Keesokan harinya, suasana di sekolah terasa sedikit berbeda. Mahesa masih merasakan sisa-sisa ketegangan dari hari sebelumnya, tetapi dia memutuskan untuk tetap fokus pada rutinitasnya.
Kali ini, dia membawa barang jualannya seperti biasa, namun ada rasa ragu yang mengintai di dalam dirinya setelah konfrontasi dengan Dika. Di satu sisi, dia ingin melanjutkan jualannya, tetapi di sisi lain, kata-kata Dika masih menghantuinya.
Saat Mahesa tiba di kelas, suasana tampak biasa saja, hingga seorang gadis baru masuk ke dalam kelas. Wajahnya terlihat cantik, dengan rambut hitam panjang yang terurai rapi, dan tatapannya penuh percaya diri. Semua mata langsung tertuju padanya, termasuk Mahesa, yang melihat sekilas gadis itu dengan rasa penasaran.
"Perkenalkan, nama saya Alissya Lafisya Diantari," ucapnya sambil tersenyum manis. "Saya anak baru di sini. Senang bisa bergabung."
"Bjirr cuci mata lagi nihh!"
"Akwkw cantik banget anjayy,"
"Apasi ko yang lain liat dia, padahal aku lebih cantikk!"
"Haloo lisyaa!"
"Kiw kiw, sini cewe cantik."
Kelas langsung dipenuhi dengan bisik-bisik dan tatapan kagum dari teman-teman Mahesa, terutama para laki-laki. Gadis itu memang terlihat menarik, dan caranya berbicara yang lembut namun tegas membuat suasana semakin hidup.
Saat jam istirahat, Mahesa berada di pojok halaman sekolah dengan barang dagangannya. Ia merasa lebih tenang karena teman-teman yang datang untuk membeli. Namun, di tengah kesibukannya melayani teman-teman, Alissya tiba-tiba mendekat. Mahesa, yang awalnya tidak menyangka gadis baru itu akan menghampirinya, tersenyum sedikit canggung.
"Eh halo, kamu Mahesa, kan?" tanya Alissya dengan suara yang lembut, namun penuh percaya diri.
Mahesa mengangguk. "Iya, aku Mahesa. Kamu Alissya, anak baru, kan?"
Alissya mengangguk sambil tersenyum. "Iya. Aku dengar dari teman-teman ada makanan risol dan makaroni panggang yang enak, ternyata kamu. Aku mau beli ini," ujarnya sambil menunjuk beberapa makanan kecil di atas meja dagangan Mahesa.
Mahesa, yang sedikit terkejut oleh keramahan Alissya, dengan cepat melayani pesanan gadis itu. "Ini, terima kasih ya sudah beli."
"Terima kasih juga, Mahesa," jawab Alissya sambil mengambil makanannya dan berjalan pergi. Namun, sebelum benar-benar pergi, Alissya menoleh lagi. "Oh iya, kalau ada waktu, boleh kan kita ngobrol lebih banyak? Aku belum terlalu kenal banyak orang di sini, jadi senang bisa kenalan sama kamu."
Mahesa tersenyum tipis dan mengangguk. "Boleh, kapan aja."
Namun, kebahagiaan Mahesa tidak berlangsung lama. Dari kejauhan, Dika yang melihat interaksi Mahesa dan Alissya, tampak marah dan mendekati Mahesa dengan langkah cepat. Wajahnya terlihat tegang, dan jelas sekali bahwa dia tidak senang dengan apa yang baru saja dilihatnya.
"Eh, Mahesa!" Dika memanggilnya dengan nada penuh kemarahan. "Jangan pikir kamu bisa mendekati Alissya, ya. Dia ga cocok punya cowo orang lumpuh kaya kamu!"
Mahesa yang sedang membereskan dagangannya, langsung terkejut mendengar ucapan Dika. Ia tidak mengerti mengapa Dika tiba-tiba marah seperti itu. "Aku cuma jualan, Dik. Aku ga ada niat apa-apa sama Alissya."
Dika mendekat, matanya menatap Mahesa dengan penuh kebencian. "Jangan sok ga tau, Mahesa! Aku tertarik sama dia, dan aku ga bakal biarin kamu deket-deket dia, paham?"
Mahesa menundukkan kepalanya, merasa bingung dan sedikit takut dengan amarah Dika. Namun, sebelum ia sempat berkata apa-apa, Alissya kembali mendekat setelah mendengar keributan tersebut.
"Loh! Apa-apaan ini Lo?" Alissya bertanya dengan nada tegas, sambil berdiri di antara Mahesa dan Dika. "Kenapa marah-marah kayak gini? Jangan ganggu Mahesa, dia lagi jualan!"
Dika tampak terkejut melihat keberanian Alissya. "Hai Alissya, emm aku Dika" Katanya sambil memberikan jabatan tangan. Namun di acuhkan oleh Alissya, ia lebih memilih membantu Mahesa membenarkan bajunya yang terkena noda saos.
"Aku cuman.. Aku cuman ga suka kalau makan jajanan yang ga sehat!" Ucap Dika, sambil tersenyum.
Alissya memandang Dika dengan ekspresi kecewa. "Oh, maaf makan ini emang aku suka beli. Dan lagi pula teman-teman sekolah suka beli, mereka ga keracunan? Aman kan jadi gausah jahatin Mahesa. Aku pun ga masalah makan seperti ini!"
Dika terdiam, merasa malu dan marah sekaligus. "Kamu ga ngerti, Alissya. Aku cuma ga mau kamu keracunan…"
Alissya menggelengkan kepala dengan tegas. "Udah stop, semua orang berhak mendapatkan beli makanan Mahesa. Gausah ngatur-ngatur deh!"
Dengan wajah merah karena malu, Dika akhirnya mundur dan pergi dengan langkah berat. Mahesa tetap terdiam, tidak menyangka bahwa Alissya akan membelanya seperti itu. Ketika Dika sudah pergi, Alissya menoleh ke Mahesa.
"Kamu ga apa-apa, Mahesa?" tanya Alissya dengan nada prihatin.
Mahesa mengangguk pelan. "Iya, aku baik-baik aja ko. Terima kasih udah membelaku tadi."
Alissya tersenyum lembut. "Ga apa-apa. Kamu emang ga salah." Mahesa tersenyum tipis, merasakan sedikit kelegaan.
Setelah kepergian Dika, suasana di sekitar Mahesa terasa lebih tenang. Mahesa masih merasa kaget dengan apa yang baru saja terjadi, tetapi kehadiran Alissya membuatnya sedikit lebih tenang. Alissya duduk di bangku dekat tempat jualan Mahesa, sambil membuka bungkus risol yang tadi ia beli.
"Risolnya enak banget, Mahesa. Pantesan banyak yang suka," kata Alissya sambil tersenyum, menggigit risol dengan perlahan.
Mahesa, yang sedang membereskan sisa dagangannya, menatap Alissya dengan rasa terima kasih. "Makasih, senang kalau kamu suka. Aku sering bawa dagangan ini dari rumah untuk tambahan uang jajan. Lumayan buat bantu-bantu orang tua."
Alissya mengangguk penuh pengertian. "Kamu keren, Mahesa. Bisa jualan sambil sekolah gini. Aku salut sama kamu."
Mahesa merasa sedikit tersipu mendengar pujian dari Alissya. Ia tak terbiasa mendapat pujian seperti itu, terutama dari seseorang yang baru dikenalnya. "Ah, aku cuma ngelakuin apa yang bisa aku lakuin. Kadang memang berat, tapi ya harus dijalani."
Alissya tersenyum, lalu menyandarkan tubuhnya pada bangku. "Tapi, jangan dengerin kata-kata Dika tadi, ya. Dia mungkin cemburu atau merasa terancam, tapi itu bukan alasan buat dia ngomong kasar kayak gitu."
Mahesa mengangguk, meski di dalam hatinya masih ada rasa tak nyaman setelah konfrontasi tadi. "Aku tahu, cuma kadang susah aja buat ga kepikiran. Tapi, aku coba buat ga terlalu mikirin itu."
Mereka berbincang sebentar, membahas hal-hal ringan seperti hobi dan cerita tentang sekolah sebelumnya. Mahesa mulai merasa nyaman berbicara dengan Alissya, dan begitu juga sebaliknya. Alissya ternyata anak yang ramah dan tak sulit diajak berbicara. Namun, di tengah obrolan mereka, suara bel istirahat yang khas berbunyi keras, menandakan bahwa waktu istirahat sudah habis.
*Driiiingg!*
"Oh, belnya sudah bunyi," ujar Mahesa sambil sedikit kaget. "Kita harus balik ke kelas."
Alissya mengangguk. "Iya, benar. Ayo, kita bareng masuk ke kelas."
Mahesa membereskan barang-barang jualannya dengan cepat, sementara Alissya menunggu di sampingnya. Setelah semuanya beres, mereka berjalan bersama menuju kelas. Mahesa dengan kursi rodanya, dan Alissya berjalan di sampingnya, sambil terus berbicara ringan.
Saat mereka tiba di kelas, Mahesa merasa sedikit canggung. Banyak teman-teman yang melihat mereka masuk bersama, namun Alissya tampak tak terlalu peduli dengan tatapan itu. Dia hanya tersenyum dan kembali ke tempat duduknya.
Sementara itu, Mahesa duduk di bangkunya dan mulai mempersiapkan buku untuk pelajaran berikutnya. Meski hari ini penuh dengan kejadian yang tidak terduga, ia merasa sedikit lebih ringan. Ada sesuatu yang berbeda sejak Alissya hadir sesuatu yang membuatnya merasa lebih dihargai.
Mahesa menatap ke depan kelas, dan sesekali melirik ke arah Alissya yang juga tengah mempersiapkan bukunya. Dalam hati, Mahesa merasa bersyukur bisa bertemu dengan orang seperti Alissya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah untuk Mahesa [On going]
Fiksi Remaja[Cover by: Canva Aplikasi] "Apa kamu yakin dunia berpihak kepadaku? Orang tua ku saja lebih memilih meninggalkanku dipanti asuhan?" ujarnya, sambil menundukkan kepalanya karna ia rasa air matanya tidak terkendali untuk dibendung. ...