Bab 135

3.6K 10 0
                                    

"Mbak, baju yang ini untuk ukuran anak-anak seperti ini ya?" tanyaku pada seorang pelayan berseragam serba merah ini, serempak dengan lainnya.

"Oh, ini lebih besar sepertinya Pak, bentar ya saya akan carikan yang lebih kecil lagi. Soalnya ... yang seperti ini ada di bagian sana," jawab sang petugas dari mall.

Dengan berjalan dari arah belakang badannya, kami pun bersama-sama menuju ke lokasi saat ini. Berkeliling bersama sang cucu, lalu menghampiri banyak sekali baju-baju yang cantik dan bagus di sini. Bahkan aku sempat suka dengan banyaknya perlengkapan lainnya, salah satunya adalah topi serta sepatu anak kecil.

Seorang petugas dari penjaga itu berhenti, dan aku berhenti serta melihat dia memgambilkan sebuah baju yang sama dengan ukuran berbeda. Ini adalah pakaian anak kecil, tetapi sangat rapi dan begitu membuat aku bahagia. Walau sedang bersama cucu, apa salahnya kalau sekarang kami berlanja dan menikmati malam ini.

Bisa berduaan bersama sang cucu adalah hal yang tidak setiap hari kami rasakan, akan tetapi untuk saat ini kami akan sering bersama karena dia sudah berada di rumah bersama kami. Kemungkinan kalau berada bersama Reno akan menjadi anak yang tak terurus. Sedang bi Ira dan Inem sangat sibuk dengan urusan rumah.

Beberapa menit setelahnya, kami kembali memilih sepatu. Satu persatu aku pakaikan di kaki sang cucu, dia tampak senang dan tersenyum. Padahal sedang sakit, tetapi tidak menyurutkan bahagianya bersama aku di mall ini. Selepas mencoba sepatu dan baju, sekarang adalah memilih jeket. Ya, letaknya tidak jauh dari lokasi saat ini.

Kemudian aku pun berjalan ke depan sejurus pada mall itu, dalam sekali kerlingan mata, sesorang pun terlihat sedang memilih pakaian juga. Wanita itu seperti aku kenal, dia adalah wanita yang ada di masa laluku. Kami sempat bertemu, dan kemudian berpisah akibat dia mengkhianati hubungan dengan pergi bersama pria lain.

Bahkan lelaki yang di bawanya itu bukan pacar ketika menghindari aku, dia telah membawa seorang pria berulang kali bergantian. Aku pun tidak mau mengingat masa lalu, dan tetap pada sebuah tujuan dengan memilih pakaian. Kini tibalah aku di sebuah lokasi tersebut, dan wanita itu menatap ke arahku saat ini.

Dia memerhatikan tanpa aku tanggapi, waktu itu aku kenal ketika perusahaan yang aku miliki bangkrut dan tidak memiliki biaya untuk modal. Sehingga dia pun sangat remeh padaku, lalu sekarang dia malah menatap lagi dan memerhatikan dari ujung kaki sampai ke ujung kepala.

"Eh, kamu Adiwijaya bukan sih? Yang dulu itu ... perusahaannya bangkrut di tepi kota? Atau aku salah ya?" tanyanya bertubi-tubi.

Tanpa menjawab, aku pun memilih pakaian lagi dan kali ini pelayan datang menghampiri. "Ada yang bisa kami bantu pak?" tanya si pelayan.

"Gak usah di bantu mbak, orang ini gak punya uang. Dia cuma mau lihat-lihat aja biar seperti orang kaya, mana ada uang dia buat bayar," kata Aura yang saat ini bersama lelaki baru.

"Mbak, saya mau yang ini, gak usah di pedulikan. Anjing menggonggong kapilah berlalu," kataku dalam menjawab.

"He he he ...." Si pelayan pun tertawa ringan.

"Sombong kamu Adi, berapa sih kekayaan yang kau punya. Paling juga kau utang beli di sini, mana sanggup kau membayar baju di sini, ha ha ha ... ini dong suami aku, dia adalah lelaki tajir melintir," katanya memuji lelaki itu.

"Iya, dia tajir. Udah kan, apakah kau belum puas? Bilang aja sesuka kamu, mau ngomong apa pun gak akan aku dengar. Ini, ada patung tolong tanggapin bicara wanita ini ya," kataku sambil menggeser patung itu.

Kemudian Aura pun mengomel, dan dia mengatakan hal-hal aneh pada suaminya. Yang terlihat sok tampan dan mapan itu, kami tetap pada tujuan awal. Setelah selesai, aku hendak kembali menemui Julia dan ayah mertua. Sudah sangat lama berada di sini, waktu kami telah habis kalau hanya mendengarkan ocehan itu terus.

"Eh-eh-eh ... kamu mau ke mana Adi, pasti mau bayar utang kan di kasir, atau kamu mau mendaftar jadi OB di sini. Soalnya, profesi itu lebih baik buat kamu," papar Aura.

Sambil meringis geli, aku pun tidak menanggapi apa yang dia katakan. Lalu aku tetap berjalan menuju depan, dan mereka pun pergi. Malam yang sangat membuat aku emosi, akan tetapi ini adalah hal biasa. Mereka belum tahu saja aku siapa, tapi kalau sudah tahu bahkan mall ini saja bisa aku beli malam ini.

Hanya butuh beberapa uang saja dalam perusahaan untuk membeli mall ini, dan kami pun bertemu dengan Julia serta ayah mertua. Sepertinya mereka sudah selesai memilih pakaian, sekarang berdiri menunggu aku datang. Lalu, kami pun saling berhadapan satu sama lain.

"Sayang, kamu udah selesai beli baju? Dan ayah sudah juga?" tanyaku bertubi-tubi.

"Sudah kok mas, ini kami sudah selesai. Kita pulang aja yuk, udah malam kasihan Pratama kalau lama-lama di sini banyak orang yang udaranya gak bagus," kata Julia.

"Oke, sekarang mas akan bayar dulu. Kamu tunggu aja di mobil ajak ayah, karena mas akan lama bayar ini," kataku sambil membawa semua belanjaan.

Julia dan ayah mertua meninggalkan aku, mereka ke luar dan akan menunggu di dalam mobil, sambil berjalan dengan sangat cepat tibalah aku di sebuah kasir pembayaran. Lalu, Aura datang lagi dan membuat kepala ini hendak pecah. Sepertinya mereka hendak membayar juga, lalu aku pun meletakkan belanjaan.

"Punya aku dulu Mbak, orang ini belakangan aja. Lagian dia mau ngutang di sini, mana sanggup bayar," katanya dalam menghina.

'Sabar ... ya allah tolong hamba jauhkan dari setan yang terkutuk,' kataku dalam hati.

"Totalnya dua puluh juta Mbak," ucap si penjaga kasir.

"Mahal banget, baju seperti ini saja dua puluh juta. Kamu gak salah kan mbak," kata Aura.

"Enggak Mbak, ini adalah harga promo dan sudah di potong dengan diskon," kata si pelayan itu.

"Dua puluh juta aja kemahalan, gimana kalau bayar yang 100 juta," kataku sangat berbisik.

"Jaga mulut kamu ya Adi, aku akan bayar cash sekarang. Mas, uang kamu ada enggak 20 juta, dompet aku ketinggalan deh kayaknya di mobil Brio kita," kata Aura sangat meninggi.

"Naik Brio atau naik Angkot sih, masa 20 juta naik brio gak bisa bayar. Mbak, ini baju aku berapa totalin deh," jawabku.

"Halah ... kamu orang miskin gak bisa bayar Adi, sok banget kamu, paling juga mau ngutang sama mall ini. Tampang begini aja begaya banget," papar Aura.

"Tau nih, tua bangka gak punya uang pakai sok banget kalau ngomong. Paling juga bawa uang 100 ribu," balas lelaki yang di samping Aura.

Aku memutar kepala dan menunjuk lelaki itu. "Jaga mulut kamu ya, mall ini pun bisa aku beli malam ini, jangan buat aku marah!" kataku mengancam.

Bersambung ...

Kecanduan Kontol MertuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang