Pingsan

1.2K 53 1
                                    

Dalam semalam, tekat Salma kembali menjadi bulat utuh.

Salma bangun penuh semangat saat subuh, menyiapkan sarapan untuk keluarga budenya tanpa ingat mengisi perutnya sendiri, lalu datang ke rumah Bintang yang letaknya di ujung perkebunan teh pada pagi pukul tujuh.

Semua orang di rumah itu masih menikmati sarapan pada jam kedatangan Salma.

Dan Bintang sebagai orang yang telah mengundangnya secara pribadi, dengan begitu antusias, langsung menggandeng Salma akrab masuk ke ruang makan tempat keluarganya berkumpul untuk diperkenalkan.

"Nah, ini dia pelayan baru yang aku omongin kemarin." Lelaki yang biasanya uring-uringan itu mendadak bersikap ceria.

Menarik atensi semua pasang mata untuk tertuju ke arah Salma dan menjeda kesibukannya mengunyah makanan.

"Dia akan mulai bekerja di rumah kita hari ini."

Gadis yang diperkenalkan itu kemudian mengangguk sipu sembari tersenyum hangat, berusaha untuk tetap tenang meskipun hatinya bergemuruh gugup dan juga sungkan.

Apalagi, saat tatapan Salma tertuju kepada seorang pria tampan penuh wibawa yang duduk di sebelah kepala keluarga.

Pria itu Salma yakini sebagai Bumi meskipun belum diperkenalkan dengannya secara resmi. Sebab kemarin, Bintang mengatakan jika dia punya satu kakak lelaki dan satu adik perempuan. Yang mana si kakak lelaki inilah yang ingin disodorkan kepada Salma.

"Selamat pagi, saya Salma. Maaf kalau saya mengganggu waktu sarapannya. Saya datang pagi-pagi karena kemarin Pak Bintang meminta saya datang pagi sekali supaya bisa langsung bekerja." Salma memperkenalkan diri sopan kemudian menunduk.

Entah mengapa jantungnya semakin bertalu tak menentu sejak dirinya bertemu pandang dengan Bumi. Padahal pria itu sama sekali tidak tersenyum atau menunjukkan kesan ramah selayaknya Bintang.

Tetapi justru dari sikap penuh wibawanya itulah, Salma jadi tersipu malu tidak jelas.

"Hoalah. Nggak pa-pa. Sini, ikut kita sarapan sekalian. Kamu pasti belum sarapan, kan, kalau berangkatnya sepagi ini?" Sri Darmi, ibu negara di rumah itu, menyambut hangat salam Salma dan menyeret kursi kosong di sebelahnya supaya bisa Salma tempati.

"Ah, nggak usah, Bu. Nanti saya makan di dapur saja." Salma kembali berbicara sopan. 

Dalam hati sedikit merasa terharu dengan keramahan sesederhana itu, lantaran di rumah, dia malah tidak pernah diterima dengan baik oleh budenya sendiri kendati semenjak kecil mereka hidup bersama sebagai keluarga.

"Kenapa harus makan di dapur? Sini aja sekalian bareng-bareng lebih enak. Ajak sini, Bin! Masih malu-malu dia." Sri memberikan perintah kepada Bintang, yang tentu saja langsung direspon anak tengahnya itu dengan menuntun Salma duduk di sebelahnya.

Selama makan, Salma terus diajak ngobrol oleh semua orang di meja makan itu untuk saling mengenal dan mengakrabkan diri, kecuali Bumi yang semenjak tadi lebih banyak menunduk dan fokus dengan makanannya.

Dilihat sekilas, pria itu sepertinya tipikal serius, tegas, dan tidak suka bergurau.

Terbukti sampai akhirnya Bumi pamit berangkat bekerja. Dia hanya mengangguk sopan dengan sekilas sebelum masuk ke dalam mobilnya dan melaju pergi. Sama sekali tidak mengajak Salma untuk bicara walau sekadar basa-basi.

Tak lama berselang, Bintang gegas menghampiri Salma ke dapur sambil membawa botol bekas air mineral berisi cairan entah apa, berwarna merah merona yang mengingatkan Salma pada warna d4rah segar.

"Ini, jangan lupa nanti tuang semua ke tempat tidur." Bintang berbisik sambil celingukan. Memastikan tidak ada anggota keluarga yang melihatnya ngobrol diam-diam bersama Salma.

Terlalu Besar Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang