentangnya.

Aku ingat betul gadis ini. Ia yang sempat kuambil gambarnya sore tadi. Gadis ini kritis dengan luka tembak di dada kirinya. Dengan cepat tanganku menahan pendarahannya. Tapi, itu tidak cukup. Ternyata ada seorang wanita yang juga segera mendekat dan memberikan sebuah kain dari dalam tasnya.

"Gunakan ini!" titahnya.

Tanpa pikir panjang, aku mengambilnya untuk membantuku menekan pendarahannya. Aku menatap wajah wanita itu. Sepertinya ia tahu apa yang aku pikirkan.

"Suamiku sudah menelpon ambulance," ujarnya seraya melepas mantelnya untuk menyelimuti tubuh gadis ini.

"Nak, kau bisa mendengarku?" panggilnya lagi pada gadis di bawahku. Aku bisa merasakan detak jantungnya yang berdetak terlalu cepat. Gadis itu merespon meski sedikit terlambat.

"Kau akan baik-baik saja. Oke?" Gadis itu mengangguk sembari terengah sesak.

Panik. Kami tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Pendarahannya pun tak kunjung berjeda. Di tengah kekalutan kami, gadis itu menarik tanganku lemah. Aku bisa merasakan jemarinya sudah sedingin es. Ia berusaha mengatakan sesuatu, tetapi suaranya tak kunjung keluar. Aku segera mendekatkan telingaku tepat di depan mulutnya. Sebuah kata samar terucap.

"Titip untuk Ayahku-," ujarnya sembari tersenyum. Kedua mataku terbelalak saat tangan jatuuh terkulai.

"Dia tak sadarkan diri!" seruku panik. Wanita dihadapanku langsung melakukan CPR dan napas buatan beberapa kali. Tetapi, tidak membuahkan hasil.

Ambulance tiba, kami masih berusaha menyadarkan anak itu. Namun, nihil. Anak itu segera dilarikan ke Rumah Sakit terdekat, tetapi nyawanya tetap tidak tertolong.

***

"Ini sudah takdirnya. Tidak perlu menyalahkan diri," ujar Rez, di belakang kemudi.

Pria itu melirik istrinya yang ada di sampingku melalui spion. Tak ada pembicaraan yang keluar sejak kami meninggalkan rumah sakit. Mia dan suaminya berkenan mengantarkanku. Meski sudah kutolak, mereka terus memaksa.

Ini bukan kejadian yang bisa berlalu begitu saja. Seorang gadis kecil meninggal di hadapan kami. Siapa yang akan tenang jika dihadapkan dengan keadaan seperti ini?

Aku segera turun saat mobil sedan hitam ini berhenti tepat di depan apartemenku.

"Kay!" panggil Mia lebih dulu saat aku ingin mengucapkan terima kasih.

"Ya?"

"Kau mengenal anak itu?"

Aku menggeleng pelan. "Aku tidak sengaja bertemu dengannya tadi sore sebelum pergi."

Mia mengembuskan napas kasar lagi. Ini sudah kesekian kalinya ia melakukan itu. Pasti berat untuk seorang tenaga medis sepertinya. Tetapi, apa yang dikatakan Rez benar adanya.

"Beristirahatlah, Kay. Lain waktu maukah kau mengobrol denganku?"

"Tentu. Terima kasih atas tumpangannya."

Mereka segera berlalu setelah berpamitan. Entah kenapa, aku merasa kejadian ini tidak akan sesederhana kecelakaan biasa.

***

Kaar_06/15-24

CornerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang