Eksekusi

1.4K 53 3
                                    

"Demi apa, Pak? Bapak sungguh mau sekolahin saya?" Salma memastikan pendengarnya masih berfungsi dengan baik sekalipun tadi dia banyak melamun dan gelisah.

"Hm..., tentu saja." Bumi mengangguk lalu menyerahkan cangkir kopinya yang telah kosong kepada Salma yang masih terbengong-bengong di sampingnya. "Aku nggak punya anak dan sepertinya juga nggak akan pernah punya anak. Kalau ada anak-anak atau remaja yang antusias ingin sekolah, aku akan senang jika bisa membantu mereka."

"I-iya, Pak." Rasanya Salma sudah tidak punya tenaga. Tak tahu harus mengatakan apa.

Dalam pikirannya sekarang, Salma hanya bisa mempertanyakan, bagaimana dia bisa merencanakan hal keji kepada pria sebaik Bumi?

Lalu jika nanti semua terjadi seperti yang sudah dia rencanakan bersama Bintang, apakah Bumi bisa memaafkannya?

"Terima kasih kopinya, Salma." Suara renyah serta kebapakan itu kembali menyapa di tengah kemelut batin Salma.

Bumi bangkit dan untuk pertama kalinya semenjak mereka bertemu, dia memberikan senyuman ramah namun tetap sopan kepada pelayan barunya itu.

"Silakan lanjutkan sekolahnya dan jangan pikirkan soal biaya. Aku akan jadi orang tua asuh kamu mulai sekarang." Bumi mengulang kalimatnya seakan ingin mempertegas niat baiknya. "Kamu boleh pulang ke rumah kamu atau tinggal di sini, pilih senyaman kamu. Selain itu, kamu juga bebas pilih sekolah mana pun yang kamu inginkan. Tinggal kabari kalau sudah menemukan di mana kamu ingin mendaftar. Sekarang, aku permisi dulu."

Salma tak lagi mampu bereaksi. Menatap nanar ke arah taman belakang rumah itu sembari meremat cangkir kosong di tangan usai Bumi melewati tubuhnya pergi.

Salma berharap, dia bisa mengulang waktu dan tidak pernah menuangkan obat pemberian Bintang ke minuman Bumi.

Akan tetapi, jelas saja itu mustahil.

Bahkan berselang beberapa langkah dari tempat mereka mengobrol, Bumi tiba-tiba sudah sempoyongan sembari memegangi kepala sebelum akhirnya jatuh tersungkur di depan anak tangga.

"Salma, bisa tolong bantu saya naik dan teleponkan dokter?" Suara Bumi terdengar bergemetar.

Salma menoleh dan sempat melihat bagaimana pria itu berusaha meraih apa pun di depannya bahkan meminta tolong padanya.

"Salma...." Bumi yang kini wajahnya memerah padam tampak sangat tidak berdaya dan putus asa.

Sementara Salma masih tetap mengabaikannya dengan berdiam di tempat.

Bagaimana pun, Salma tidak boleh menolongnya sekalipun ingin. Karena memang inilah tujuannya memasukkan obat ke minuman Bumi.

"Maafkan saya, Pak." Salma menunduk tak lagi ingin menyaksikan bagaimana Bumi berjuang untuk tetap sadar.

Dan hanya butuh waktu beberapa detik saja, Bumi yang telah sampai pada titik ujung perjuangannya pun tergolek tak sadarkan diri di lantai keramik.

Mengetahui hal itu, Salma yang ketakutan hanya mampu mematung tanpa berani mendekat.

Gadis itu sungguh menyesali keb0d0hannya.

Melihat Bumi terkapar pingsan akibat perbuatannya, hatinya berdebar tidak keruan dan pandangannya ikutan kabur oleh genangan air mata.

"He, malah bengong kamu. Buruan naik!" Sudar yang lebih gercep tanpa harus dikode dan kini sudah berada di ruangan yang sama, langsung menegur Salma yang masih mematung saja di tempatnya semula.

Tukang kebun itu bertugas untuk memapah tubuh Bumi ke lantai dua, ke kamarnya. Dan membantu melucuti seluruh pakaian Bumi usai dibaringkannya ke tempat tidur.

Terlalu Besar Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang