WTK - 02

169 14 0
                                    

"Halo. Ada yang bisa kami bantu?"

"Ada yang mati di sini."

"Di mana posisi Nona?"

"xxxx"

Setelah mendapatkan jawaban dari polisi, ia bersandar di dinding sambil menetralkan napasnya. Ia tidak menyangka bisa melihat pembunuhan di depan matanya. Ia mengenal siapa korban. Ia tidak sengaja lewat di gang itu seusai dari minimarket untuk membeli cemilan dan minuman bersoda.

Tak lama, terdengar suara sirine polisi. Ia pun keluar dari persembunyian, melangkahkan kaki menemui polisi. Salah satu polisi memberikan selimut untuk perempuan itu, juga teh hangat. Polisi itu memintanya duduk di tepi mobil.

"Kamu nggak papa, Manda?" tanya Satya—petugas kepolisian kepada Manda—saksi pembunuhan beberapa menit yang lalu.

Manda meletakkan gelas plastik di sampingnya. "Aku nggak papa, Om. Makasih udah sempetin datang ke sini."

Satya mengelus bahu Manda agar tetap tenang. "Itu tugas kami sebagai polisi. Ya udah, kamu tunggu di sini. Bentar lagi, Tara datang."

"Iya, Om."

Satya dan koleganya pergi ke lokasi pembunuhan, memberi garis kuning. Tim forensik mengambil sampel untuk membuktikan pembunuhan ini. Satya tidak percaya dengan kondisi korban yang jauh dari kata baik. Entah apa yang dipikirkan pelaku untuk membunuh korban dengan sadis.

Beberapa detik, seorang lelaki datang menemui Manda. Dia adalah Tara—putra Satya—juga kekasih Manda. Tara duduk di samping Manda, menggenggam tangan kekasihnya. Tara diberitahu Satya apa yang telah terjadi.

"Tara, aku takut ..." lirih Manda dengan mata berkaca-kaca.

Tara membawa Manda ke dekapannya, mengelus rambut panjang Manda. "Udah, nggak papa. Kamu aman sekarang. Ada aku disini." Tara mengurai pelukannya, mengelus pipi Manda. "Aku temui Papa dulu, ya. Nggak usah takut, ada polisi yang bakal jaga kamu."

Manda menganggukkan kepalanya. Tara merapikan rambut, kemudian berjalan ke lokasi pembunuhan, tidak lupa memakai sarung tangan. Tara melewati garis polisi, berjongkok di depan korban, kemudian menyentuh tangan korban.

Monna berusaha menatap pelaku. "Gue nggak akan pernah serahin bukti kejahatan lo! Lo harus mempertanggungjawabkan perbuatan lo! Lo udah keterlaluan. Serahin diri lo biar hukuman lo diringankan."

Pelaku mengepalkan tangan, menahan amarah. Ia mendorong Monna ke dinding. Monna terbatuk ketika sesuatu menembus perut kirinya. Pandangan Monna turun ke bawah dan melihat sebuah pisau daging menancap di perutnya.

"Si-al ..." lirih Monna.

Pelaku memperdalam tusukannya, membuat Monna memuntahkan darah dan mengenai wajah pelaku. Pelaku tersenyum melihat korbannya kesakitan.

"Ini akibatnya kalau lo nggak turuti perkataan gue. Sampai mati pun, gue nggak bakal serahin diri ke polisi. Bagi gue, membunuh itu hobi."

Tara terduduk di aspal setelah mendapat vision tentang kejadian sebelumnya. Satya terkejut apa yang terjadi dengan Tara. Satya menemui sang putra untuk menanyakan apa yang ia lihat setelah menyentuh korban.

"Nak, ada apa? Apa yang kamu lihat? Bilang sama Papa?" tanya Satya terlihat khawatir dengan kondisi putranya.

Tara mengambil napas, kemudian menatap Satya. "Pa, pelaku sengaja bunuh korban karena korban mengetahui kejahatan pelaku. Aku nggak tau kejahatan apa yang udah dilakuin pelaku dan Papa tau, korban ini satu sekolah sama aku, namanya Monna."

Satya tidak percaya dengan perkataan Tara, tapi ia berusaha berpikir realistis dan mencari buktinya. Satya bukannya tidak percaya dengan perkataan Tara, tapi polisi tidak mudah percaya tanpa adanya bukti fisik. Satya tahu Tara memiliki kemampuan bisa melihat masa lalu dengan menyentuh benda atau orang di sekitarnya.

"Detektif Satya, kami menemukan senjata pelaku untuk membunuh korban," ucap Jay—kolega Satya sambil memberikan pisau daging yang sudah ada di plastik.

"Terima kasih, Detektif Jay. Cari bukti yang lain lagi, jangan sampai terlewat."

"Baik, Detektif." Jay kembali melakukan pekerjaannya mencari bukti yang lain.

Setelah mendapatkan beberapa bukti, polisi bergegas kembali ke kantor dan membawa saksi untuk dimintai keterangan tentang apa yang sebenarnya terjadi. Satya meminta Tara ikut ke kantor polisi untuk menemani Manda. Tara mengeratkan selimut di tubuh kekasihnya. Ia tahu Manda masih trauma dengan apa yang dirinya lihat.

Beberapa menit, mereka tiba di kantor polisi. Satya dan Jay meminta Manda masuk ke ruang interogasi. Manda terlihat takut, tapi sebisa mungkin dirinya tetap tenang dan menjawab pertanyaan dari polisi.

"Baiklah, saya akan memulai interogasinya. Saudari Manda, bisa tolong jelaskan apa yang anda lihat di lokasi pembunuhan?" tanya Satya, sedangkan Jay, ia mencatat jawaban dari Manda.

Manda menjawab pertanyaan dari Satya tanpa ada yang ditutupi, walau di lubuk hatinya, ia masih trauma dan tidak percaya Monna meninggal di depan matanya.

"Lalu, apa Saudari melihat wajah pelaku atau ciri-cirinya?"

"Tidak, Pak. Wajah pelaku tertutup masker hitam, celana hitam, dan hoodie hitam. Tingginya tidak sampai 170 cm, berat badan tidak terlalu gemuk dan kecil."

Satya menghela napas. Satya agak kecewa karena Manda tidak melihat pelaku, tapi jawaban dari perempuan itu cukup membantu. Tinggal menunggu laporan otopsi dari tim fotensik.

"Baiklah, terima kasih sudah meluangkan waktu untuk memberi kesaksian. Saudari boleh pulang."

Satya dan Jay mengantar Manda keluar dari ruang interogasi. Di bangku, terlihat Tara yang sedang menunggu kekasihnya selesai diinterogasi sembari memikirkan pembunuhan yang terjadi.

"Tara, tolong kamu antar Manda pulang. Kasihan udah malam. Besok kalian masih sekolah," pesan Satya kepada Tara.

Tara menoleh ke sumber suara. "Ah, iya, Pa. Aku antar Manda pulang," ucapnya menyalami tangan Satya, kemudian berjalan menemui Manda.

"Manda, aku anterin pulang, ya." Tara mengulurkan tangannya ke Manda dan diterima baik oleh perempuan itu. Mereka pergi meninggalkan lokasi pembunuhan dan menyerahkan semuanya kepada polisi.

Selama perjalanan, Manda masih terbayang kejadian itu karena pertama kalinya, ia melihat pembunuhan. Tara yang peka, menggenggam tangan Manda, sedangkan tangan satunya sibuk menyetir.

"Udah, ya, jangan terlalu dipikirkan. Nanti yang ada kamu malah stres. Serahkan semuanya ke polisi. Aku harap semoga pelaku cepat ditemukan."

"Iya. Aku nggak mau ada korban lagi. Aku takut."

Sebenarnya Manda masih kepikiran kejadian tadi, tapi ia berusaha terlihat baik-baik saja dan tidak ingin membuat orang sekitarnya khawatir. Ia berharap semoga pelaku cepat ditemukan dan mendapatkan hukuman yang setimpal. Manda tidak ingin ada korban lagi setelah Monna—teman satu kelasnya.

Tbc

[✔️] Who's The Killer? | Sunghoon - WonyoungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang