Satu-persatu tamu yang mampir, pergi. Tidak banyak yang datang. Mereka semua adalah orang yang aku kenal. Adam, Henry, Mia, Rez, dan dua orang teman satu hobi sebagai pelanggan kafe. Sepetinya, apa yang dikatakan Henry beberapa waktu lalu ada benarnya. Aku tidak begitu mengenal orang karena jarang berinteraksi. Sedangkan mereka singgah setelah melayat ke rumah duka setelah pemakaman Ny. Daisy.
Kini tersisa Adam yang sejak semalam memilih tinggal di sini untuk sementara waktu. Dan, Henry yang masih setia bersama seniornya itu. Aku kembali duduk di kursi tempat aku sebelumnya mendekam.
"Kau sudah mau pulang, Hen?" tanya Adam melihat Henry yang berkemas setelah mereka membersihkan beberapa gelas jamuan tadi.
"Ya, ada urusan yang harus aku selesaikan segera." Adam membantu pria berkacamata itu mengambil tas jinjing yang biasa di bawa Henry.
Aku hanya memperhatikan mereka dari jauh. Tak berselera mengantarnya ke depan seperti yang lain. Adam mengambil alih posisi tuan rumah saat ini dan mengantarkan Henry pergi. Beberapa saat kemudian, aku bisa melihat mobil Henry melaju memecah jalan kota yang tak kunjung terlihat terang dari balik jendela.
"Dia sudah pulang." Adam masuk memberitahu.
Aku segera memutar arah dudukku membelakangi jendela. Ia mengambil kursi yang sebelumnya digunakan Mia, menggesernya sedikit menjauh dariku. Kemudian ikut duduk berhadapan.
"Jadi, apa yang ingin kau ketahui?" Adam menyandarkan tubuhnya mencoba posisi yang nyaman untuk mengobrol. Gestur wajahnya terlihat santai, tapi tatapan fokus padaku.
Aku masih diam. Mencoba memilah kata yang harus aku keluarkan. Aku tidak tau siapa di balik kematian orang-orang ini dan apa hubungannya denganku selain tuduhan kelalaian. Tapi, pria di hadapanku ini mempunyai koneksi yang cukup luas. Aku hanyalah salah satu dari sekian banyak orang di kota ini yang dia kenal.
"Aku tidak tau apa rencanamu, Kay. Tapi, aku yakin. Kau punya spekulasi atas semua kejadian ini, bukan?"
Aku tersenyum miring sembari mengembuskan napas lelah. "Tidak ada yang mengenalku lebih baik darimmu, Da. Sayangnya, aku sebaik dirimu mengenali satu sama lain."
Kali ini, pria bermata biru itu yang mengembuskan napas kasar. "Padahal kau tinggal katakan saja apa yang kau curigai dariku."
Aku menaikkan bahu masih dengan senyum tipis di wajah. Entahlah, melihat responnya cukup untuk aku yakin akan ucapannya. Jelas dia yang paling mengerti mauku.
"Awal aku tau kasus anak itu, saat Rez menghubungi Henry untuk mengumpulkan informasi yang dia minta. Seperti dugaanmu, aku juga menduga kemungkinan keterikutanmu dalam kasus ini. Aku meminta informasi yang Henry untuk Rez padaku juga. Dia menyetujuinya. Selebihnya, seperti yang kau tau." Aku menyimak dengan seksama.
"Bagaimana dengan Henry?" Kepala Adam yang tertunduk, terangkat. Ia menatapku penuh tanya, tapi terlihat berpikir sejenak.
"Aku ingin tahu semua tentangnya," jelasku lagi.
Biodata pria berkacamata itu cukup gelap. Berisi beberapa hal umum seperti nama, sekolah, dan tempat tinggalnya sekarang. Itu terlalu abu-abu untuk seorang pengacara sepertinya. Terlebih tidak ada kasus yang dia menangkan. Itu semakin ganjal.
Adam masih terdiam. Dia terlihat sedang bergulat dengan pikirannya. Melihat Henry yang begitu dekat dengannya. Jelas hubungan mereka bukan sekadar senior dan junior.
Beberapa menit berlalu. Aku tidak memaksa Adam untuk menceritakannya segera. Tapi, aku akan terus menunggu sampai ia dapat memilih alur terbaik untuk menceritakannya. Jika dugaanku benar, bagaimana hubungan kami nantinya? Aku tidak punya bukti valid. Apa pun itu, Aku juga harus mendengar pernyataan Tn. Brive sesegara mungkin.
"Aku tidak tau apa alasannya, tetapi mendiang Tn. Haeven meminta bantuan keluargaku untuk menyembunyikan identitas keluarganya. Ia dengan istrinya hidup terpisah dengan masing-masing membawa seorang anak. Henry adalah anak bungsunya. Biasanya, mereka akan bereuni saat natal tiba. Namun, sejak kematian Tn, Haeven. Henry dan Ibunya tidak lagi pernah bertemu."
"Bagaimana kabar saudaranya?" potongku.
Adam mengela napas sejenak. "Kata Henry, dia tidak lagi mendapat kabar dari kakaknya sejak setahun lalu."
"Di mana Ibu dan kakaknya Henry tinggal?"
"Itu ..." Adam kembali ragu mengatakannya. "London."
Boom! Kedua alisku terangkat mendengar nama negara tersebut. Itu fakta yang menarik. Meskipun tidak ada kepastian di kota mana mereka tinggal, ini sepertinya bukan sebuah kebetulan. Selama ini, kehidupan pribadi Ny. Rose sangat tertutup dan Henry bisa menemukkannya dengan mudah kurang dari kurang dari sehari.
"Boleh aku mengatakan beberapa hal gila?"
Adam menatapku lekat. Aku membalas tatapannya. Dia mengunggu. "Kau boleh tak terima dengan spekulasiku, tapi aku cukup kuat mencurigai pria itu."
Tatapan mata Adam seolah mengartikan sesuatu. Ia masih diam menungguku kembali berbicara. "Seperti yang aku katakana pada Mia. Aku sudah memperhatikan interaksi Ny. Daisy dengen seseorang yang menikamnya kemarin. Gestur dan tinggi badannya persis seperti pria itu. Sehari sebelumya, aku berbincang dengan Ny. Daisy yang sempat mengobrol dengan gadis kecil Bernama Iara. Gadis itu selalu mendapatkan pesan dari ayahnya melalui orang yang sama. Menurutmu siapa orang terdekatku yang punya tujuan ke London?"
Adam bergeming. Ya, ini hanya spekulasi kasarku saja. Apa motif dan tujuannya? Kemungkinan orang terdejatnya yang tau.
"Seperti yang kau dengar sendiri. Ny. Daisy mengatakan untuk hati-hati dengan orang terdekatku. Jelas aku tidak banyak dekat dengan orang lain. Kau tau itu."
Adam mengembuskan napas kasar. Aku bergeser melempar pandangan keluar jendela. Sedikit cahaya senja menyelinap keluar menyorot kota. Sepertinya celahnya sudah mulai terlihat. Entah sudah sekusut apa benang merahnya, aku berhasil mengurainya beberapa.
Pria di hadapannya melakukan hal yang sama denganku. "Celahnya sudah terlihat."
End_
***
Kaar_09/17-24
KAMU SEDANG MEMBACA
Corner
General FictionHari itu, sudah kesekian kalinya Adam membujuk Kay untuk keluar kamar. Akhirnya membuahkan hasil. Tetapi, siapa sangka itu malah membuat Kay terseret sebuah kasus di sebuah simpang jalan. "Kenapa rasanya ada yang janggal, ya?"