Bab 129

17K 31 9
                                    

Setelah berpamitan untuk pergi ke kantor, aku pun langsung berjalan menuju mobil dan menyalakan clarkson ketika hendak meninggalkan perkarangan rumah. Di sepanjang perjalanan, tidak henti-hentinya aku memikirkan Julia yang saat ini resmi menjadi istri. Kehidupan kami pun semakin bahagia, aku dapat membuatnya menjadi seorang ratu dengan sangat baik. Kemungkinan keinginan terbesar saat ini adalah, mangajak Julia untuk turut hadir dan bekerja di perusahaan.

Kalau kami berdua sudah berada di perusahaan ini, kemungkinan aku akan lebih leluasa bertemu dengan dia. Namun, Julia adalah wanita yang tidak mau di ajak kerja di perusahaan. Karena dia sangat berbakti pada ayahnya, dan dengan sekuat tenaga, aku akan membujuk dia untuk masuk ke dalam perusahaan ini. Bahkan dia akan memimpin kami di pekerjaan, aku dapat pastikan kalau sang istri memiliki jiwa yang pintar dan tak mudah menyerah.

Tampak dari kerja kerasnya selama ini yang memang sangat prioritas akan pekerjaan, profesional dan lain sebagainya. Tanggung jawab sebagai seorang istri adalah demikian, dan tetap menjadi seperti ini sampai kapan pun. Karena risikonya adalah dia harus mau menjadi pendamping atau paling tidak akan menjadi sorotan ketika kami berada di perusahaan, untuk soal tamatan aku tidak prioritas.

Baik dia hanya lulusan SMP aku tidak peduli sama sekali, yang aku inginkan adalah dia hadir dan menemani aku kapan pun dan bisa menjadi leader ship ketika aku membutuhkan semangat sedang lelah-lelahnya bekerja. Itu adalah sebuah impian saat ini, dan semoga saja Julia mau mendengar apa yang aku katakan dan kami bisa berada dalam satu ruang lingkup pekerjaan.

Dengan begitu aku tidak akan lagi menambah karyawan baru di perusahaan, dan semua dokumen akan di serahkan pada sang istri sebagai auditor perusahaan. Beberapa menit setelahnya, tibalah aku di perusahaan. Dan seraya menasuki teras depan, para karyawan sudah tidak ada lagi di sana. Kemungkinan kalau semuanya sudah bekerja di ruangan, aku telah telat masuk beberapa menit.

Ternyata kinerja baik-baik saja, ketika aku telat datang mereka pun tetap menjaga waktunya. Pagi ini akan ada yang namanya rapat tahunan, semua yang telah kami kerjakan baik dari keuangan mau pun lainnya akan di paparkan oleh bagiannya masing-masing. Setibanya di dalam ruangan, aku tak melihat Ferdi. Kemungkinan dia belum datang, karena baru saja pulang dari acara pernikahanku.

Seraya merogoh ponsel dari dalam kantong celana, aku pun menatap nomor dan mencari nomor sang ajudan. Pasalnya, beberapa panggilan tidak ada jawaban karena aku menyalakan mode diam pada ponsel, dan sekarang baru sadar kalau Ferdi telah menghubungi beberapa kali. Dengan menekan nomor itu, aku meletakkan nya di daun telinga.

[Hallo ... Fer, katanya kita mau rapat? Tapi kenapa di ruangan kita kosong semua, anggota ke mana semua?] tanyaku pada sang ajudan.

[Bos, kami sudah di aula, pantaslah di sana kosong, ini manusianya sudah kumpul di sini.]

[Astaga ... oke-oke, aku pun bingung kenapa kalian pada menghilang. Aku pikir di culik tante-tante kalian semua.]

[He he he ... buruan, Bos, kami udah gak sabar ini.]

[Gak sabar kenapa Fer, gak sabar saya masukin gitu?]

[Bisa jadi Bos, pelan-pelan tapi ya.]

Intermezo pagi agar tidak tegang, selalu kami lakukan kalau sedang melakukan rapat. Saking dekatnya pada karyawan sampai mereka tidak perlu lagi takut padaku, dan sekarang kami pun bagai saudara di sini. Dengan berjalan setengah berlari, aku naik lift dan akan ke lantai tiga. Di gedung atas, mereka ternyata sudah berkumpul. Dengan membawa dokumen dan tas berisikan benda kesayangan, aku menunggu sampai lift sampai.

Akhirnya tiba, kemudian aku pun berjalan menuju ke dalam ruangan yang telah tertutup dengan sangat rapat. Kini dengan gaya cool dan sangat berwibawa, aku memperbaiki dasi warna hitam di leher. Memakai kemeja tanpa memakai jas, agar bentuk badan lebih terlihat pada mereka. Tampilan muda gaya anak ABG yang baru selesai malam pertama, membuat semua karyawan tercengang dengan aroma parfume ini.

"Selamat pagi semuanya, apakah bisa kita mulai sekarang rapatnya?" tanyaku pada karyawan yang hanya terdiam seribu bahasa.

"Selamat pagi Bos ... apalah langsung-langsung aja ini?" tanya Risma secara spontan.

"Ya iyalah, kalau gak mau langsung biar saya pakai pelicin dulu," jawabku lagi.

"Haduh ... bicara apaan ini, kami masih polos tolong ...," teriak karyawan yang masih lajang.

"Fer, nyalakan infocus tentang grafik keuangan sekalian Rimas yang jelaskan, berapa kurva yang telah kita lalui sampai ke ... ini masalah dana terbaru tentang proyek yang akan kamu bawa kemarin," kataku menunjuk dokumen.

Risma pun maju dan menjelaskan semua yang kami inginkan, jalannya uang itu terlihat jelas tanpa ada sebuah korupsi di sini. Aku percaya, karena Risma menjelaskan mulai dari makan siang para anggota dan pembelian makanan sekecil itu, yang harusnya tidak perlu ada dalam dokumen pun di paparkan olehnya. Sekarang aku telah percaya sepenuhnya kalau karyawan sudah menjalankan sebuah janji tidak akan menusuk dari belakang perihal proyek yang di bawa masing-masing.

Ferdi pun tampak tenang dan dia mengecek jalur uang melalui aplikasi terbaru saat ini, seraya mendengarkan aku pun mendapatkan sebuah pesan singkat dari istri yang ada di rumah. Se sibuk apa pun, kalau untuk dia akan aku luangkan waktu, bahkan sampai dia menelepon saat ini juga.

"Maaf, aku permisi bentar istri lagi telpon," kataku.

Mereka kembali memaparkan semuanya, aku ke luar dari ruang rapat sejenak. Setibanya di samping ruang rapat, aku mengangkat ponsel dengan sangat semringah.

[Hallo, selamat pagi istri tercinta. Kenapa nelpon mas?] tanyaku lembut.

[Mas ... lagi sibuk enggak pagi ini?] tanya sang istri.

[Ini lagi rapat kenapa sayang?]

[Mas ... aku mau pemit pergi ke kafe sama teman-teman, tempat aku kerja dulu. Aku mau jelaskan akan berhenti dari sana, karena fokus mengurus ayah dan mengurus rumah tangga kita. Boleh gak aku permisi, mas?]

[Kenapa gak sama mas aja nanti pulang kerja?]

[Kalau sama mas, kafe udah tutup dong, mau ngomong sama siapa? Lagian mau sekalian ajak Tina dan Sinta makan di warung depan.]

[Ya sudah, kalau mau pergi hati-hati, bentar lagi ada ajudan mas yang ke sana buat antar kamu pergi. Biar lebih aman, kalau mau jalan-jalan suruh aja dia ke mana pun asal kalian hati-hati sayang.]

[Wah ... terima kasih suami ...]

[Iya, kamu jangan telat makan sayang, biar gak sakit. Ya, entar mas akan suruh ajudan ke sana, siap-siap aja. Biar kamu gak suntuk di rumah, sekalian ajak ayah kalau mau. Kalau gak mau, belikan makanan ajalah.]

[Iya suami ... kalau gitu aku mau mandi dulu ya, selamat bekerja lagi suami tersayang ...]

[Iya sayang, selamat pagi juga. I love you sayang aku tercinta ... assalammualaikum ....]

[Wa-alaikumsallam suamiku ....]

Bersambung ...

Kecanduan Kontol MertuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang