"Mia?"
Wanita berdress kembang selutut itu memutar arah pandangnya. "Kay?"
"Ada apa? Kenapa tidak mengabariku kalau mau datang?"
Mia hanya tersenyum bimbang dengan tawa sumbang tanpa menjawab pertanyaanku. Melihat dari raut wajahnya, sepertinya dia kelelahan. "Kau baru pulang bekerja?"
"Bagaimana kau tau?" Kedua alisnya terangkat, raut wajah langsung berubah.
Aku segera menggandeng tangannya. "Kau datang sendiri?"
Mia lantas mengangguk. "Rez sedang menyelidiki kasus anak 'itu'." Langkahku terhenti sejenak.
"Tunggu! Rez anggota kepolisian?" Wanita berambut pirang itu mengangguk sekali lagi. "Benar." Aku segera melangkah menyusuri tangga menuju lantai apartemenku bersama Mia.
Aku sempat meminta maaf karena tidak bisa membawanya yang kelelahan menggunakan lift karena kebetulan sekali beberapa hari ke depan lift apartemenku sedang di perbaiki. Saat menelusuri koridor, ternyata Adam dan Henry sudah menunggu di sana. Apa yang mereka lakukan? Tentu saja bertamu. Bukankah aku mengakatakan bahwa banyak teman-teman singgah ke apartemenku untuk membicarakan berbagai hal? Mereka adalah salah satunya. Terlebih, masalahku juga tidak menemukan titik terangnya.
"Mia, ini teman-temanku. Adam dan Henry. Maaf kali ini mereka akan bergabung dengan kita." Aku segera membuka pintu selagi mereka saling berkenalan. Tapi, diluar dugaanku. Mia ternyata mengenal mereka.
"Apa kabar, Adam?" Sapaan Mia membuat sedikit melirik mereka.
"Wah, ternyata kau terkenal, ya?"
Adam menyadari maksud ungkapanku dan tertawa pelan. "Tentu saja. Mia adalah istri Rez. Teman baikku saat sekolah menengah."
Oh, baiklah. Sepertinya aku memang seekor katak dalam tempurung. Bahkan kenalan Adam sudah melebihi ekspektasiku."
"Sepertinya hanya kau orang yang tidak berhubungan dengan orang lain, selain teman-temanmu, ya?" Suara khas pria berkacamata itu lagi-lagi terdengar menyentil gendang telingaku. Aku menatap tajam padanya dan berusaha tenang untuk tidak meresponnya.
"Sebaiknya kita lanjutkan saja percakapannya di dalam."
***
"Jadi, perawat yang Kay maksud itu kau, Mia?" Adam memastikan perkataanku sebelumnya. Dan, mendapatkan anggukan dari lawan bicaranya.
"Berarti kau juga tau kalau Kay ..." Adam kenggantung kalimatnya. Entah apa maksudnya melakukan itu. Tapi, intonasinya kali ini terdengar menjengkelkan.
"Bisa tidak? Nada bicaramu biasa saja!" Sudah cukup! Aku tidak bisa menahan emosiku kali ini.
Adam menaikkan kedua bahu dengan tampang tanpa dosa. "Kenapa? Aku biasa saja."
"Ck!" Kalimatnya memang biasa, tapi logat biacaranya jelas-jelas sedang mengejekku.
"Adam, berhenti usil begitu! Tidak biasanya kau seperti itu." Mia tertawa kecil di sela-sela ucapannya.
"Kau belum mengenal Kay dengan baik, Mia. Dia itu senang diajak bercanda."
"Hei!" Makhluk satu ini mulai bertingkah lagi.
"Kau lihat?" Henry hanya tertawa menyaksikan aku yang jadi bulan-bulanan Adam.
"Aku bercanda, Kay. Baik kembali ke topik. Jadi, apa Rez sedang menyelidiki kasus ini?" Adam kembali mendudukkan dirinya dengan baik.
"Ya. Semalam aku baru tahu, kalau Ny. Rose mengangkat kasus ini ke ranah hukum dan bahkan membawa nama Kay dalam tuduhannya. Itu sebabnya, aku datang ke sini setelah sift-ku selesai tadi."
"Anda memang orang yang baik, Ny. Mia. Kayda bahkan tidak peduli dengan kehidupannya selama ini. Berkat kabar itu, dia bisa terlihat memikirkan hidupnya sekarang. Meskipun dengan sedikit emosional."
Henry menyandarkan punggungnya santai. Aku benar-benar tidak berselera menanggapi ucapannya. Sepertinya kedua pria ini sepakat mengerjaiku. Ah, menyebalkan!
"Kalian sudah tau betul soal Ny. Rose, ya?" Mia menatapku lekat. Aku mengangguk pelan.
"Aku mendapat informasi yang sama dari Rez, saat dia ditugaskan melakukan penyelidikan ini."
"Bagaimana denganmu, Mia? Kau juga ada di lokasi saat itu. Apa rumah sakit tempatmu bekerja membahas soal ini?"
Mia mengangguk pelan. "Ny. Rose menekan kepada paramedis untuk menemukan kesalahan sekecil apa pun dalam penanganan putrinya. Kepala perawat mengintrogasiku berulang kali untuk memastikan, apa sempat Kay sempat melakukan kesalahan seperti yang dikatakan Ny. Rose. Ini menjadi rumit karena permintaan beliau."
Aku kembali mengela napas sedikit kasar. "Yang ingin aku tanyakan, apa kau punya pengalaman menangani pertolongan pertama pada korban luka tembak atau semacamnya, Kay?" Mia mulai menimbang kemungkinan itu. Sudah pasti dia bisa-bisa ikut terseret karena itu juga.
Aku diam sejenak sebelum kembali angkat suara. "Ya. Dari tiga kasus seperti ini, salah satunya selemat."
Meski aku tidak menatap mereka, aku masih bisa melihat mereka kini menujukan pandangannya padauk. "Setelah pengalaman pertama aku tidak mampu membantu Ibu yang tertembak, aku selalu mengikuti pelatihan penanganan pertama pada korban kecelakaan dan luka. Aku berhasil melakukannya beberapa kali, tapi yang kali ini tidak."
Mia menunduk dalam, ada rasa kecewa dalam dirinya. Tentu saja. Dia menjadi seorang perawat karena panggilan hatinya. Melihat orang yang tidak bisa diselamatkan itu cukup membekas. Meskipun, itu bukan hal baik untuk terpuruk terlalu lama.
***
Kaar_09/08-24
KAMU SEDANG MEMBACA
Corner
General FictionHari itu, sudah kesekian kalinya Adam membujuk Kay untuk keluar kamar. Akhirnya membuahkan hasil. Tetapi, siapa sangka itu malah membuat Kay terseret sebuah kasus di sebuah simpang jalan. "Kenapa rasanya ada yang janggal, ya?"