Terlalu Besar

2K 75 2
                                    

Selamat datang di cerita baru saya. Tinggalkan banyak cinta. Terima kasih banyak ❤️

_________________

Bumi Reksadipati sudah menduda tiga kali di usia tiga puluh lima tahun. 

Padahal dia tampan, mapan, dan juga sopan.

Semua wanita yang pernah diperistrinya kabur dan meminta cerai setelah sehari menikahinya.

Alasannya cukup menggelitik. Sedikit erotik. Namun sekaligus membuat penasaran siapa saja untuk mengulik.

"Terlalu besar!" adalah jawaban yang diberikan setiap mantan-mantan istrinya setiap kali ditanya hakim terkait alasan mengapa mereka ingin bercerai. 

"Aku nggak mau mati konyol hanya karena bercint4." Mantan istri pertamanya menyeru mentah-mentah saat Bumi memohon agar dia tetap menjadi istrinya. 

"Menikah saja sama kuda!" Mantan istri keduanya jauh lebih sadis. 

"Jangan pernah menikah lagi kalau kamu nggak mau membvnuh siapa pun!" Dan yang paling-paling-paling mengoyak hati, tentunya wanita yang lima tahun lalu meninggalkannya, mantan istri ketiga yang Bumi cinta dengan segenap jiwa dan juga raga. 

Semua kata-kata dari para mantan itu tak pelak meninggalkan rasa trauma, membuat Bumi tak lagi tertarik dengan yang namanya ikatan suci pernikahan. 

Sekarang, Bumi sudah menerima takdirnya sebagai lelaki duda setengah perjaka yang tidak akan kembali berumah tangga. 

Jangan bingung mengapa Bumi sampai disebut duda setengah perjaka. 

Malam pertamanya tidak pernah berhasil.

Semua berhenti di tengah jalan karena tidak satu pun dari istrinya kuat diajak bercocok tanam, jadi Bumi sendiri bingung sebenarnya dia duda bekas atau masih perjaka. 

Yang pasti, Bumi tidak sekalipun merasakan surga dunia selama tiga kali menikah. 

Sebaliknya, Bumi cukup ahli dalam mengelola kebun-kebunnya. 

Dalam artian secara harfiah, Bumi sukses menjadi pemilik aneka perkebunan; dari karet, teh, kopi, dan juga buah-buahan. Sekaligus menjadi tulang punggung seluruh keluarga di rumahnya. 

Dia lihai dalam urusan bajak membajak tanah, tetapi sayang, dia selalu gagal sebelum memulai saat ingin membajak wanita demi melanjutkan garis keturunannya. 

Bumi sudah menerima nasibnya.

Dia tidak mau menjadi serakah dengan memaksakan jalur takdir untuk menjadi kaya raya sekaligus bahagia dalam berumah tangga. 

Namun sang ayah, Tirto Duaji, punya jalan pikiran yang berbeda dari anak pertamanya itu. 

Dalam kamus Tirto, semua anaknya wajib menikah dan memberinya keturunan. 

Setelah tidak lagi membantu pekerjaan di perkebunan semenjak dua tahun lalu, Tirto menjadi orang paling rajin dalam urusan mencarikan jodoh untuk sulungnya yang kapok menikah itu. 

Berkali-kali pun Bumi selalu menolak gadis-gadis pilihannya, tekat Tirto sama sekali tidak pernah surut untuk terus berusaha. 

Apalagi sekarang, Bintang si tengah dan Bulan si bungsu semakin tak henti merengek agar mereka segera dinikahkan dengan pujaan hatinya masing-masing.

Gara-Gara Bumi tak kunjung kembali beristri, proposal mereka untuk menikah pun tak pernah disetujui oleh Tirto si penganut rezim 'yang tua harus duluan berumah tangga' itu. 

"Jodoh Masmu itu masih alot kayak jamur lot ini." Tirto menjawab sambil menggigit jamur lot yang digoreng krispi dan sejak tadi tak bisa putus meski sudah digig!t dan ditarik ke sana sini menggunakan gigi palsunya. "Kalau kalian nekat nyalib, nanti malah makin alot. Pamali. Memangnya, kalau dia sampai melajang seumur hidup, kalian mau ngurus dia kalau nanti sudah tua?" 

Mendengar jawaban serupa yang lalu-lalu, Bintang dan Bulan saling berpandangan dengan raut kembali sebal. 

"Kalau pernikahan Mas Bumi nggak pernah mujur, itu bukan kesalahan kami. Sampai sekarang Mas Bumi masih menduda, itu juga bukan tanggung jawab kami. Mas Bumi sendiri yang nggak mau nikah lagi, masa kami harus ikutan nggak nikah?" Bintang duluan memberikan argumen. 

Sebagai lelaki berusia dua puluh delapan tahun yang lama menanti untuk bisa segera meminang gadis pujaannya, tentu dia sudah bosan dengan penolakan sang ayah setiap kali dirinya kembali mengungkit soal pernikahan. 

"Betul itu. Apalagi Bulan ini cewek." Si bungsu menimpali. "Bulan sudah sering dibilang perawan tua oleh beberapa saudara kita. Risih, Yah. Mas Danu juga sudah kepengen banget menikahi Bulan. Sekarang Bulan sudah dua puluh enam tahun. Semakin nunda nikah, nanti Bulan semakin repot kalau pengen hamil dan nambah momongan."

"Sabar...." Tirto tetap tak tergoyahkan. "Kalau mereka benar-benar jodoh kalian, pasti akan mengerti dan mau bersabar menunggu." 

"Kalau Ayah suruh kami sabar terus, beneran kita bertiga akan melajang semua." Bintang merespon bersungut-sungut. "Dewi sudah ngasih peringatan ke Bintang. Kalau Bintang nggak melamar Dewi tahun ini juga, dia mau cari cowok lainnya. Memangnya Ayah mau, kami semua nggak nikah cuma karena nungguin Mas Bumi?" 

"Lha kalau dia mau cari cowok lainnya, ya biarin saja. Kan kamu juga bisa cari cewek lainnya. Di dunia ini wanita bukan Dewi saja, Bintang."

"Ayah bisa bilang gitu karena nggak ngerasain jatuh cinta. Bintang nggak mau nikah kalau nggak sama Dewi."

"Bulan juga mau minggat kalau Ayah nggak ngizinin Mas Danu ngelamar Bulan secepatnya." Bulan lagi-lagi mengikuti ancaman kakaknya. 

Begitu gaduh suasana di meja makan malam itu, ketiganya sampai tak sadar kalau sedari tadi si sumber masalah sudah berdiri di ruangan yang sama. 

Bumi yang baru pulang bekerja. 

Terpaksa harus mendengar semua keributan itu di saat dirinya sebenarnya sudah lelah dan berharap bisa istirahat dengan tenang malam ini. 

"Menikahlah kalau kalian ingin dan sudah siap menikah. Nggak usah nungguin Mas duluan. Karena Mas nggak akan menikah lagi." Bumi menyela tanpa mendekat. 

Wajah lelahnya terlihat datar. Namun siapa pun di ruang makan itu bisa melihat tatap sedih dari matanya yang berwarna kecokelatan. 

Tanpa menunggu respons ketiga manusia yang kini malah membatu antara syok dan tak enak hati di kejauhan sana, Bumi lantas menaiki tangga menuju kamarnya di lantai atas. Kemudian mengunci pintu agar siapa pun tidak ada yang datang menyusup ke dalam. Walau mungkin sekadar untuk meminta maaf karena sudah menjadikannya bahan gibahan. 

"Kalian lihat wajahnya tadi?" Tirto bangkit dan menatap kedua anaknya yang tersisa dengan raut kecewa. 

"Bumi pasti mendengar semuanya. Harusnya kalian nggak perlu marah-marah kayak tadi. Coba bayangkan, gimana kalau kalian di posisinya dan mendengar omongan kalian tadi?!"

"Ayah nggak adil sama kami. Harusnya Ayah juga memikirkan perasaan kami, bukan Mas Bumi saja. Karena kami ini juga anak Ayah!" Bulan menyusul bangkit lalu bergegas menuju kamarnya sendiri. Mengakhiri perdebatan yang dia yakini tidak pernah bisa dimenangkan. 

Sementara itu, Bintang yang juga berniat menyusul pergi ke kamarnya, tak bisa semujur Bulan karena dia lebih dulu dihadang oleh Tirto sembari merentangkan kedua tangan. 

"Buat Kakakmu menikah. Itu syarat dari Ayah kalau kamu ingin lekas bisa menikahi Dewi." Pria enam puluh lima tahun itu menghimbau--yang lebih terdengar sebagai perintah egois. Membuat Bintang menghela napas panjang kian jengkel dan frustrasi saja. 

"Mas Bumi nggak mau nikah lagi, Yah. Ayah tadi juga denger sendiri, kan? Mau kita jodohkan sama siapa pun juga, dia nggak bakal mau."

"Kalau dengan cara jalur kanan nggak bisa membuatnya menikah, kita masih bisa menggunakan jalur kiri." 

"Maksud Ayah apa?"

"Jangan bilang-bilang ibumu atau pun Bulan. Mari, kita bahas ini berdua sebagai sesama pria dewasa." Tirto menyeringai lebar dan mencurigakan. 

Kemudian merangkul Bintang dan menyeretnya berjalan keluar tanpa menunggu tanggapan anak keduanya itu. 

*




 












Terlalu Besar Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang