Pengakuan

9 2 5
                                    

Di depan adalah lorong terakhir sebelum ruangan yang sibuk dengan berbagai kegiatan kantor kepolisian. Sipir yang menemaniku menemui tahanan tadi, kini turut mengantarku ke depan kantor.

"Terima kasih atas waktu Anda." Ungkapku dengan sopan.

Sipir itu mengangguk sejenak. "Terima kasih kembali, Nona. Itu sudah menjadi bagian dari tugas saya."

Aku segera berbalik hendak meninggalkan kantor tersebut. Tetapi, sebuah pemandangan di halaman kantor itu membuatku terdiam sejenak. Bukan sesuatu yang aneh. Hanya saja, orang yang sejak kemarin memenuhi panggilan di ponselku sudah berdiri di bawah hujan dengan naungan payung.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Suara beratnya yang khas sedikit samar oleh suara hujan yang masih turun, tapi aku masih bisa mendengar apa yang dia katakana.

"Seharusnya aku yang berkata seperti itu. Apa yang sedang kau lakukan di situ?"

Aku kembali mengulangi pertanyaan yang sama persis dengannya. Wajah Adam masih terlihat sangat serius. Ah, suasanya menjadi terasa menegangkan kalau dia bersikap seperti itu. Wajah tegas dan seriusnya menatap tajam padaku. Dengan langkahnya yang terhitung cukup lebar, dia bergerak mendekatiku dan berdiri tepat di sisiku.

"Apa yang kau lakukan?"

Adam masih bergeming, berujar singkat. "Memberikan tumpangan untuk pulang."

"Kau naik apa datang ke sini?" Aku mendangak untuk melihat wajah pria itu. Adam ikut mendongak menatap payungnya.

"Aku hanya menggunakan ini." Aku mengela napas sejenak. Dia ini ... kenapa bisa absurd begini?

Tanpa berkata lagi, aku segera melangkah tanpa memberi aba-aba. Adam melihatku bergerak, reflek mengikuti kemana kakiku melangkah. Meski aku berusaha berjalan cepat, ternyata tidak terlalu menyulitkan pria itu untuk memayungiku. Tepat saat aku hendak melangkah melewati gerbang, Adam menarikku secara tiba-tiba. Sontak kejadian itu membuat aku tertarik dan hamper terjengkang. Adam berhasil menahan tubuhku dengan tangan kanannya, sedang tangan yang lain masih sigap memayungi kami.

Detik berikutnya, aku kembali memasang wajah datar padanya. Apa-apaan coba gerakannya itu? Membuat kaget saja. Dan apa ini? Dia kira genre cerita ini romansa? Sampai memaksa aku berpose seperti ini.

"Jangan menatapku seperti itu!"

Adam membantuku kembali berdiri dengan baik. "Apa maksudmu menarikku begitu?"

"Disuruh penulis."

"Ha?" Jawaban apa itu?

"Aku bawa mobil. Kalau kita jalan, aku harus kembali ke sini dan mengambilnya."

Astaga! Aku mengusap wajah kasar. Geram melihat tingkahnya. Kenapa pula dia tadi mejabar melantur?

"Kenapa tidak bilang?" ujarku sembari mengayunkan kaki, menendang tulang keringnya.

Adam seketika merunduk untuk mengusap kakinya. Sembari meng-aduh dia berjalan tertatih mengejar langkahku yang kembali masuk ke halaman kantor kepolisian menuju parkiran.

Lima menit kemudian, kami sudah berada di jalanan Kota Seaside yang tidak terlalu ramai dengan hujan yang masih mengguyur seluruh kota. Mobil terhenti sejenak saat bertemu persimpangan jalan.

"Kay!" Adam memanggil.

Sejak tadi tak lagi ada percakapan di antara kami. Tak ada yang berniat memulainya. Dan jelas, Adam paling tidak bisa hanya diam seperti ini saat dia masih punya topik pembicaraan.

"Kaay! Tidak bisakah kau menjawab panggilanku?"

Aku memiringkan kepala yang sejak tadi bersandar, menatapnya sekilas. "Mobil ini tidak lebih besar ukuran basementmu sampai aku tidak bisa mendengar perkataanmu, Dam. Katakan saja apa yang mau kau katakan. Tidak usah memperumitnya!"

"Telingamu itu terkadang tidak berfunsi dengan baik. Makanya aku harus memastikan, apa kau mendengarku atau tidak?"

Ah, ayolah! Apa kali ini aku harus meladeni tingkah menyebalkannya?

"Kau belum menjawab pertanyaanku tadi, Kay. Apa yang kau lakukan kantor polisi tadi?" Adam bertanya sembari fokus melepas rem dan menekan gasnya perlahan. Mobil kembali berjalan santai menyeberangi persimpangan.

"Menyerahkan diri," sahutku pendek.

"Kay!"

Aku menyenderkan kepalaku pada kaca mobil di sampingku. Tak berniat menjawab apa pun.

"Kay, jangan bercanda!"

"Kenapa kau begitu peduli padaku? Aku tidak akan melakukan hal gila. Lagi pula aku masih bisa kembali pulang. Itu bukan masalah, kan?"

Adam terdiam. Sepertinya dia memikirkan sesuatu yang rumit. "Kau membuat khawatir tau! Tidak ada kabar sejak terakhir kali kita berkumpul dan kau tidak mengangkat telponku sejak kemarin. Aku kira kau akan bunuh diri karena dituduh seseorang."

"Aku tidak sedangkal itu, Dam. Tapi, kau berlebihan khawatir pada orang sepertiku."

"Itu tidak berlebihan, Kay."

***

Kaar_09/14-24

CornerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang