Digerebek

1.6K 45 4
                                    

Mendengar lengkingan suara histeris tepat di sebelahnya, Bumi pun sontak gelagapan memaksa diri untuk segera sadar. 

Kepalanya masih berdenyut pusing dan pandangannya berkunang-kunang seperti sedang terjadi gempa di sekitarnya. 

Tetapi Bumi sudah cukup sadar jika dirinya tidak berpakaian dari suhu dingin yang langsung menyergap, memilih bertahan duduk diam di dalam selimut yang menutup setengah bagian bawah tubuhnya sambil terus memegangi kepalanya yang sakit sampai beberapa pria akhirnya mendobrak pintu dan menyerobot kamarnya. 

"Tolong saya ... Saya dipaksa..., tolong saya...." Teriakan Salma berubah jadi tangisan yang amat memilukan, menimbulkan perasaan geram dari wajah-wajah yang kini berdiri di ambang pintu. 

"Kurang aj4r. Kelihatannya saja alim, tapi ternyata berani berbuat hina dengan menodai gadis remaja! Seret dia ke balai warga!"  Seseorang memberikan komando dan gegas diangguki warga lainnya yang segera masuk kamar sembari berusaha menghindari pecahan cangkir yang berserakan di lantai. 

"Tunggu...." Bumi memaksa mulutnya yang masih kelu untuk bicara, tetapi tidak satupun pria di sana memberinya kesempatan membela diri dan memilih main hakim sendiri. 

"Mabok pasti dia. Keliatan dari muka dan suaranya kayak orang teler." 

"Sepertinya begitu." Orang lain mengangguk setuju. 

Sedangkan Sudar yang menyadari pasti apa yang akan dilakukan mereka kepada sang majikan, menyusul masuk dengan gegas untuk memungut sarung yang tergeletak di lantai. 

Lalu dengan cekatan, sebelum orang-orang itu berhasil menyeret turun Bumi dari tempat tidur, Sudar berhasil menyalip mereka guna memasukkan sarung itu secara kasar melewati kepala Bumi agar dia tidak sampai diarak dalam keadaan tel4njang bulat. 

"Ngapain disarungin segala? Biarin aja dia bvgil. Itu hukuman yang pantas untuk predator sepertinya."

"Jangan begitu. Meskipun dia bersalah, tapi kita tetap tidak boleh melanggar norma kemanusiaan untuk menghukumnya." Sudar mengingatkan warga itu dengan berani seolah dia sungguhan bijaksana, padahal hanya tidak ingin berbuat keterlaluan kepada majikannya yang sedang difitnah ini. 

"Tunggu. Ini pasti salah paham. Saya nggak mungkin berbuat sejauh ini. Pak Sudar sudah lama mengenal saya. Tolong dengarkan saya. Saya--"

"Halah, b4c0t! Korbannya jelas ada di depan mata masih juga mau ngelak! Ayo, jalan!" Seorang warga yang sejak tadi menjadi provokator kembali menyela ucapan lemah Bumi, bahkan dia sempat melayangkan bogem mentah ke wajah pria malang itu supaya tak lagi bicara, sebelum kemudian menyeretnya paksa keluar hanya dengan berbalut sarung. 

Salma yang tidak ikutan digelandang lantaran dianggap sebagai korban, kini dikerumuni oleh beberapa wanita yang tadinya juga hendak berangkat ke masjid. Dan semua kompak menatapnya dengan prihatin. 

"Innalillahi, sampai sebanyak ini darahnya? Bukankah kita harus panggil bidan sekarang?"

Panik mendengar ide salah satu wanita itu, Salma menggeleng keras di sela tangis sambil mengetatkan cengkeraman pada selimutnya agar tak ada yang melihat sebagian kecil pun dari tubuh polosnya.

"Kenapa kamu menggeleng, Nduk? Ini demi kebaikan kamu juga. Sekalian kalau ada bukti dari penjelasan Bidan, kan, Bumi juga bisa langsung diadili."

Paham jika Salma akan langsung ketahuan jika tak dibantu, Sudar yang tadinya hendak mengikuti bapak-bapak yang lebih dulu menyeret Bumi keluar, langsung kembali mendekat dan menyela saran ibu-ibu itu.

"Sebaiknya kita tunggu majikanku pulang saja. Kita jangan gegabah."

"Tapi lihat kondisinya. Dia pendarahan. Kalau nggak segera ditolong, bisa-bisa dia pingsan kehabisan darah!"

"Majikanku sudah dekat dari rumah. Menunggu beberapa saat lagi nggak akan ada masalah. Siapa tahu, nanti Salma juga langsung dibawa ke rumah sakit sama mereka." Sudar bersikeras dan untungnya, wanita di sana tak lagi ngeyel karena hampir bersamaan dengan Sudar menutup mulut, mereka semua mendengar suara teriakan dari lantai bawah. 

Suara jeritan itu menyaingi lantangnya kumandang azan magrib yang mulai bersahutan di berbagai penjuru.

"Ada apa ini? Kenapa banyak orang di depan dan pintu dibiarkan terbuka semua?!" Itu jelas suara Sri yang panik saat menaiki tangga.

"Bumi, Salma, Sudar, kalian nggak pa-pa, kan?!" Wanita itu memanggil khawatir karena menduga salah satu dari mereka mengalami kecelakaan di rumahnya. 

"Bumi tertangkap basah menodai seorang gadis di kamarnya, Bu sri." Salah satu wanita berlari keluar kamar untuk menginfokan kepada Sri yang masih ngos-ngosan sesampainya di lantai dua.

"Bumi anakku? Me-menodai katamu? Siapa?!"

"Iya. Sekarang Bumi diarak ke balai warga. Itu, korbannya masih ada di kamar."

"Iya, to?!" Sri meremat dada dan menahan napas begitu masuk ke dalam kamar dan melihat kondisi Salma yang masih berantakan di atas tempat tidur anaknya. "Salma? Dia gadisnya?" 

"Iya, Bu Sri." Tetangga itu kembali membenarkan. 

Sri pun seketika memaksa kedua kaki rapuhnya untuk kembali berjalan menyongsong Salma yang masih menangis sesenggukan. 

Melihat bercak darah yang ada di atas seprai, hati Sri serasa teriris sembilu tajam. Apalagi jika mengingat pelakunya adalah anak sulungnya sendiri yang ia percaya tidak akan pernah berbuat macam-macam. 

"Duh, Gusti. Bumi nggak mungkin melakukan perbuatan kotor itu, kan? Nggak kan, Salma?" Walaupun sudah tahu pasti apa jawabannya, Sri tetap coba meyakinkan dirinya sendiri dengan menanyakan hal tersebut.

Yang tentu saja tidak pernah dijawab tegas oleh Salma. Sebab gadis itu hanya bisa menangis semakin kejer. Menyesali perbuatannya saat melihat wanita baik hati itu mendekatinya sembari berlinangan air mata penuh kecewa dan juga tidak percaya.

"Ya Allah, Nak! Kok bisa kayak gini kejadiannya? Hoalah anakku lanang (anak lelakiku), kenapa bisa berbuat begini sama kamu, Salma?" Sri merengkuh tubuh Salma yang terlihat tak berdaya dan memeluknya penuh penyesalan.

"Cup ya, Nak. Ibu janji akan bertanggung jawab untuk semuanya. Ayo, kita ke rumah sakit dulu. Kita harus rawat kamu dulu sebelum bicarakan apa pun. Bintang, ke sini kamu Bintang!"

Yang dipanggil segera muncul. Memperlihatkan ekspresi bingung dan penuh sesal di hadapan semua orang. Padahal dalam hatinya dia bersorak riang. 

"Ya, Buk?"

"Bantu Ibu gendong Salma ke mobil. Kita bawa ke rumah sakit sekarang. Lihat, kondisinya sudah lemas kayak gini."

"Biar Bintang sama Bulan saja yang bawa Salma ke rumah sakit. Ibu nemenin Ayah ke Balai Warga ngurus Mas Bumi."

Usulan Bintang disetujui Sri tanpa debat. 

Warga yang tersisa akhirnya bubar dan gegas ke masjid saat mendengar suara iqamah. Sementara Sri dibonceng Sudar menyusul Tirto yang sudah lebih dulu berangkat ke balai warga semenjak turun dari mobil lalu.

Dan Bulan yang tadinya belum paham soal permainan kakaknya dan sempat sangat panik juga terpukul, begitu sampai di area tengah perkebunan yang sepi dalam perjalanan menuju rumah sakit, malah dibuat keheranan atas sikap Bintang yang mendadak menghentikan mobilnya dan terbahak-bahak.

*

Terlalu Besar Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang