"Yang penting dia mau."
Kalimat pendek itu terus terngiang di kepala Bintang saat dirinya pergi bekerja.
Sebagai seorang mandor yang bertugas untuk mengawasi pekerjaan para buruh di kebun teh sang kakak, hari-hari bekerjanya lebih banyak dihabiskan untuk duduk santai di pinggir kebun sementara para buruh pemetik sedang sibuk di bawah sana.
Di saat itulah, Bintang tidak berhenti memikirkan obrolannya bersama sang ayah kemarin malam.
Dan yang paling mengusiknya hingga saat ini, tentu saja kalimat sang ayah yang berbunyi, "Yang penting dia mau."
Siapa pun wanitanya, asalkan dia mau menerima Bumi, Tirto mengklaim jika dia dan sang istri akan menyetujuinya.
Caranya pun bebas. Tirto tidak peduli walau pun nanti Bintang harus menggunakan cara-cara licik dan kotor, selama itu bisa membuat Bumi mau menikah, dia berjanji akan pasrah.
Masalahnya, kabar soal "terlalu besar" ini sudah tersebar dan didengar oleh bayak orang di sekitar tempat tinggal mereka. Sehingga tak jarang, sebelum bertemu dengan Bumi pun para wanita sudah menolak duluan.
Entah karena cerita yang dilebih-lebihkan oleh para mantan istri Bumi atau kenyataannya memang seperti itu. Bintang tak tahu pastinya karena dia sendiri belum pernah melihat 'ukuran' kakaknya secara langsung.
Saat Bintang lahir dulu, usia Bumi sudah tujuh tahun dan sudah dikhitan.
Mereka tidak pernah menjalani momen mandi bersama seperti hubungan kakak adik lainnya di masa kecil. Sebab ketika Bintang beranjak tumbuh, kakaknya itu sudah jadi remaja yang giat bekerja di sela-sela kesibukan sekolah. Serta tidak lagi pernah menemaninya bermain kecuali hanya sesekali saja di akhir pekan saat Bumi libur.
"Mas Bin, ada yang datang minta pekerjaan ini. Katanya butuh uang cepat!" Saat suara pria lain menyapa telinga, lamunan Bintang buyar seketika.
Pemuda jangkung berperawakan tegap dan berkulit kuning serta punya hidung mancung itu menoleh asal suara.
Melihat pada salah satu pegawai angkut yang kini tengah berdiri menghadap ditemani seorang gadis muda--tampak masih di bawah dua puluhan, yang terlihat seperti sedang habis menangis dan banyak menundukkan kepala.
"Kayaknya masih usia sekolah? Emangnya kamu nggak sekolah?" Bintang bertanya kepada si gadis yang berdiri di belakang pegawainya.
Dan ketika sosoknya hanya diam, si buruh angkut bernama Kasno segera menoel lengannya agar bicara.
"Sudah aku bantu ngomong. Sekarang kamu lanjut ngomong sendiri aja. Aku harus balik kerja soalnya." Kasno bertutur sebelum mengangguk sopan kepada Bintang lalu pergi.
Setelah ditinggal berdua bersama Bintang, gadis yang tadinya masih sesekali menunduk itu memberanikan diri untuk menatap lelaki yang katanya mandor itu.
"Saya putus sekolah dari setahun lalu karena nggak punya biaya buat ikut ujian akhir." Akhirnya si gadis menjawab.
"Nama dan usia?" Bintang diam-diam mengamati.
Diperhatikannya si gadis dari ujung kaki sampai kepala.
Dalam kacamatanya, dia lumayan cantik andai saja penampilannya dimodalin sedikit.
"Salma Arunika. Usia delapan belas tahun."
Bintang tersenyum.
Merasa lucu melihat gadis itu terus saja mengerutkan kedua jemari kakinya yang teralasi sandal japit usang, seperti ketakutan sekali hanya untuk menjawab pertanyaannya.
"Sudah pamit sama orang tua kamu kalau mau bekerja di sini?"
Salma menggeleng lemah. "Saya ikut sama bude. Orangnya cuma mau saya cari kerja, jadi ke mana saja nggak masalah asalkan saya bisa kerja dan gantiin biaya hidup yang selama ini sudah dikeluarkan untuk menopang hidup saya."
"Memangnya, orang tua kamu ke mana?"
"Bercerai saat saya masih sepuluh tahun, lalu keduanya meninggalkan saya tanpa pernah mengirimkan kabar ataupun uang sampai sekarang. Saya ... nggak tahu mereka ada di mana. Tolong ya, Pak, kasih saya pekerjaan agar nanti bisa kembali pulang ke rumah bude. Soalnya saya nggak boleh pulang kalau nggak dapat kerja dan bawa uang. Saya nggak punya tempat tujuan lain selain rumah bude."
Bintang mengembuskan napas kasar saat gadis itu bicara sembari mulai menangis.
Pastilah tadi Salma habis diomeli di rumah, maka dari itu setibanya di sini dia seperti baru selesai menangis. Dan sekarang dia kembali menangis.
"Kasih saya pekerjaan apa saja, Pak...." hiba Salma di sela isakan.
Menggoyahkan hati Bintang yang memang mudah terenyuh seperti kakaknya.
Dia gampang mengasihani meskipun di luar terlihat cuek dan kadang dinilai angkuh.
Sayang sekali, saat ini, Bintang benar-benar tidak membutuhkan tambahan buruh pemetik teh.
Memberi Salma pekerjaan di kebun karet pun rasanya tidak mungkin, sebab hanya ada para lelaki tua dan tahan banting di sana.
Kalau di kebun buah, pasti butuh banyak waktu untuk mengajarinya memilah buah antara yang bisa dikirim ke pabrik dan supermarket, atau didistribusikan ke tengkulak pasar tradisional. Dan belum tentu dia bisa diterima karena Bumi sangat selektif untuk memilih pegawai di kebun buahnya.
Ditambah saat tidak ada lowongan dibuka begini, maka di sana juga tidak menyediakan pengajar untuk masa training.
Itu berarti, tidak akan ada yang membantunya belajar dari nol. Dan pekerja lain biasanya ogah-ogahan kalau diminta mengajari pegawai baru yang masuk jalur orang dalam begini.
Bisa-bisa, Salma malah dibully.
Lama terdiam berpikir, tiba-tiba saja Bintang teringat soal kata-kata ayahnya semalam.
Yang penting dia mau....
Lantas dengan ragu, Bintang pun kembali memandangi Salma yang masih berdiri di hadapannya dengan penuh harap.
Apa dia akan menjebak gadis malang ini demi bisa segera membuat kakaknya menikah?
Bintang dilema. Menghela napas panjang sekali lagi.
"Sayangnya, kami sedang tidak membutuhkan tambahan pegawai." Akhirnya dia menjawab lemah.
Dan itu menjadikan tangisan Salma spontan kian keras. Membuat Bintang kebingungan dan menoleh sana-sini khawatir kalau ada yang melihat malah jadi salah paham.
"Eh, eh, nggak usah kenceng-kenceng nangisnya. Nanti kalau di denger orang-orang itu, dikira aku ngapa-ngapain kamu."
"Habisnya kalau nggak dapat kerjaan hari ini, saya nggak bisa pulang, Pak. Jadi saya harus gimana? Saya sudah nanya sana-sini tapi nggak ada yang mau menerima saya kalau nggak punya ijazah SMA."
"Ada sih, ada." Bintang akhirnya nekat juga menyampaikan niat yang sejak tadi masih sibuk dia pertimbangkan. "Kalau kamu mau, kamu bisa bekerja di rumah kami."
Tanpa menunggu diberitahu apa pekerjaannya, Salma lebih dulu mengangguk-angguk antusias dan menyeka air matanya.
"Saya mau. Saya bisa masak, nyuci, ngepel. Pokoknya semua pekerjaan rumah tangga, saya bisa lakukan karena sudah terbiasa mengerjakan itu di rumah bude. Saya mau jadi pembantu."
Bintang kembali tersenyum geli.
Berpikir kalau Salma menggemaskan dan Bumi pasti suka pada kepolosannya.
"Bukan jadi pembantu, sih. Tapi jadi istri Masku. Mau?"
*
KAMU SEDANG MEMBACA
Terlalu Besar
RomansaBumi Reksadipati telah menduda tiga kali di usianya yang ketiga puluh lima tahun. Semua istrinya kabur melarikan diri tepat sehari setelah pernikahannya. Dengan alasan, "terlalu besar". Akankah drama mengerikan itu kembali terjadi di pernikahan Bumi...