Setelah Dika pergi dan Bu Ratna mencoba menghiburnya, Mahesa masih merasa berat di dadanya. Meski ia tersenyum dan berkata bahwa semuanya baik-baik saja, di dalam hatinya ia tahu kenyataan tidak seindah itu. Saat Bu Ratna pergi, meninggalkannya sendirian di dapur yang berantakan, Mahesa memandang kotak-kotak makanan yang kini tergeletak di lantai, hancur dan kotor.
Makanan-makanan yang ia siapkan dengan penuh hati-hati, yang seharusnya dijual untuk menambah penghasilan, kini rusak tak berharga. Ia tahu betapa sulitnya mendapatkan bahan-bahan itu. Stok di dapur panti juga sudah mulai menipis, dan untuk membeli bahan baru ia butuh keluar rumah-sesuatu yang tidak mungkin dilakukan saat ini. Di luar, hujan deras mengguyur tanpa ampun, membuat jalanan licin dan tidak bersahabat bagi seseorang yang harus menggunakan kursi roda seperti dirinya.
Mahesa merasa dada dan perutnya sesak. Bukan hanya karena makanan yang hancur, tapi karena rasa kecewa yang mendalam. Ia telah berusaha sekuat tenaga, bekerja keras meski dengan keterbatasan fisiknya. Namun, dalam sekejap, kerja kerasnya dihancurkan begitu saja oleh amarah Dika. Mahesa menunduk, tangan gemetar saat ia mencoba mengumpulkan serpihan risol dan pisang goreng yang sudah kotor di lantai.
Air mata yang sedari tadi ia tahan mulai mengalir perlahan di pipinya. "Gue udah coba yang terbaik..." gumamnya pada dirinya sendiri, suaranya hampir tak terdengar di tengah suara hujan di luar. "Tapi kenapa rasanya semua selalu lebih sulit buat gue?"
Mahesa bukan orang yang gampang menyerah, tapi malam ini rasa lelah dan frustrasi menghantamnya lebih kuat dari biasanya. Ia merasa sendirian, di tengah kesunyian panti yang dingin. Tidak ada yang tahu persis apa yang ia rasakan, bagaimana perjuangannya setiap hari untuk tetap bertahan dan menjaga martabatnya di tengah keterbatasan.
Ia mengusap air matanya dengan punggung tangan, meski hatinya masih terasa berat. Mahesa menatap jendela, hujan deras yang turun di luar seolah memperburuk suasana hatinya. Dia tidak mungkin keluar untuk membeli bahan-bahan tambahan malam ini, bahkan besok pun hujan diprediksi masih akan turun. Dalam benaknya, ia mulai menghitung berapa sisa bahan yang ada di dapur. Tapi ia tahu, bahan-bahan itu tidak akan cukup untuk mengganti semua makanan yang rusak.
Mahesa menghela napas panjang, merasa semakin terpuruk. "Apa gue harus berhenti aja...?" pikirnya dalam hati, meski ia tahu itu bukan jawabannya. Tapi rasa lelah dan kecewa ini terlalu nyata untuk diabaikan.
Tiba-tiba, pintu dapur kembali terbuka. Bu Ratna muncul lagi, membawa handuk kecil di tangannya.
"Mahesa, ini handuk buat lap-lap air matamu," katanya lembut, meski nada khawatir masih terdengar. "Aku tahu kamu pasti kecewa... Tapi kamu nggak sendirian, Nak. Kita cari jalan keluarnya bareng-bareng, ya?"
Dengan penuh kesabaran, Bu Ratna membantu Mahesa membersihkan kekacauan di dapur. Meskipun hujan deras masih mengguyur di luar, mereka berdua bekerja cepat untuk mengumpulkan makanan yang rusak dan menyiapkan yang baru. Bu Ratna membawakan bahan-bahan yang masih ada di dapur dan membantu Mahesa dalam proses memasak.
Setelah beberapa jam yang melelahkan, akhirnya semua persiapan jajanan selesai. Makanan-makanan yang hancur telah digantikan dengan yang baru, dan dapur kembali rapi. Bu Ratna menyuruh Mahesa untuk istirahat, tetapi Mahesa merasa tidak bisa tidur begitu saja. Dia merasa perlu untuk merenungkan apa yang telah terjadi.
Jam menunjukkan pukul setengah 10 malam, dan membuat Mahesa berjalan perlahan ke kamarnya, melewati lorong panti yang sepi. Dia merasa letih, baik secara fisik maupun emosional. Begitu dia sampai di kamarnya, dia duduk di tepi tempat tidur, menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan pikirannya.
Di tepi ranjang, Mahesa duduk dengan rasa lelah yang mendalam setelah seharian menggunakan kursi roda. Ia menatap kosong ke lantai, masih terbayang dengan kekacauan yang ditinggalkan Dika dan semua usaha yang sia-sia.
"Aku cape," pikirnya, merasakan betapa beratnya semua ini. "Aku harus berjuang setiap hari, dan rasanya dunia ini cuma terus ngasih aku beban yang lebih berat."
Menggunakan kursi roda setiap hari bikin segala sesuatunya terasa lebih susah. Mahesa merasa seperti dia harus melawan arus yang ga adil. Semua usaha yang dia lakukan, semua kerja keras yang dia curahkan, sering kali terasa seperti nggak pernah cukup.
Malam ini, sakit hati dan kecewa begitu mendalam. Dika menghancurkan makanan yang dia buat dengan susah payah, dan itu bikin rasa keadilan yang dia rasakan jadi hancur juga. "Aku cuma pengen hidup lebih baik," gumamnya sambil menatap langit-langit, "tapi kenapa semua ini rasanya ga adil?"
Dia merasa terjebak dalam siklus ketidakadilan. Kursi roda bikin segalanya jadi lebih berat, dan tiap kali dia pikir udah berusaha sekuat tenaga, dia harus menghadapi kenyataan yang bikin frustasi.
"Aku udah capek harus terus-terusan nerima semua ini," pikirnya, merasa hatinya makin berat. "Kadang-kadang, dunia ini terasa ga fair banget."
Dalam kesunyian malam, Mahesa tau dia butuh waktu buat merasain semua perasaan ini. Walaupun dia tahu besok harus terus maju, malam ini dia cuma butuh ngakuin betapa capek dan sedihnya dia. Kadang-kadang, merasakan kesedihan ini penting supaya bisa bangkit lagi dan siap menghadapi hari baru.
Sambil duduk di tepi ranjang, Mahesa tarik napas dalam-dalam, mencoba tenangkan pikirannya. Meskipun rasanya dunia ini nggak adil, dia berharap besok bisa bawa sedikit perubahan dan kekuatan baru.
----
Keesokan paginya, Mahesa terbangun dengan tubuh yang sedikit pegal setelah tertidur di tepi ranjang semalam. Matahari sudah mulai naik, dan ia segera menyadari bahwa waktu untuk bersiap-siap sekolah semakin mepet. Tanpa banyak berpikir, ia langsung bergerak cepat. Mandi, berpakaian, dan mengemasi buku-buku sekolah, semua dilakukan dengan terburu-buru. Meski rasa capek dan sedih dari semalam belum sepenuhnya hilang, Mahesa tahu bahwa hidup tetap harus berjalan.
Setelah sarapan cepat, Mahesa bergegas keluar panti menuju sekolah. Namun, saat ia berada di lorong panti, tiba-tiba suara langkah kaki terdengar mendekat dari belakang. Mahesa berhenti, merasa ada yang aneh. Ketika ia berbalik, ternyata Dika berdiri di sana dengan tatapan dingin.
"Mahesa," Dika memanggil, suaranya rendah namun penuh ancaman. "Gue tau lo belum ngomong apa-apa ke Bu Ratna tentang semalam. Jangan pikir lo aman, lo dengerin baik-baik."
Mahesa menatap Dika, menahan diri agar tidak terpancing. Ia mencoba tetap tenang meskipun hati kecilnya masih sakit dengan semua yang terjadi. "Gue ga niat ngomong apa-apa," jawab Mahesa pelan, tidak ingin memperkeruh suasana.
Dika mendekat, kini berada cukup dekat sehingga Mahesa bisa merasakan ketegangan di antara mereka. "Bagus. Gue bakal pastiin lo diem terus. Kalo lo berani buka mulut ke siapa pun, terutama Bu Ratna, gue pastiin lo bakal nyesel," Dika mengancam, wajahnya penuh dengan kemarahan yang sama seperti semalam.
Mahesa hanya diam, menahan napas. Dia tau tidak ada gunanya melawan sekarang. Apapun yang dia katakan hanya akan memperburuk situasi. "Gue ga akan ngomong," katanya lagi, kali ini lebih tegas, namun tetap mencoba tidak menantang.
Dika menatapnya sejenak, lalu menyeringai puas. "Bagus," katanya singkat sebelum berbalik dan berjalan menjauh.
Mahesa menghela napas panjang setelah Dika pergi. Ia merasa seperti beban besar menindih dadanya. Meski Dika sudah pergi, ancamannya masih menggema di telinga Mahesa. Namun, ia juga tau bahwa diam bukan solusi jangka panjang, tapi untuk saat ini, itu satu-satunya pilihan yang ia punya.
Setelah mengumpulkan diri, Mahesa melanjutkan perjalanan menuju sekolah. Sepanjang perjalanan, pikirannya dipenuhi oleh kekhawatiran dan rasa tidak nyaman. Ia tahu ancaman Dika bukan main-main, namun Mahesa juga tidak ingin terus hidup dalam ketakutan. Bagaimana pun juga, ia harus fokus pada pelajaran dan menjalani hari sebaik mungkin.
-
-
-GEREGET GAAA KALIAN?? Author jugaa akwkwkw😔
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah untuk Mahesa [On going]
Ficção Adolescente[Cover by: Canva Aplikasi] "Apa kamu yakin dunia berpihak kepadaku? Orang tua ku saja lebih memilih meninggalkanku dipanti asuhan?" ujarnya, sambil menundukkan kepalanya karna ia rasa air matanya tidak terkendali untuk dibendung. ...