Perasaan Dika

21 4 2
                                    


°°°°°

         Malam itu, setelah selesai membereskan dapur dan bersiap untuk tidur, Mahesa mendengar suara pintu depan panti terbuka. Awalnya, ia mengabaikannya, berpikir bahwa mungkin Bu Ratna yang kembali dari luar. Namun, beberapa menit kemudian, ia mendengar langkah-langkah yang mendekat ke arah dapur.

Rasa penasaran membuatnya bangkit dari tempat tidur dan berjalan perlahan dengan kursi rodanya menuju dapur, memastikan siapa yang datang.

Saat tiba di dapur, Mahesa terkejut melihat Dika di sana. Dika berdiri di dekat meja tempat Mahesa biasa menyiapkan makanannya. Wajahnya terlihat gelap, penuh dengan kemarahan yang dipendam. Matanya menyapu seluruh ruangan, termasuk kotak-kotak berisi risol, makaroni panggang, dan pisang goreng aroma yang sudah disiapkan Mahesa.

"Lo belum tidur?" tanya Mahesa dengan nada waspada, meski berusaha tetap tenang.

Dika menyeringai. "Ngapain tidur? Gue penasaran aja sama lo. Dari tadi siang gue kepikiran, kenapa sih semua orang suka sama makanan lo? bahkan Alissya pun membeli makanan lo, seolah-olah lo ini penting banget."

Mahesa menatap Dika dengan perasaan tidak enak. "Gue cuma jualan buat tambahan uang. Lo tau sendiri, gue harus bantu-bantu buat kebutuhan sehari-hari. Kasian Bu Ratna, Gue gamau dia terbebani karna kekurangan Gue."

Namun, Dika tidak peduli dengan penjelasan Mahesa. Ia mendekat ke meja dan mengambil salah satu pisang goreng aroma yang sudah Mahesa buat dengan susah payah. Dia menatap pisang itu dengan penuh kebencian sebelum menggigitnya.

"Rasanya ga seberapa!" gumam Dika dengan mulut penuh makanan. "Biasa aja. Ga pantes makan ini masuk ke perut Alissya."

Mahesa menahan perasaannya, mencoba tidak terpancing. "Kalau lo ga suka, ga usah nyoba! Gue ga maksa lo makan atau pun buat suka."

Tiba-tiba, dengan gerakan cepat dan penuh amarah, Dika meraih salah satu kotak makanan yang sudah disiapkan Mahesa dan melemparkannya ke lantai. Kotak itu terbuka, isinya berhamburan ke seluruh lantai dapur. Risol, makaroni panggang, dan pisang goreng aroma yang sudah Mahesa persiapkan dengan penuh hati-hati kini berserakan, kotor terkena lantai.

Mahesa terdiam sejenak, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Jantungnya berdegup kencang, campuran antara marah dan kecewa. Dia menatap Dika dengan tatapan penuh luka.

"Dika, kenapa lo lakuin ini? Gue ga pernah ganggu lo. Gue cuma mau jualan buat hidup. Apa salah gue ke lo?"

Dika mendekatkan wajahnya ke arah Mahesa, menatapnya dengan tatapan tajam. "Salah lo? Salah lo banyak anjing! Lo bikin orang-orang mulai ngelihat lo, terutama Alissya. Dan Bu Ratna, selalu dukung ide ide lo! Gue ga pernah liat sama sekali. Gue ga bisa biarin itu terjadi. Gue cape sa, gue cape anj lo ga pantes dapetin semuanya bangsat!"

Mahesa merasa dadanya sesak. Semua kerja kerasnya malam ini, semua persiapan yang ia lakukan, hancur begitu saja karena kemarahan Dika yang tidak masuk akal. Namun, alih-alih membalas, Mahesa hanya menatap Dika dengan tatapan dingin. Ia tau, membalas hanya akan memperburuk keadaan.

Mahesa menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri meski amarahnya memuncak. Ia tahu, apapun yang ia lakukan sekarang tidak akan mengubah pikiran Dika yang penuh kebencian. Tatapan dingin Mahesa hanya membuat Dika semakin gusar, seolah memancing amarahnya lebih jauh.

"Apa? Lo mau ngelawan gue?" Dika mendekat dengan cepat, matanya menyala dengan kebencian. "Gue ga bakal biarin lo ngerusak hidup gue lebih jauh, Mahesa. Lo cuma anak yang dibuang, dan lo ga punya siapa-siapa. Jangan mimpi bisa ambil semuanya dari gue!"

Mahesa tetap diam, menatap Dika tanpa menunjukkan ketakutan yang selama ini biasa Dika lihat dari korbannya. Dalam hatinya. Dika boleh menghancurkan makanannya, tapi dia tidak akan menghancurkan semangat Mahesa.

"Lo selesai?" Mahesa akhirnya berbicara, suaranya rendah namun tegas. "Kalau lo selesai, lebih baik lo pergi sekarang, Dika. Gue ga mau ribut sama lo!"

Dika terdiam sejenak, terkejut oleh ketenangan Mahesa. Namun, egonya terlalu besar untuk mundur begitu saja. Dia tertawa, namun tawanya terdengar getir dan dipenuhi amarah.

"Lo pikir lo siapa ngomong gitu ke gue? Lo ini cuma cacat yang kasihanin semua orang. Lo ga punya apa-apa, Mahesa!" bentaknya sambil menunjuk Mahesa dengan kasar.

Mahesa menatap Dika, merasa seolah-olah sesuatu dalam dirinya terlepas. Semua hinaan, ejekan, dan perlakuan buruk yang ia terima selama ini mulai terasa ringan. Mahesa akhirnya sadar bahwa dirinya tidak terdefinisi oleh pandangan orang seperti Dika.

"Lo bener, gue mungkin ga punya apa-apa. Tapi lo tau apa bedanya gue sama lo, Dika?" Mahesa menatap tajam, tatapannya langsung menembus Dika. "Gue ga pernah menyerah, dan gue ga pernah ngerendahin orang lain buat ngerasa lebih baik. Lo boleh coba jatuhin gue, tapi lo ga akan pernah menang."

Dika terlihat bingung dan sedikit ragu, namun kemarahannya masih menguasai dirinya. Sebelum dia bisa bereaksi lebih jauh, suara langkah kaki terdengar lagi dari arah pintu.

Bu Ratna muncul di ambang pintu dapur dengan wajah khawatir, matanya langsung melihat kekacauan di sekitar ruangan.

Bu Ratna melangkah masuk, tatapannya beralih dari lantai yang penuh dengan makanan berantakan ke arah Mahesa yang masih duduk di kursi roda. Wajahnya berubah, mengekspresikan marah bercampur kecewa. Dia menatap Dika dengan tajam, matanya menyipit penuh kekecewaan.

Dika!” suara Bu Ratna tegas, membuat Dika tersentak. “Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu merusak semuanya?

Dika, yang tadinya terlihat angkuh, mendadak gugup. Dia melirik ke arah Mahesa yang tetap diam, lalu kembali menatap Bu Ratna. Namun, egonya masih menguasai dirinya.

“Dia, dia yang mulai!” Dika berusaha membela diri, meski nadanya tidak sekencang tadi. “Dia yang selalu bikin aku terlihat buruk di depan semua orang. Aku cuma,”

Bu Ratna memotongnya dengan nada keras. “Cukup, Dika! Tidak ada alasan yang cukup untuk menghancurkan kerja keras orang lain seperti ini! Apalagi dengan cara yang kasar dan tidak hormat.”

Dika terdiam, tidak berani membalas. Wajahnya merah, baik karena malu maupun karena marah yang masih tertahan.

Sekarang,” Bu Ratna berkata dengan nada lebih rendah namun penuh otoritas, “kamu pergi ke kamar kamu. Malam ini kamu merenung. Dan besok, ibu harap sudah membersihkan musholla panti asuhan! Jangan sampai disaat Ibu melihat semua itu belum selesai!"

Dika mendelik, jelas tidak senang dengan perintah itu. Namun, di depan tatapan Bu Ratna yang tidak mau ditentang, dia tidak punya pilihan. Dia membalikkan badan dengan kasar, berjalan keluar dari dapur tanpa sepatah kata, langkah kakinya berat dan penuh amarah.

Setelah Dika pergi, keheningan mengisi ruangan. Bu Ratna menghela napas panjang sebelum beralih menatap Mahesa dengan penuh keprihatinan. Dia berjongkok di depan Mahesa, menatapnya dengan lembut.

“Maafkan Bu Ratna, Mahesa. Kamu ga pantas diperlakukan seperti ini,” ucapnya dengan nada penuh perhatian. “Bu Ratna akan pastikan Dika minta maaf dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Dan tidak mengulangi lagi ya!”

Mahesa mengangguk pelan, berusaha menahan perasaan yang bergejolak dalam dadanya. “Gapapa, Bu. Saya bisa bersihin ini lagi. Makanan bisa dibuat ulang!”

Bu Ratna tersenyum lembut, matanya penuh kasih. “Kamu selalu kuat, Nak. Tapi ingat, kamu ga harus selalu sendirian mengatasi semuanya. Kita keluarga di sini, saling bantu.”

Mahesa merasa sedikit lega mendengar kata-kata itu. Meski makanan yang ia buat hancur, dukungan Bu Ratna memberinya kekuatan yang lebih besar.

----

TBC

-

-

Kadang menang memang bisa lewat cara mana saja, tetapi cara yang menjijikan ketika seseorang mengunakan cara yang salah yaitu menjatuhkan atau meremehkan orang yang tak salah!

Rumah untuk Mahesa [On going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang