Bab 132

4.4K 17 0
                                    

"Ayah mertua ada di mana sayang? Kok, mas lihat gak ada dari tadi?" tanyaku bertubi-tubi.

"Itu, ayah lagi minum kopi di dapur. Sekarang kita ke sana aja yuk, menamani ayah yang lagi fokus meneguk kopi hangatnya. Barangkali kalau mas mau juga ngopi sama ayah," ajak sang istri dengan menggendong Pratama.

Dengan berjalan menemui sang ayah yang ada di dalam dapur, aku pun mendekat ke sebelah kanan. Pasalnya, ayah menoleh dan langsung menyodorkan tangan. Kami saling menjabat tangan, kemudian duduk di atas kursi yang telah tersedia ini.

"Loh, ini anak siapa Julia?" tanya ayah pada sang istri yang sedang menggendong cucu pertamaku.

"Ini adalah Pratama kakek, ini adalah anak pertama dari mas Reno," papar sang istri yang sepertinya sudah sangat ikhlas kalau Reno telah benar benar pergi dari hidupnya.

"Oh, bolehlah ayah gendong, karena udah lama gak gendong anak bayi, dah lama banget ya. Dulu aku gendong Julia ke mana-mana, sampai menjadi supir angkot pun aku bawa, sekarang kecapaian gendong lagi tapi anak orang."

Ayah sepertinya sangat menginginkan sosok cucu di dalam rumah ini, aku pun menoleh istriku—Julia yang sekarang sepertinya berpikir di dalam hatinya. Namun, aku adalah seorang suami yang tidak akan memaksa jika dia tidak dapat menjadi seorang mama buat anaknya. Karena vonis dokter yang mengatakan kalau Julia tidak bisa lagi punya anak.

Akan tetapi aku berusaha, semoga saja dengan pertolongan Tuhan, segala benih dan sperm4 yang sudah aku suntikkan ke tubuh Julia dapat berkembang dan hidup di sana. Walau pun itu adalah pernyataan saja, tidak akan mungkin terjadi. Sambil berdoa dan berkata dalam hati, kalau tidak ada yang tak mungkin di dunia ini.

Apalagi sekarang sudah banyak perobatan yang sangat canggih, otomatis akan mempermudah kami untuk konsultasi dalam hal memilki seorang anak. Di tambah, kalau aku adalah lelaki yang sangat mau ikut ke sana dan ke mari demi kebaikan, itu adalah hal yang teramat mungkin kami lakukan saat ini.

Julia pun mengembuskan napas panjang, dan kami membangkitkan badan di atas kursi seraya berjalan menuju ke kamar. Awalnya Julia yang bangkit, dia pergi meninggalkan aku di meja makan. Namun, karena sebagai suami aku pun paham apa yang ada dalam hati dan benaknya.

Seraya berjalan menuju kamar, akhirnya tibalah aku di sebuah kamar lantai dua. Di sana sudah di bereskan oleh istri agar kami akan tinggal dan tidur di sana, lalu dengan sangat perlahan aku membuka pintu seraya menatap Julia sedang duduk di atas dipan sambil menatap ke cermin. Wajahnya sangat sedih, lalu ketika aku hadir dia menyibak wajah dan air matanya.

"Sayang, kamu kenapa kok seeperti sedih begitu?" tanyaku pada sang istri.

"Rasanya aku malu kalau terus begini mas," jawabnya sambil menoleh sekilas, dan aku membuka dasi seraya meletakkan dia atas meja rias.

"Malu kenapa sih sayang, kamu kenapa? Mas gak ngerti dengan perkataan kamu suer, katakan aja kalau memang mas yang salah, mohon maaf."

"Bukan itu mas," sergahnya langsung.

"Lalu, apa sayang, kamu harus katakan sama mas. Jangan pernah menyalahkan kamu sayang, kamu gak salah loh. Ini adalah soal waktu, dan bagaimana kita mampu meletakkan diri," jawabku sambil berjalan menemui sang istri.

Dalam posisi bersimpuh, aku menyibak kedua pipi sang istri yang sedang mengeluarkan air mata. Kemudian, kami pun menjadi saling tukar tatap. Kalau melihat dari apa yang di rasakan wanita, siapa sih yang tidak mau punya anak dari d4r4h dagingnya sendiri. Apalagi aku, sebagai seorang ayah. Tetapi balik lagi pada Tuhan, kapan pun dia berkehendak akan mampu menitipkan anak.

Itu adalah sebuah keputusan yang mutlak, dan tidak dapat di pungkiri lagi. Sebab apa pun tangisan yang kita lakukan, kalau belum di setujui tidak akan menjadi juga. Maka dari itu, sebagai manusia hanya bisa melakukan yang terbaik. Walau pun, aku berharap kalau benih yang sudah di suntikkan itu akan menjadi satu saja dalam rahim Julia.

"Mas, aku takut kalau kau akan meninggalkan aku kalau sampai kita gak punya anak," kata Julia sambil menangis.

"Gak mungkin, aku udah janji sama diri aku sendiri. Kalau apa pun yang ada sama kamu, akan aku terima apa adanya. Gak ada target atau pun paksaan, kalau memang yang kemarin itu gak menjadi, kita coba tiap malam sayang." Kali ini aku menghibur hati sang istri.

"Kalau tidak jadi juga, bagaimana mas? Kan, kamu juga mau keturunan dari generasi kita kan sayang?" tanya sang istri.

"Memang betul, tapi kita akan berusaha sayang. Kamu percaya gak akan adanya Tuhan?"

"Percayalah mas, masa gak percaya!"

"Nah, kalau kamu percaya kenapa enggak, kita akan melakukan semua cara dan tinggal pulang kepada tuhan saja, kita akan di berikan momongan atau tidak. Selebihnya adalah sebuah kerja keras dan perjuangan, dan dengan doa. Sekarang ini kita fokus ada buat yang terbaik tiap malam," kataku lagi.

Lalu Julia pun menarik pipi kananku. "Kamu ya mas ... semangat banget kalau gituan, gak mikirin aku yang kamu masukin sampai gak bisa jalan dua hari."

"Lah, tapi kan enak sayang? Bener gak, pas mas masukin enak enggak? Kalau memang gak enak, pasti kamu gak merem melek pas di bawah," paparku menjawab.

"Enak tapi sakit mas, punya kamu besar banget, sampai ke jantung rasanya. Aku sampai gak bisa berpaling dari rasanya yang sampai saat ini sangat terasa," kata sang istri lagi.

Kami pun tersenyum dan saling berpelukan, menenangkan istriku yang sudah sangat merasa baikan dan dia telah terhibur sekarang. Ternyata sangat mudah menenangkan hati istriku, tidak terlalu lebay seperti istri tetangga. Kalau pun ada istri tetangga yang mau di tenangkan, aku jagonya.

Seraya mengelus rambut Julia, kami pun sekarang ganti baju dan akan mandi bareng, sebelum tempur lagi malam ini. Sebagai permintaan aku, yang selalu setiap hari minta jatah padanya. Julia pun mau, melakukan aktivitas malam bersamaku sampai kapan pun. Karena itu adalah bafkah batin, yang selalu kami inginkan.

Mudah-mudahan saja, dengan hubungan halal ini kami dapat menjadi keluarga yang selamanya dan akan di ridai oleh tuhan untuk mendapatkan momongan. Itu adalah impian semua orang, tidak dapat di pungkiri lagi, akan tetapi ada proses dan massanya.

"Mas, katanya mau mandi kenapa masih berdiri aja di situ?" Tanya istriku.

"Sini lah sayang ... temani mas yang sekarang mau mandi bareng, biar bersih dan entar malam wangi kalau lagi main," katanya sangat polos.

"Emang mau lagi malam ini suami?"

"Ya iyalah, biar makin tambah jos ini punya mas, si joni yang sangat gagah dan perkasa," kataku sambil memperlihatkannya yang sudah bergerak di celana dalam.

Bersambung ...

Kecanduan Kontol MertuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang