Karena terlalu banyak melamun dan berandai tentang sesuatu yang belum terjadi, Salma sampai terkaget saat Bulan menepuk pelan pundaknya untuk memberi tahu jika mereka telah sampai di Balai Warga.
"Ayo, turun. Aku akan bantu gandeng kamu buat jalan." Bulan tersenyum hangat.
Sampai-sampai Salma bingung sendiri, sebenarnya Bulan ini baik atau jahat karena dia sangat tidak terduga.
"I-iya, Mbak."
Salma mengikuti Bulan yang lebih dulu turun dan menerima uluran tangannya untuk dipegang sepanjang jalan.
Sekalipun sebenarnya fisik Salma baik-baik saja, tetapi tidak memungkiri, dia memang butuh seseorang untuk menuntunnya karena sekarang dia tengah gemetar ketakutan melihat kerumunan warga di pendopo.
Beberapa warga itu sebagian adalah orang-orang yang tadi menggerebeknya. Lalu sisanya para jamaah masjid yang ikutan datang usai mendengar kabar dari mulut ke mulut.
Ingin menyaksikan jalannya sidang desa atas tersangka Bumi yang kini menunduk lesu dalam balutan sarung yang dipakainya meninggalkan rumah dan kaos lengan pendek—yang dipinjamkan salah satu warga—di tengah kerumunan.
Tirto dan Sri sebagai orang tua tersangka duduk di sebelah Pak Kades.
Dan ketika akhirnya Salma tiba, salah seorang Sekdes buru-buru mengambilkan kursi plastik untuk diletakkan di sebelah posisi Bumi diadili. Agar mereka bisa memberikan keterangan secara transparan.
"Nah, karena pihak korban sudah datang, dan orang tua Pak Bumi menginginkan kita memusyawarahkan perkara ini terlebih dulu sebelum memutuskan tindakan selanjutnya, maka sekarang saya persilakan kepada Dek Salma untuk menceritakan kronologis kejadiannya dengan sebenar-benarnya, tanpa ditambah-tambahi atau kurangi. Silakan." Kepala desa berbicara lantang sembari berdiri di posisinya.
Sengaja dalam sidang itu tidak menggunakan microphone agar tidak memicu kegaduhan di tengah desa.
Dan segera, Salma mengangguk lemah sebelum mulai bercerita.
"Hari ini, saya baru mulai bekerja di rumah Pak Tirto atas tawaran dari Pak Bintang. Saya akan bekerja sebagai buruh bersih-bersih rumah dan tukang cuci di sana. Tapi karena hari ini pelayan yang biasanya membuat kopi sedang libur, pada sore saat jadwal Pak Bumi minum kopi, saya diminta untuk membuatkannya kopi dan diminta mengantarnya ke kamar atas."
"Itu bohong!" Bumi langsung menyela dan menatap Salma kecewa. "Kenapa kamu berbohong, Salma? Kita berdua tahu pasti, aku meminum kopi itu di teras belakang dan tidak pernah meminta kamu naik ke kamarku!"
Air mata Salma kembali berjatuhan disertai isakan. Membuat para saksi berasumi Salma sedang tertekan dan mulai menyoraki Bumi lagi dengan olok-olokan kasar.
Sehingga Kepala desa harus kembali berdiri untuk menengahi.
"Pak Bumi, tolong tahan diri. Tadi Bapak sudah diberikan waktu untuk menjelaskan sesuai versi Bapak. Jadi sekarang biarkan korban menjelaskan sesuai versinya. Mohon jangan menyela lagi dan menyudutkan Dek Salma." Kepala desa kemudian ganti menatap Salma. "Silakan dilanjutkan, Dek Salma."
Tanpa pernah sekalipun melirik pada Bumi yang duduk berjarak hanya dua meter di sebelahnya, Salma mengangguk dan kembali melanjutkan, "Setelah meminum kopi itu sampai habis, Pak Bumi menyerahkan gelas kopinya untuk saya bawa turun. Tapi tiba-tiba, dia memeluk saya dari belakang saat saya hendak keluar. Saya yang kaget pun refleks menjatuhkan cangkir itu dan pecah.
"Saya berusaha melawan agar terbebas dari pelukannya, tapi Pak Bumi malah semakin kasar. Pakaian saya dokoyak, saya dipukul dan dibekap sambil didorong ke tempat tidur. Lalu saya—"
"Demi Allah, itu semua fitnah!" Bumi kembali menyela dengan suara bergemetar menahan kecewa bercampur marah. Bahkan saking tidak percayanya Salma akan tega menuduhnya demikian, Bumi sampai bangkit dari duduknya dan menghampiri Salma.
"Apa motif kamu sebenarnya? Kenapa kamu melakukan ini kepadaku, Salma? Lihat mataku dan jawab pertanyaanku!"
"Pak Bumi, tolong kembali duduk atau musyawarah ini akan berakhir di kantor polisi?" Kepala desa kembali harus menyeru tegas sembari memberi kode kepada dua hansip agar meringkus Bumi dan memaksanya duduk di tempat semula.
"Saya tidak pernah melakukan tindakan seperti yang dituduhkan! Saya bahkan tidak tahu kenapa saya bisa berada di kamar bersama Salma dan dalam kondisi seperti tadi. Saya benar-benar sudah difitnah!"
"Ada salah satu warga yang menemukan botol miras kosong di dekat pintu kamar Pak Bumi. Dan saat digerebek, Bapak kelihatan masih teler. Sepertinya Bapak mabuk jadi tidak bisa mengingat semuanya secara jernih." Kepala desa mengangkat botol miras kosong yang dimaksud ke hadapan Bumi—yang kini wajahnya sudah memerah padam dengan mata berkaca-kaca karena sangat putus asa.
"Saya bahkan nggak tahu di mana bisa membeli minuman haram seperti itu. Bagaimana mungkin benda seperti itu ada di kamar saya?"
"Bapak bisa saja terus mengelak, tapi bukti pakaian korban yang koyak juga ada di kamar Bapak, bercak darah di seprai, berikut korbannya. Yang melihat nggak cuma satu orang. Kalau Bapak tetap nggak mengakui, kami sepertinya terpaksa harus mengirim Bapak ke kantor polisi sekarang."
"Terserah. Bahkan meskipun semua polisi mendesak saya untuk mengaku, jawaban saya tetap akan sama! Saya tidak mungkin melakukan perbuatan keji itu!"
"Tahan, tahan!" Tirto menyela dengan menolak tegas tantangan Bumi yang begitu berapi-api.
Tirto sontak bangkit, kemudian berbisik kepada Kepala desa, "Saya ingin masalah ini diselesaikan secara kekeluargaan saja, Pak Kades. Kita nggak usah libatkan polisi. Anak saya sepertinya memang masih teler, jadi sebaiknya kita sidang lagi kalau dia sudah sepenuhnya sadar saja."
"Tapi Pak Tirto, soal apakah kasus ini bisa diselesaikan secara kekeluargaan atau tidak, saya hanya bisa pasrahkan kepada pihak korban. Kita harus memanggil wali korban juga agar tidak merugikan salah satu pihak."
"Kami akan lakukan itu besok. Dan membicarakannya di rumah kami secara tertutup." Tirto meyakinkan sambil diam-diam menarik uang dari saku celananya kemudian dipindahkan ke saku celana Kepala desa, tanpa lupa memberi tepukan ringan di pant4t Kades sebagai kode supaya urusannya dipermudah.
"Ah, dalam musyawarah keluarga nanti, saya juga akan tetap melibatkan Pak Kades dan beberapa perangkat sebagai saksi. Jadi biar transparan dan nggak dibilang saya mengada-ada serta zalim kepada korban.
"Hanya saja saya minta, kasus ini sementara kita sudahi saja sampai di sini. Saya nggak mau jadi tontonan warga yang belum tentu semua paham sama kejadiannya, Pak. Kasihan juga korban pasti butuh menenangkan diri dan istirahat. Coba lihat, Nak Salma sudah pucat pasi semenjak tadi."
Tirto menutup permohonannya sembari pasang wajah memelas dan amat merasa bersalah.
Yang mana sudah pasti langsung di-ACC mengingat keluarga Tirto sudah banyak menggelontorkan dana pribadi untuk keperluan warga, bahkan paling royal bagi-bagi rezeki untuk para pamong khususnya. Seperti barusan terjadi.
Maka setelah itu, sidang desa pun ditutup dengan pernyataan Kepala desa jika kasus ini akan diselesaikan secara kekeluargaan oleh kedua belah pihak keluarga, dan warga diminta untuk tidak vokal menyebar berita sumbang ke luar desa dengan dalih itu hanya akan mencemarkan nama desa mereka sendiri.
Walau awalnya banyak yang kecewa dan keberatan, tetapi pada akhirnya, warga tetap bubar dengan teratur usai Tirto berjanji tidak akan melindungi anaknya jika Bumi memang bersalah.
*
KAMU SEDANG MEMBACA
Terlalu Besar
RomanceBumi Reksadipati telah menduda tiga kali di usianya yang ketiga puluh lima tahun. Semua istrinya kabur melarikan diri tepat sehari setelah pernikahannya. Dengan alasan, "terlalu besar". Akankah drama mengerikan itu kembali terjadi di pernikahan Bumi...