Prolog

320 61 1
                                    

Suara teriakan terdengar jelas di seluruh penjuru rumah.

Anton bersandar di ujung tempat tidurnya, sembari menutupi kepalanya dengan bantal. Tubuhnya kaku mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut kedua orangtuanya.

Pertengkaran mereka semakin intens dari hari ke hari, dan kali ini tampaknya lebih buruk dari sebelumnya.

Sumpah serapah penuh kemarahan melayang di udara, menggema di seluruh dinding rumah. Rumah yang seharusnya jadi tempat ternyaman malah menjadi neraka bagi Anton.

BRAK!

Dengan gerakan yang cepat dan marah, Anton bangkit dari tempat tidurnya dan menutup pintu kamar dengan keras.

Anton berharap suara pintu yang tertutup bisa meredam sedikit kekacauan di luar, tapi teriakan itu masih terdengar, meski sedikit teredam. Dia menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri.

Anton duduk kembali di tempat tidurnya, kali ini dengan ponsel di tangannya.

Anton butuh pelarian, dirinya membuka aplikasi sosial media, mencoba melarikan diri dari kenyataan yang pahit.

Jari-jarinya bergerak cepat, scrolling melewati berbagai unggahan yang tidak menarik perhatiannya.

Meme lucu.

Foto makanan.

video lucu- semua itu tidak cukup menarik untuk mengalihkan bisa pikirannya.

Tiba-tiba, sebuah foto menarik perhatiannya.

Itu adalah foto sepupunya, Eunseok.

Dalam foto itu, Eunseok terlihat ceria di lingkungan sekolah nya yang tampak tenang dan damai.

Kalau tidak salah Eunsok sekolah di luar kota dan tinggal di asrama. Sebenarnya nasib sepupunya juga tidak jauh beda darinya.

Yang Anton tau, Eunseok sengaja sekolah di asrama supaya bisa hidup tenang dari kekacauan yang sering terjadi di rumah.

Foto-foto Eunsok selalu menunjukkan senyum lebar dan kebebasan yang membuat Anton iri.

Padahal Anton ingat betul jika Eunseok jarang tersenyum saat pertemuan keluarga.

Anton memperbesar foto itu, meneliti setiap detail.

Eunsok berdiri di depan gedung sekolah yang megah, dikelilingi oleh teman-teman yang tampak bahagia. Wajah Eunsok memancarkan kebahagiaan yang nyata, sesuatu yang sudah lama tidak Anton rasakan.

Hatinya berdebar-debar dengan pikiran baru yang tiba-tiba muncul.

"Sekarang libur pergantian semester," pikir Anton. "Gimana kalau mulai semester depan gue pindah ke sekolah bang Eunseok."

Dia sudah lama memikirkan tentang kemungkinan pindah sekolah, menjauh dari rumah yang terus-menerus memberikan tekanan emosional.

Mungkin inilah saatnya untuk mewujudkan impiannya.

Dengan tekad yang tiba-tiba muncul, Anton mencari nomor telepon Eunseok di daftar kontaknya.

Tangannya sedikit gemetar saat dia mengetik pesan, tapi kemudian dia memutuskan untuk langsung menelepon.

Suara dering terdengar beberapa kali sebelum akhirnya Eunseok menjawab.

"Halo? Anton?" Suara Eunseok terdengar di ujung telepon. "Tumben lu nelpon Abang."

"Bang Eunseok. Sorry ganggu. Gue... Gue butuh bantuan nih." kata Anton dengan suara serak, mencoba menyembunyikan getaran emosionalnya.

"Bantuan apa, ton? Lu baik - baik aja kan?" tanya Eunsok, nadanya berubah menjadi lebih serius.

Anton menelan ludah, mencoba mengumpulkan keberaniannya. "Gue pingin pindah sekolah, bang. Gue nggak tahan lagi di sini. Gue pikir, kalau misal gue pindah ke sekolah lu, gimana bang?"

"Pindah sekolah?"

"Gimana bang? Bisakah nggak bantu gue ngurus berkas?" kata Anton cepat, berharap sepupunya bisa mengerti seberapa mendesaknya situasi ini bagi dirinya.

"Kenapa nggak sama bokap lu? Kalau sama bokap lu kan semua beres."

"Ini rahasia bang, gue takut nggak di izinin."

Eunseok terdiam sejenak, mencerna kata-kata Anton. "Ya udah, ton. Abang bantu. Nanti abang ngomong sama pihak sekolah."

"Makasih bang."

"Tapi lu tau kan sekolah Abang di pinggiran kota. Asrama lagi." Ujar Eunseok memastikan tekad Anton. "Disini kotanya sepi nggak seramai di tempat lu."

"Nggak papa, bang. Gue udah puyeng tiap hari dengerin sumpah serapah."

"Ya udah, gue cari tau dulu syarat - syarat nya."

Anton menghela napas lega, meskipun tahu perjalanan ini tidak akan mudah. "Makasih, bang. Gue makasih banget."

Setelah menutup telepon, Anton meletakkan ponselnya di samping dan berbaring di tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar.

Teriakan di lantai bawah masih terdengar. Teriakan dari bawah semakin keras.

"Kau selalu pulang larut malam! Apa sebenarnya yang kau lakukan di luar sana?" suara ibunya terdengar penuh kemarahan.

"Aku bekerja keras untuk keluarga ini! Semua yang aku lakukan adalah untuk kalian, tapi kau tak pernah mengerti!" balas ayahnya dengan suara yang tidak kalah keras.

Anton menghela napas lagi, kali ini dengan lebih dalam.

Pertengkaran orangtuanya selalu tentang hal yang sama: pekerjaan ayahnya yang selalu menyita waktu dan perhatian, serta ketidakpercayaan ibunya yang semakin hari semakin besar. Dulu ayahnya pernah selingkuh, itu sebabnya ibu tidak bisa percaya lagi kepada ayah.

Keduanya tidak pernah bisa mencapai kesepakatan atau saling memahami.

Tapi untuk pertama kalinya, Anton merasa ada secercah harapan.

Dia akan segera keluar dari neraka ini dan memulai babak baru dalam hidupnya, jauh dari konflik yang telah menghantui dirinya selama bertahun-tahun.

Rencananya adalah pindah lebih dulu baru pamit.

Anton tidak takut jika orangtuanya tidak setuju atau bahkan jika dia tidak di beri uang.

Anton laki - laki, dia tinggi dan besar. Pasti ada banyak pekerjaan yang bisa dia lakukan untuk mendapatkan uang.

Tapi untuk sekarang, dia hanya ingin menikmati momen kecil ketenangan ini, momen di mana dia merasakan bahwa perubahan mungkin saja terjadi.

(⁠ ⁠˘⁠ ⁠³⁠˘⁠)⁠♥

Schoolyard Puppy And PrinceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang