Bab 130

7.1K 21 1
                                    

"Baiklah, sekarang kita akan mulai lagi rapatnya. Maaf, kalau tadi ada sedikit iklan, oke baiklah sampai mana pembahasan kita pagi ini?"

"Ini masalah tentang keuangan yang kita hadapi Bos, kabarnya investasi akan datang dengan memberikan saham baru dua kali lipat agar semuanya kita tangani dengan sebaik mungkin. Dan kalau bisa mereka sudah berkata, kalau keuangan ini akan di tambah jika tender menang dan tembus pemasaran," jalas Ferdi.

"Oke, sekarang kita akan pikirkan teknik bagaimana caranya agar kita menang lagi tender dan gol dalam pendapatan. Apakah rapat sudah selesai?" tanyaku pada anggota.

"Semua sudah selesai, dan sekarang adalah waktunya jam makan siang," kata para anggota yang sudah sangat semringah dalam berekspresi.

"Baiklah, kalian kalau mau makan di kantin silakan saja biar aku yang bayar hari ini. Dan kalau mau tambah juga gak masalah, nanti pulang aku yang bayar bill nya total aja," paparku dalam menjelaskan.

"Baik sekali, mantap jiwa. Makan siang gratis, udah seperti janji presiden aja yakan ... baiklah kalau gitu OTW," papar mereka dan meninggalkan ruangan satu persatu.

Bahkan aku juga meninggalkan lebih awal ruang rapat dan akan kembali ke dalam ruangan kerja. Pasalnya berdasarkan E-Surat sudah banyak dokumen yang harus di selesaikan hari ini, dengan bersama sang ajudan—Ferdi dan sekretaris—Risma. Kami pun membentuk tim keras perusahaan, agar apa yang kami usahakan kali ini menang tender dan keuangan menjadi sangat baik demi kinerja gol di bidangnya.

Satu persatu dokumen itu berhasil kami selesaikan, dan waktu bergerak tanpa ada jeda untuk kami beristirahat. Karena ini adalah proyek baru yang di bawa oleh Ferdi dan Risma, kabarnya akan membawa nama perusahaan ke manca negara. Khusunya kerjasama dengan perusahaan Tiongkok, dan kemungkinan ini akan menjadikan kami sebuah perusahaan yang sangat baik.

Beberapa menit setelah selesainya dokumen ini, aku pun mendekat ke arah Ferdi dan Risma yang sudah siap dengan pekerjaan. Arloji pun telah menunjukkan sore hari, sudah saatnya kami harus pulang. Namun, untuk hari ini aku akan mengajak mereka makan sore di sekitar sini. Hitung-hitung sebagai balas jasa pada mereka yang sudah berjuang selama ini.

"Apakah kalian sudah lapar semuanya?" tanyaku pada kedua karyawan yang tergabung sebagai tim keras.

"Sudah lah, karena kami adalah orang biasa bukan robot, kalau pun ini memang waktunya makan kami akan makan bos ...," jawab Ferdi.

"Kalau begitu aku mau ajak kalian makan sore di depan perusahaan kita, karena di sana ada kafe baru. Bagaimana, apakah kalian mau?" tanyaku pada keduanya.

"Wah, enak juga tuh, ya maulah ...," teriak Risma panjang kali lebar.

Kami bertiga pun ke luar dari perusahaan dan berjalan sangat laju menuju lift, di sepanjang perjalanan kami hanya bercanda perihal apa yang telah aku alami selepas pernikahan. Pengalaman indah ini ternyata menjadikan mereka pelajaran, kalau dalam membina rumah tangga versi aku adalah yang berbeda dengan mereka.

Tanpa ada tutorial, aku telah menjadikan ratu istriku dengan mengikuti semua yang dia katakan. Bukan hanya dari nafkah batin saja, melainkan kasih sayang seorang suami. Istri bagiku adalah seorang wanita yang benar-benar harus di sayangi, dan di berikan perhatian. Mereka adalah makhluk yang terlihat lemah, akan tetapi memiliki kemampuan luar biasa.

Setibanya di dalam kafe ini, aku dan kedua ajudan pun masuk ke dalam. Kami mendudukkan badan di sebuah bangku paling depan, lalu aku memilih makanan dan mereka juga memilih menu yang sama. Setelah memesan, kami menunggu sebentar akan tetapi ponsel milikku berdering dengan sangat keras di samping kantong.

Pasalnya, panggilan itu datang dari Bi Ira, dan kemungkinan akan ada sebuah barang yang harus aku beli untuk kebutuhan cucu pertama. Seperti halnya apa yang telah aku sampaikan beberapa hari lalu, kalau ada yang penting langsung saja beritahu.

[Hallo, Bi ada masalah apa di rumah?] tanyaku pada Bi Ira.

[Tuan ... si Aden pratama meriang, sama siapa pun gak mau. Kami bingung sekarang ini, mau di bawa ke mana.]

[Apakah panas banget badannya Bi? Kalau memang panas banget, entar malam aku akan ke sana dan bawa pratama ke rumah sakit.]

[Iya, Tuan ... soalnya kami juga bingung sakitnya mendadak. Kalau begitu cepat ya Tuan, karena takutnya kalau step lagi seperti pagi tadi.]

[Baik, aku akan segera ke sana. Bibi dan yang lainnya tenang aja di rumah, jangan khawatir karena aku akan suruh dokter langganan agar memberikan perawatan ke rumah sekarang.]

[Baik Tuan ... terima kasih.]

[Iya sama-sama, Bi jangan lupa berikan kompres ya biar panasnya turun.]

Tanpa ada jawaban kemudian ponsel pun mati, kedua karyawan pun menatap aku dengan saksama. Pasalnya mereka tidak mendengar percakapan kami, dan Risma pun berkata padaku.

"Siapa yang sakit bos?" tanyanya.

"Oh, ini cucu lagi demam, katanya dari pagi sudah panas. Makanya aku akan kirimkan dokter langganan ke rumah, sebelum aku datang entar malam. Lagian ... kalau ada anak sakit gak di bawa ke dokter aku khawatir," jawabku menjelaskan.

"Sempurna banget ya jadi ayah, bahkan cucunya pun di perlakukan seperti anak sendiri. Salut emang, melihat bos kita ini yang sangat humble pada semuanya. Di pegang sendiri, tanpa ada campur tangan orang lain," puji Risma.

"Ya, karena aku sudah terbiasa hidup sendiri Risma, kalau sekarang rasanya aku lah ayah dan aku lah ibu, tapi sejak ada istri kami akan bagi tugas. Apalagi wanita yang aku nikahi adalah perempuan yang sangat pengertian, dan mampu menjadikan kami adalah orang saling paham memahami."

"Syukurlah ... ternyata selama menduda sekian lama, ada wanita yang mampu menaklukkan hati si Bos, dan walau pun dia adalah mantan menantu dan sekarang menjadi istri."

"Bos, gimana malam pertamanya, apakah mantap?" tanya Ferdi kepo.

"Wih ... mantap banget Fer, nendang banget pokoknya. Aku aja sampai nagih, kenapa lah aku gak nikah secepat itu ya kalau tahu rasanya enak banget," kataku sangat bersemangat.

"Mulai ... pembahasan laki-laki, selain bahas ranjang ada lagi gak? Soalnya aku pun masih polos dan tidak tahu apa-apa, tolong jangan nodai telingaku," kata Risma.

"Eleh ... jangan nodai, jadi kemarin waktu di dalam ruangan, aku nodai kamu diam aja," pekik Ferdi meledek.

"Apa, kau berbuat apa sama Risma Fer?" tanyaku penasaran.

"Biasalah Bos ... aku gak sengaja kalau tersentuh apa yang harusnya tidak aku sentuh, karena terpeleset aja sih," jelasnya.

"Wah, sayang sekali kalau aku gak ada ya. Coba kalau ada, pasti mau juga itu bantuin Risma," kataku meledek.

"Ih ... kalian ya, laki-laki memang buaya. Udah punya istri loh, jangan macam-macam, entar si Ferdi ng4ceng lagi kamu. Hmm ... bisa-bisanya hanya menolong aja langsung ng4ceng, memang lelaki s4nge-an kamu Ferdi!" omel Risma.

Bersambung ...

Kecanduan Kontol MertuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang