Hening. Tak ada yang menimpali perkataanku kali ini. Sehumor apa pun manusia di hadapanku ini, mereka benar-benar mengerti kapan harus bercanda. Kami semua terdiam dan tenggelam dalam pikiran masing-masing. Tidak ada yang bisa memperkirakan sejauh apa kasus ini berlayar. Tapi, setidakmya mereka tidak akan terseret selagi tidak menyinggung orang yang bersangkutan.
"Tapi ..." Aku harus mengatakannya pada mereka. "Aku rasa sertifikat dan beberapa korban yang selamat bisa membantuku menjelaskan keraguan Ny. Rose padaku."
Kali ini gerak-gerik mereka mulai berubah. Ada yang mengela napas, menggerakkan bahu, atau masih terpaku seperti yang dilakukan Adam. Pria itu masih merunduk dengan menautkan kedua tangan dan tubuh yang dia topang dengan lengan dan pahanya. Dia sedang berpikir keras.
"Apa kau masih menyimpan kontak orang yang pernah kau bantu?" Adam mulai angkat bicara.
Wajahnya terlihat serius. Sayangnya, aku tidak pernah mendapat kabar apa pun dari siapapun juga. Aku tersenyum tipis, menggeleng pelan. Ini akan semakin rumit ke depannya. Akan lebih baik tidak ada yang terlibat lebih jauh dari ini.
"Jangan khawatirkan aku, Mia. Kau hanya harus mengatakan apa yang kau ketahui saat malam kejadian. Kita, sama-sama memberikan kesaksian malam itu, kan? Tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi. Kau cukup menjalankan tugasmu sebagaimana mestinya."
Aku bisa lihat, raut wajah Mia yang tertekan. Mungkin ada hal lain yang berat untuk dia sampaikan. Dia sedikit terkejut saat mengatakan kalimat terakhirku.
"Tapi-"
Aku tersenyum tenang dan mengangguk dalam padanya. Aku tau risiko dari bergerak sendiri. Tetapi, membuat orang lain terlibat? Jelas itu bukan ide yang bagus.
"Apa yang kau rencanakan, Kay?" Adam mengerutkan dahinya, menatap curiga. Aku menyandarkan punggungku pada sandaran sofa. Jujur, aku tidak pandai berpikir terlalu rumit sepertinya. Apa lagi merencanakan sesuatu. Dia berlebihan berpikir, jikalau aku punya rencana terselubung.
"Tidak ada."
Henry meluruskan punggungnya yang sejak tadi membungkuk. "Akan aku cari orang-orang itu. Di mana kau pernah melakukan pelatihan itu?"
"Tidak perlu." Tatapan mereka seketika tertuju kembali padaku. "Orang-orang suruhan Ny. Rose pasti sudah bergerak mencarinya. Sedangkan tempat pelatihanku dulu sudah tutup beberapa tahun lalu. Kepala yayasannya sudah pindah ke Uruguay."
"Setidaknya kita perlu mengetahui sesuatu, bukan?" Henry menawar sanggahanku. Aku menggeleng pelan sebagai balasannya.
Aku tertawa pelan dengan berkata yang dapat memancingnya kesal. "Sepertinya kau juga khawatir aku tertangkap, ya?"
Henry membuang muka. Tidak menyanggah ataupun menimpali perkataanku. Suasananya menjadi sendu saat aku mengatakan pengalamanku sebelumnya. Ternyata, suasana begini terasa tidak nyaman.
Aku bendiri menuju lemari pendingin di samping area dapurku. Sontak hal itu membuat pasang mata itu memperhatikan. Adam menyandarkan tubuhnya sembari memejamkan mata.
"Kau punya anggur?" ujarnya tanpa mengubah posisinya.
"Ya." Aku mengambil beberapa gelas dan dua botol anggur yang ditanyakan Adam. Setidaknya suasananya tidak lagi sesendu tadi.
"Kau bisa minum anggur, Mia?" Aku bertanya sambil melirik Wanita itu.
Dia menggeleng. "Sekarang sedang tidak bisa."
Demi mendengar perkataan Mia, Adam mengangkat wajahnya. "Kenapa?" Pria itu seperti tidak percaya apa yang dikatakan Mia. Apa ada yang salah?
Mia mengelus salah satu pipinya dengan jari telunjuk. Wajahnya tersipu malu. "Aku sedang mengandung. Jadi, libur untuk meminum anggur."
Ha? Perkataan Mia persis membuat aku, Adam dan Henry terpaku. Hey, itulah alasan kenapa wajahnya terlihat letih sekali.
"Benarkah?" Adam terdengar antusias.
"Selamat Ny. Mia. Setelah penantian Anda selama ini, akhirnya berbuah juga." Henry bertepuk tangan riang.
"Kau kira pohon, sampai berbuah," sahutku menimpali ucapan Henry, sembari meletak minuman ke hadapan mereka.
"Kau itu tidak tau apa-apa. Mr. Rez dan Ny. Mia sudah lama menunggu buah hati mereka."
Aku mengacuhkan ucapanya dan meletakkan minuman berbeda di hadapan Mia. "Selamat, Mia. Kenapa kau tidak bilang kalau lelah? Kita bisa mengobrol di Lobi saja tadi."
"Tidak masalah. Aku baik-baik saja."
***
Kepulan debu tipis masih berterbangan dari sisa pembakan bahan bakan mobil milik Pria berkacamata. Henry segera melajukan mobilnya setelah Mia berpamitan. Pria itu bersedia mengantarkan pulang karena Rez tidak bisa menjempunya.
Aku masih menatap lurus kearah kendaraan itu menghilang oleh jarak. Lega? Tidak juga. Aku sendiri tidak mengerti harus melakukan apa sekarang. Cepat atau lambat, aku akan segera dipanggil ke kepolisian. Entah itu menjadi saksi atau menjadi tersangka penghilangan nyawa.
***
Kaar_09/09-24
KAMU SEDANG MEMBACA
Corner
General FictionHari itu, sudah kesekian kalinya Adam membujuk Kay untuk keluar kamar. Akhirnya membuahkan hasil. Tetapi, siapa sangka itu malah membuat Kay terseret sebuah kasus di sebuah simpang jalan. "Kenapa rasanya ada yang janggal, ya?"