15. Jepang

369 33 10
                                    

“Aku ingat semua waktu yang kita habiskan bersama... Semua tawa, semua cerita..."

*

Ruangan bernuansa abu-abu milik Darron dipenuhi diskusi panas antara tiga pria: Pram, Iqbaal, dan Darron. Di tengah perbincangan yang mulai mereda, mata Darron tak bisa lepas dari layar ponselnya. Senyum lebar terus menghiasi wajahnya, membuat kedua temannya penasaran.

“Woi, Ron! Dari tadi senyum-senyum sendiri, kenapa sih?” tanya Pram, mengerutkan kening.

Iqbaal yang baru menyadari perubahan raut wajah Darron ikut menimpali, “Iya, apa sih? Lo kenapa, Ron?”

Darron mengangkat kepalanya, senyum di bibirnya semakin lebar. “Ini, Alma panik karena gue silent handphone-nya tadi. Dia pikir gue marah.” Nada suaranya terdengar gemas, bayangan Alma yang khawatir membuatnya tak bisa berhenti tersenyum.

“Bucin lo, Ron!” celetuk Pram disambut tawa Iqbaal yang pecah.

“Alma? Alma yang anak kantor kita?” tanya Iqbaal, masih berusaha memahami situasi.

“Iya, Alma yang mana lagi?” jawab Pram heran, sebelum Iqbaal sempat bertanya lebih lanjut.

Darron yang mendengar pertanyaan Iqbaal, mengernyitkan dahi, menunggu respons selanjutnya dari bawahannya itu.

“Lo lagi deket sama Alma, Ron? Sejak kapan?” tanya Iqbaal, matanya berbinar penuh rasa penasaran.

Pram tak mau kalah, langsung menimpali. “Dari awal masuk kantor udah deket kali, si Darron.”

Iqbaal, yang merasa ketinggalan informasi, tertawa lepas. “Anjir, sorry ya, Ron! Gue nggak tahu. Pantesan pas gue mau PDKT sama dia, sikap lo aneh banget. Hahaha!”

Darron hanya menanggapinya dengan senyuman tipis di ujung bibirnya.

“Tapi gue akuin, Alma emang cantik banget. Udah pinter, cantik, tinggi, lucu lagi. Paket lengkap!” Iqbaal memuji Alma dengan semangat yang membuat Darron mulai tidak nyaman.

Darron menatap tajam ke arah Iqbaal, menggenggam satu tangan di atas paha, berusaha menahan emosi yang mulai naik. Pram, menyadari perubahan sikap temannya, segera menengahi.

“Santai, Ron. Itu cuma pujian biasa. Lo harusnya bersyukur, calon istri lo ternyata paket lengkap,” ujar Pram, mencoba meredakan ketegangan.

“Hah? Calon istri? Gercep banget, Ron! Selamat ya, Ron. Hebat lo bisa bikin Alma mau nikah sama lo.” Iqbaal tertawa lagi, tapi kali ini terasa lebih seperti ejekan daripada selamat.

“Kapan Ron nikahnya?” tanya Iqbaal dengan nada jahil.

“September,” jawab Darron ketus.

Iqbaal dan Pram sama-sama terkejut mendengar jawaban itu. “Dua bulan lagi? Cepet banget! Congrats deh, Ron,” ucap Iqbaal sambil menepuk bahu Darron.

Pram mulai curiga, apakah ini jawaban asal-asalan atau Darron memang sudah memikirkan semuanya dengan matang. Hanya Darron yang tahu jawabannya.

Setelah itu, ketiga pria itu kembali fokus pada berkas-berkas di depan mereka. Mereka tahu, pekerjaan harus segera diselesaikan sebelum waktu istirahat mereka terganggu lebih lama.

*

Di tempat lain, Alma masih terlelap di kamar hotelnya yang berukuran 37 meter persegi. Dinding putih dengan lis hitam di langit-langit menambah kesan bersih. Ada dua tempat tidur ukuran single di kamar itu, karena Alma akan berbagi ruangan dengan Nadila. Sebuah sofa panjang berwarna abu-abu terletak di depan tempat tidur mereka, sementara jendela besar memperlihatkan pemandangan kota yang sibuk.

TERSIPU | Why do I still have feelings for you?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang